Peringatan Idul Adha baru saja berlalu. Dua Ibadah utama, Haji dan
Qurban, telah dilaksanakan. Lantas, apa saja pelajaran yang bisa kita ambil
dari ibadah qurban dan haji tersebut? Dari sekian banyak pelajaran, seperti
diungkapkan Ustadz Rumaysho (2015), ada beberapa hal yang dapat kita petik.
1- Belajar untuk ikhlas
Dari ibadah qurban, yang dituntut adalah keikhlasan dan ketakwaan, Itulah yang dapat menggapai ridha Allah. Daging dan darah itu bukanlah yang dituntut, namun dari keikhlasan dalam berqurban. Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ
لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai
(keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”
(QS. Al Hajj [22]: 37)
Untuk ibadah haji pun
demikian, kita diperintahkan untuk ikhlas, bukan cari gelar dan sanjungan. Dari
Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan
tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika
dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Ini berarti berqurban dan berhaji bukanlah ajang untuk pamer amalan dan kekayaan, atau riya’.
2- Belajar untuk mengikuti
tuntunan Nabi SAW.
Dalam berqurban ada aturan atau ketentuan yang mesti dipenuhi. Misalnya, mesti dihindari cacat yang membuat tidak sah (buta sebelah, sakit yang jelas, pincang, atau sangat kurus) dan cacat yang dikatakan makruh (seperti sobeknya telinga, keringnya air susu, ekor yang terputus). Umur hewan qurban harus masuk dalam kriteria yaitu hewan musinnah (sudah dewasa), untuk kambing minimal 1 tahun dan sapi minimal dua tahun.
Waktu penyembelihan pun
harus sesuai tuntunan dilakukan setelah shalat Idul Adha, tidak boleh
sebelumnya. Kemudian dalam penyaluran hasil qurban, jangan sampai ada maksud
untuk mencari keuntungan seperti dengan menjual kulit atau memberi upah pada
tukang jagal dari sebagian hasil qurban. Jika ketentuan tersebut dilanggar di
mana ketentuan tersebut merupakan syarat, hewan yang disembelih tidaklah
disebut qurban, namun disebut daging biasa.
Al Bara’ bin ‘Azib
radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi SAW menyampaikan khutbah kepada para
sahabat setelah mengerjakan shalat Idul Adha.
مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا
وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ ،
وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّهُ
قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَلاَ نُسُكَ لَهُ
“Siapa yang shalat seperti shalat kami dan menyembelih kurban seperti
kurban kami, maka ia telah mendapatkan pahala kurban. Barangsiapa yang
berkurban sebelum shalat Idul Adha, maka itu hanyalah sembelihan yang ada
sebelum shalat dan tidak teranggap sebagai kurban.”
Abu Burdah berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَإِنِّى نَسَكْتُ شَاتِى
قَبْلَ الصَّلاَةِ ، وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ،
وَأَحْبَبْتُ أَنْ تَكُونَ شَاتِى أَوَّلَ مَا يُذْبَحُ فِى بَيْتِى ، فَذَبَحْتُ
شَاتِى وَتَغَدَّيْتُ قَبْلَ أَنْ آتِىَ الصَّلاَةَ
“Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih kambingku sebelum shalat Idul
Adha. Aku tahu bahwa hari itu adalah hari untuk makan dan minum. Aku senang
jika kambingku adalah binatang yang pertama kali disembelih di rumahku. Oleh
karena itu, aku menyembelihnya dan aku sarapan dengannya sebelum aku shalat
Idul Adha.”
Rasulullah SAW bersabda,
شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
“Kambingmu hanyalah kambing biasa (yang dimakan dagingnya, bukan kambing
kurban).” (HR. Bukhari no. 955)
Begitu pula dalam ibadah haji hendaklah sesuai tuntunan, tidak bisa kita beribadah asal-asalan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِتَأْخُذُوا
مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
“Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak
mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini.”(HR. Muslim no.
1297, dari Jabir).
Ini menunjukkan bahwa
ibadah qurban dan haji serta ibadah lainnya mesti didasari ilmu. Jika tidak,
maka sia-sialah ibadah tersebut.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,
مَنْ عَبَدَ اللَّهَ
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
“Siapa yang beribadah kepada Allah tanpa didasari ilmu, maka kerusakan
yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al
Fatawa, 2: 282)
3- Belajar
untuk sedekah harta
Dalam ibadah qurban, kita diperintahkan untuk belajar bersedekah, begitu pula haji. Karena saat itu, hartalah yang banyak diqurbankan. Apakah benar kita mampu mengorbankannya? Padahal watak manusia sangat cinta sekali pada harta.
Ingatlah, harta semakin
dikeluarkan untuk jalan kebaikan dan ketaatan semakin berkah. Sehingga jangan
pelit untuk bersedekah karena tidak pernah kita temui,orang yang berqurban dan
berhaji yang mengorbankan jutaan hartanya jadi bangkrut. Nabi SAW bersabda,
أنفقي أَوِ انْفَحِي ،
أَوْ انْضَحِي ،
وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ
عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan
tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan berkah
rezeki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka
Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433
dan Muslim no. 1029)
Allah SWT berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ
الرَّازِقِينَ
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya
dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’[34]: 39).
Nabi SAW bersabda, مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah
tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2588, dari Abu Hurairah)
Imam Nawawi berkata, “Kekurangan harta bisa ditutup dengan keberkahannya atau ditutup dengan pahala di sisi Allah.” (Shahih Muslim).
Suparto
Comments
Post a Comment