Skip to main content

KISAH


BALADA MINAH
Oleh : Suparto
Kemiskinan yang terus mendera, menggoyahkan kehidupan rumah tangga Minah yang sudah 25 tahun dibangunnya. Ditambah kondisi kesehatan yang tak kunjung membaik, membuatnya linglung. Ketika ia mencoba mengeluh kepada suaminya, Siman, bukan jalan keluar yang didapat, namun justru permasalahannya kian ruwet.
“Pak. Iki piye, kehidupan kita kok makin susah. Sakitku tak sembuh-sembuh. Bapak juga sering sakit. Kita ngga bisa kerja apa-apa. Terus untuk makan dan kebutuhan kita sehari-hari gimana”, keluh Minah.
“Bu, aku malah tambah bingung. Wis ora iso mikir. Aku mau pergi dulu, untuk menenangkan pikiran”, jawab Siman.
“Lho piye to Pak, kok malah mau meninggalkan rumah. Jangan pergi Pak, aku piye”?
Siman kukuh. Tak menghiraukan istrinya, ia tinggalkan rumah. Siang yang terik mengiringi langkah Siman. Ia kayuh becak kesayangannya, menuju tempat yang tak diketahui rimbanya. Siman bukan hanya meninggalkan rumah reyot, namun juga Minah sendirian dengan segudang masalah dan hidup yang memilukan.
***
Minah, lahir 55 tahun yang lalu. Orangtuanya, Somejo dan Ngadiyah, hanyalah petani kecil di Dukuh  Sine, Sragen. Ia anak nomor empat dari enam bersaudara. Seperti saudaranya yang lain, Minah hanya bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar. Pola pikir orangtuanya yang terbelakang, menjadikan anak-anak seusia Minah tak mendapatkan pendidikan layak. Mereka cukup lulus sekolah dasar. Selanjutnya tetap di rumah, ikut membantu pekerjaan orangtua mencari rejeki seadanya, sampai ketemu jodoh jika usia dianggap cukup.
Beranjak remaja, ketika banyak bergaul dengan teman-teman sebayanya, Minah mulai berpikir untuk lepas dari kungkungan orangtuanya. Ia ingin mandiri. Keinginan itu seperti gayung bersambut ketika Pakdhe Gito, saudara sepupu ibunya  dari Semarang mengunjunginya. Ia langsung menyampaikan keinginannya untuk ikut ke Semarang. 
Pakdhe. Saya besok ikut ke Semarang ya?” rengek Minah kepada Pakdhenya.
“Boleh. Asalkan bapak-ibumu mengijinkan” pinta Pakdhe Gito
“Gimana Bapak dan Simbok (Ibu). Boleh ngga Minah ikut Pakdhe ke Semarang”?
“Silahkan saja. Yang penting kamu harus nurut sama Pakdhe dan Budhe di Semarang” kata ayahnya, yang diamini ibunya.
Saat di Semarang, Minah merasakan keceriaan bersama dua puteri Pakdhenya yang hampir sebaya. Minah diberi tugas Pakdhe Gito membantu mengelola toko kelontongnya. Awalnya, ia merasa cocok dengan pekerjaan ini. Namun setelah dua bulan berjalan, ia berubah pikiran. Ini gara-gara berkenalan dengan Siman, pengayuh becak asli Semarang yang sering mangkal di dekat toko pakdhenya.
“Enak ya tinggal sama Pak Gito. Orangnya baik” celetuk Siman menggoda Minah.
“Iya, tapi aku kurang bebas” kata Minah.
Karena sering bertemu, hubungan Siman dan Minah makin akrab. Mereka kerap mencari kesempatan untuk bisa ngobrol berdua. Mereka pun saling jatuh cinta.
Mengetahui hubungan keduanya, keluarga Gito memperingatkan Minah agar tidak terlalu dekat dengan Siman. Tetapi hati Minah sepertinya sudah lengket dengan Siman.
“Kamu itu gimana to Nduk, bikin malu. Kalau masih seperti itu, sebaiknya pulang saja” kata Gito agak geram.
Minah memilih mengikuti kata hatinya yang condong kepada Siman daripada mematuhi pakdhenya. Baginya, sosok Siman, meski hanya seorang pengayuh becak, seperti Sang Arjuna yang tanpan mempesona.
“Kenapa kamu tertarik Siman Nduk”?
“Tidak tahu Pakdhe. Pokoknya Minah senang sama Mas Siman. Orangnya lugu – apa adanya!”
“Ya sudah, kalau itu pilihanmu. Pakdhe tidak bisa membantu kamu”
Setelah menemukan kesempatan terbaik, ia pamit kepada keluarga  Gito untuk mencari pekerjaan lain. Minah tidak pulang ke Sragen sebagaimana saran pakdhenya. Tetapi bersama Siman mencari tempat kontrakan untuk tempat jualan. Hubungan Minah-Siman rasanya sulit dipisahkan. Mereka mulai berpikir untuk segera menikah.
“Mas. Kita segera menikah ya, biar bisa hidup dengan tenang”? pinta Minah.
“Ya. Aku besok mau minta restu keluarga. Kamu juga kan”?
Minah pun pulang kampung untuk menyampaikan niatnya kepada orangtuanya.
“Kalau dia seneng sama kamu, dia suruh ke sini sama keluarganya. Bapak Ibu tidak terlalu mempersoalkan siapa dia. Yang penting kalian saling mencintai untuk hidup bersama”, pesan ayah Minah.
“Iya Nduk. Simbok juga tidak keberatan. Kamu sudah dewasa, bisa menentukan masa depanmu sendiri. Bapak Ibu hanya merestui saja. Semoga kalian bahagia” timpal ibunya.
Proses pernikahan Minah-Siman terbilang  lancar dan cepat. Setelah resmi menikah, keduanya segera kembali ke Semarang. Mereka berdua tinggal di rumah kontrakan yang amat sederhana. Mereka membuka usaha warung makan kecil-kecilan di seputar Jalan Siliwangi, Semarang. Sembari membantu berjualan isterinya, Siman tetap menekuni profesinya sebagai pengayuh becak.
Setahun kemudian, lahir anak pertama, lelaki, yang diberi nama Joko. Dan ternyata menjadi anaknya semata wayang. Mengikuti jejak orantuanya, Joko hanya menamatkan SD, dan membantu orangtua berjualan ayam goreng. Setelah dewasa Joko nikah dengan gadis Semarang, yang membuahkan dua cucu bagi Minah-Siman.
Usaha warung ayam goreng Minah, hasilnya tidak pernah menggembirakan. Hanya cukup untuk membayar rumah kontrakan dan kebutuhan seadanya. Tak lebih. Kehidupannya tetap miskin. Malah, kadang mereka harus ngutang kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Entah siapa yang salah, keuangan rumah tangganya makin ruwet. Akhirnya usahanya bangkrut, karena terlilit hutang cukup besar kepada seorang rentenir.
“Bu Minah. Kalau ngga bisa bayar hutang, saya laporkan polisi lho!”, ancam Menuk, sang rentenir.
Takut berurusan dengan polisi, ia pulang kampung. Tetapi karena keluarga di Sragen tidak bisa membantunya, akhirnya Minah menjual tanah warisan. Tanah pekarangan seluas 100 m2, kala itu, tahun 1980-an,  dibeli kakaknya seharga 200 ribu rupiah. Uang sebesar itu untuk melunasi hutang, sisanya digunakan menambah modal usaha.
Setelah sekian tahun hidup di Semarang, kehidupannya tidak makin baik, Minah dan Siman akhirnya memutuskan pulang ke Sragen.  Namun persoalan kembali muncul. Mereka belum memiliki rumah. Pekarangan miliknya sudah terjual. Akhirnya mereka tinggal di rumah orangtuanya.
Yo wis pancen nasibmu Nduk. Urip neng paran pirang-pirang tahun yo mung kaya ngono kahananmu”, ucap ayahnya yang sudah renta. Nafasnya terengah dan sesak ketika mendapati kenyataan hidup Minah yang tetap memprihatinkan setelah sekian tahun hidup di rantau.
Sudiyem, seorang kakaknya kemudian mengijinkan Minah menggunakan tanah pekarangannya untuk didirikan rumah (bekas) yang amat sederhana bantuan salah satu pengusaha.
Tahun 1999, Minah dan suaminya mulai menjalani kehidupan babak baru di Sragen. Suaminya mencari rongsok – barang bekas untuk dijual ke pengepul, sambil mengayuh becak. Minah buruh tani, ngasak  - mencari sisa-sisa rontokan panen padi atau ketek. Kadang buruh cuci di beberapa keluarga. Penghasilan mereka berdua hanya pas-pasan .
Tahun 2012, Minah jatuh sakit. Mendadak tubuhnya lemas, kepala pusing dan kakinya sulit digerakkan. Dokter Hary yang memeriksanya menyatakan, Minah mengidap beberapa penyakit.
“Bu. Jenengan mengidap penyakit gula, asam urat, kolesterol dan vertigo!!”
Mendengar keterangan dokter Hary, pandangan Minah langsung gelap. Beberapa saat ia tidak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, ia mendapat pesan dokter agar banyak istirahat, mengatur pola makan dan menjalani hidup dengan tenang.
“Pesan dokter itu baik. Tetapi bagaimana menjalani hidup tenang jika nasib saya seperti ini”? keluh Minah.
Minah butuh makan, butuh biaya untuk beli obat dan berbagai kebutuhan penting lainnya. Sementara suaminya kondisi fisiknya mulai rapuh. Ketika mengayuh becak mengantar penumpang, nafasnya tersengal-sengal dan berkali-kali batuk. Joko, anaknya yang tinggal di Semarang jarang menengoknya  lantaran kehidupan rumahtangganya masih labil.
Batin Siman tertekan. Sebagi suami, ia merasa tidak bisa membahagiakan keluarga. Justru kemiskinan yang selalu mengiringi perjalanan hidup rumah tangganya. Beban hidupnya makin berat.
“Bu. Aku mau pergi dulu”
“Pergi kemana Pak”?
“Entahlah. Yang penting untuk menenangkan pikiran”
“Lho. Aku piye Pak…”?
Siman makin bingung. Di siang yang membakar itu,  bersama becak kesayangannya ia tinggalkan rumah.
“Jangan pergi Pak…!!” teriak Minah. Siman tak lagi mendengar teriakan Minah. Dalam sekejap, bagai ditelan bumi, Siman hilang dari pandangan Minah.
Setelah suaminya pergi, Minah bukan hanya menahan sakit yang menggeroti tubuh dan luka hatinya.  Ia harus berjuang sendiri untuk mempertahankan hidup, di rumah reyot yang kondisinya memprihatinkan. Beberapa bagian atap dan tiangnya terlihat sudah lapuk.
Dan, apa yang dikhawatirkan terjadi. Siang itu,  hari Kamis di bulan Agustus 2014, sekitar pukul 14.00 dirinya baru pulang dari takziyah di rumah kakaknya yang meninggal dunia. Sampai di rumah, ia segera mengambil air wudlu untuk melaksanakan sholat dzuhur. Saat hendak sholat, ia mendengar bunyi “kretek-kretek” di beberapa bagian rumahnya. Ia mengurungkan sholat dan segera lari keluar sambil berteriak “Omahku arep ambruk”.
Beberapa tetangga yang mendengar teriakan Minah, keluar rumah. Minah dibantu seorang tetangga masih sempat menyelematkan sebuah pesawat TV.  Beberapa detik kemudian, Rumah Tidak Layak Huni  yang ditempati Minah itu mendadak roboh, luluh lantak rata dengan tanah. Padahal tidak ada angin kencang. Hampir semua perkakas rumah hancur. Puluhan warga berhamburan keluar rumah menuju lokasi kejadian, untuk memberikan pertolongan.
Minah hanya bisa berdiri mematung di depan rumahnya yang tinggal puing-puing berserakan. Sesaat kemudian seorang kakaknya, Poniyem, mengajak dirinya untuk tinggal di rumahnya.
***
“Ya Allah. Berikan kami kekuatan dan kesabaran untuk menerima cobaan-Mu. Sembuhkan sakit kami. Tunjukkan kami jalan yang terbaik. ” doa Minah yang diucapkan setiap habis sholat.
Dua hari setelah rumahnya ambruk, datang rombongan dari Pemda Sragen yang mengaku dari Tim Matra. Menurut Ratno, salah satu petugas Matra, begitu mendapat laporan dari Kepala Kelurahan, timnya langsung terjun ke lokasi menyerahkan sumbangan uang Rp. 5 Juta untuk membantu pembangunan rumah Minah. “Bantuan ini berasal dari sumbangan sukarela para pejabat dan PNS Sragen yang dihimpun setiap bulan melalui Matra, untuk membantu warga miskin” jelasnya. Dengan sumbangan itu, dipimpin ketua RT, para tetangga kemudian bergotong royong membangun kembali rumah Minah.
Kini rumah Minah sudah berdiri tegak, lebih kokoh dan lebih baik dari semula.
“Ternyata masih ada orang yang peduli dengan nasib orang melarat” gumam Minah. Ia berusaha tetap tegar menjalani hidup, apapun yang terjadi.
Tengah malam, Minah terbangun. Setelah mengambil air wudlu, ia jalankan shalat tahajud. Minah tak pernah lelah berdoa kepada Allah. Minah percaya, Allah pasti memberikan pertolongan dan jalan keluar dari kegetiran hidupnya.
Minah pun yakin, Siman akan segera kembali ke rumah. Ia masih tetap mencintai dan setia menunggu kepulangan suaminya itu. Ia juga berharap anaknya di Semarang cepat datang menengok ibunya. “Duh Gusti Allah, berilah keselamatan kepada suami dan anak cuku kami”. Minah tetap mendoakan orang-orang yang dicintai, meski tidak berada disisinya. 
sragen,  agustus 2014

Comments

Popular posts from this blog

TANGGAP WACANA ATUR PAMBAGYA HARJA

Pada rangkaian acara resepsi pernikahan, keluarga yang mempunyai hajat (punya kerja), berkewajiban menyampaikan sambutan (tanggap wacana) selamat datang kepada seluruh hadirin. Dalam tatacara resepsi adat Jawa disebut Atur Pambagya Harja, atau atur pambagya wilujeng. Dalam sambutan ini, orang yang punya kerja akan mewakilkan kepada orang tertentu yang ditunjuk, biasanya ketua RT/RW, atau orang yang dituakan di lingkungannya. Nah, ketika menjadi ketua RT, saya pernah mendapat tugas untuk menyampaikan pidato (tanggap wacana) tersebut. ****** Berikut contoh / tuladha atur pambagya harja yang pernah saya sampaikan…. Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. -        Para Sesepuh Pinisepuh, ingkang satuhu kula bekteni -        Para Rawuh Kakung sumawana putri ingkang kinurmatan Sakderengipun kula matur menggah wigatosing sedya wonten kelenggahan punika, sumangga panjenengan sedaya kula derek-aken ngunjuk-aken raos syukur dumateng ngarsanipun Allah SWT, Gusti Ingkang Mah

CONTOH ATUR PANAMPI PASRAH TEMANTEN SARIMBIT ACARA NGUNDUH MANTU

Bp-Ibu Bambang Sutopo  Assalamu'alaikum wrwb. 1.      Para Sesepuh-Pinisepuh ingkang dahat kinabekten.. 2.      Panjenenganipun Bapa Suwardi minangka sulih sarira saking Bapa Gito Suwarno-Ibu Tuginem, ingkang tuhu kinurmatan. 3.      Para Rawuh kakung sumawana putri ingkang bagya mulya. Kanthi ngonjukaken raos syukur dhumateng Allah SWT - Gusti Ingkang Maha Agung, kula minangka talanging basa saking panjenenganipun Bp. Bambang Sutopo, S.Pd,  sekalian Ibu Jari, keparenga tumanggap atur menggah paring pangandikan pasrah saking kulawarga Bapa Gito Suwarno sekalian Ibu Tuginem. Ingkang sepisan , kula minangkani punapa ingkang dados kersanipun Bapa Bambang Sutopo sekalian dalasan sedaya kulawarga, ngaturaken pambagya sugeng ing sarawuh panjenengan minangka Dhuta Saraya Pasrah saking Bp Gito Suwarno sekalian Ibu Tuginem-sapendherek,  ingkang pidalem w onten ing   Dukuh Jenggrik,  Desa Purwosuman,  Kec. Sidoharjo, Kab Sragen. Kaping kalih , menggah salam taklim 

ATUR PASRAH BOYONG TEMANTEN KEKALIH

Salah satu rangkaian adat Jawa setelah melangsungkan resepsi pernikahan adalah, keluarga temanten perempuan memboyong kedua mempelai kepada keluarga orangtua mempelai laki-laki (besan).  Sebelum masuk rumah keluarga besan, diadakan acara “Atur Pasrah” dari keluarga mempelai perempuan, dan “Atur Panampi” dari keluarga besan. Berikut adalah tuladha (contoh) sederhana “Atur Pasrah” yang saya susun dan laksanakan. *** Assalamu ‘alaikum Wr.Wb. Bismillahirrahmanirrahim. Al-hamdu lillahi rabbil ‘alamin. * Para sesepuh pinisepuh ingkang dahat kinabekten ** Panjenenganipun Bp.Waluyo dalasan Ibu Sumarni ingkang kinurmatan *** P ara rawuh kakung putri ingkang bagya mulya . Kanti  ngunjukaken raos syukur dumateng Allah SWT, Gusti Ingkang Moho Agung. Sowan kula mriki dipun saroyo dening panjenenganipun Bapa Haji Supriyadi, S.Pd dalasan Ibu Hajah Lasmi ingkang pidalem wonten Plumbungan Indah RT.27/RW.08 Kelurahan Plumbungan, Kecamatan Karangmalang, Sragen, kepareng matur

Pidato Kocak Dai Gokil

Humor sebagai salah satu bumbu komunikasi dalam berpidato hingga kini masih diakui kehebatannya. Ketrampilan   menyelipkan humor-humor segar dalam berpidato atau ceramah,   menjadi daya pikat tersendiri bagi audien atau pendengarnya sehingga membuat mereka betah mengikuti acara sampai selesai. Buku saku berjudul “Pidato-pidato Kocak ala Pesantren” karya Ustad Nadzirin (Mbah Rien) ini mungkin bisa menjadi referensi bagi pembaca yang ingin menciptakan suasana segar dalam berpidato. Buku setebal   88 halaman yang diterbitkan oleh Mitra Gayatri Kediri (tanpa tahun) ini berisi contoh-contoh pidato penuh humor. Membaca buku yang menyajikan enam contoh pidato yang oleh penulisnya dimaksudkan untuk bekal dakwah   para dai gokil dan humoris ini saya ngakak abis .  Pengin tahu cuplikannya? Silahkan simak berikut ini. “Saudara dan saudari.  Baik eyang putra maupun eyang putri…Semua tanpa kecuali yang saya cintai… Meski kalian semua tidak merasa saya cintai…” “…..Allah tela

Atur Wangsulan Lamaran Calon Temanten

Meski tugas juru bicara untuk menyampaikan lamaran (pinangan) seperti yang saya tulis kemarin berlangsung 'glagepan' dan 'gobyoss', namun oleh beberapa teman,  saya dianggap 'sukses'.  "Bagus Pak. Sederhana dan 'cekak aos' apa yang menjadi inti," kata teman.  Tapi bagi saya pribadi, respon teman itu mungkin bisa diartikan lain. Sekedar untuk menyenangkan saya atau 'nyindir'. Namun tetap saya ucapkan terima kasih, karena memberi saya kesempatan untuk belajar dari pengalaman.  Betul. Beberapa hari setelah kejadian itu, saya diminta lagi untuk menjadi 'juru bicara' sebagai pihak yang harus menyampaikan jawaban/tanggapan atas lamaran di keluarga lain. Saya pun tak bisa mengelak. Karena waktunya sangat mendadak maka konsep saya tulis tangan dengan banyak coretan.  Seperti diketahui, setelah adanya lamaran dari keluarga pihak lelaki, biasannya diikuti dengan kunjungan balasan untuk  menyampaikan jawaban atau balasan.

ATUR PASRAH CALON TEMANTEN KAKUNG BADE IJAB ( Kanthi Prasaja ) )

Setelah dua kali mendapat mandat menjadi ‘talanging basa’ atau juru bicara untuk menyampaikan dan menerima ‘lamaran’ atau pinangan, dikesempatan lain ternyata saya ‘dipaksa’ lagi menjalani tugas untuk urusan adat Jawa. Kali ini, saya diminta salah satu keluarga untuk menjadi juru bicara ‘atur pasrah calon temanten kakung’ - pasrah calon mempelai pria, kepada calon besan menjelang acara ijab qabul. Permintaan tersebut saya jalani, meski, sekali lagi, dengan cara yang amat sederhana dan apa adanya. Pengetahuan dan pengalaman yang sangat minim tidak menghalangi saya untuk melaksanakan tugas tersebut sebagai bagian dari pengabdian di tengah masyarakat. ****** Berikut contoh atau tuladha apa yang saya sampaikan tersebut. Assalamu 'alaikum wr.wb. ·           *** Para Sesepuh-Pinisepuh ingkang dahat kinabekten.      *** Para Rawuh kakung sumawana putri ingkang kinurmatan. ·          *** Panjenenganipun Bapak Susilo ingkang hamikili Bapak Sukimin sek

Tanggap Wacana Basa Jawi dan Contoh Lamaran

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi yang berpengaruh pada perubahan perilaku masyarakat, ternyata masih banyak orang tetap memegang teguh   dan ‘nguri-nguri’ (melestarikan) warisan ‘Budaya Jawa’. Salah satu warisan tersebut adalah ‘Tanggap Wacana Basa Jawi’ atau pidato bahasa jawa dalam acara-acara adat maupun ‘pasamuan’ (pertemuan) keluarga dan warga kampung, terutama   di ‘tlatah’ (daerah) Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atau di berbagai daerah di Indonesia yang terdapat komunitas atau kelompok masyarakat ‘Jawa’. Bagi sebagian orang, meski mereka hidup di lingkungan masyarakat berbudaya Jawa, tanggap wacana basa jawi (pidato bahasa jawa) sering dianggap momok karena sulit pengetrapannya. Ketidakmampuan mereka bisa karena sudah ngga peduli dengan bubaya jawa atau ngga mau belajar, sehingga keadaan sekarang ini ibarat ‘Wong Jowo Ilang Jawane’ – orang Jawa sudah kehilangan jatidirinya sebagai orang Jawa. Namun bagi orang yang kebetulan di- tua -kan di li

ATUR PAMBAGYA HARJA WILUJENG

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. -       Para Sesepuh Pinisepuh, ingkang satuhu kula bekteni -       Para Rawuh Kakung sumawana putri ingkang kinurmatan Sakderengipun kula matur menggah wigatosing sedya wonten kelenggahan punika, sumangga panjenengan sedaya kula derek-aken ngunjuk-aken raos syukur dumateng ngarsanipun Gusti Ingkang Maha Kawasa, awit saking peparing ni’mat saha berkahipun, panjenengan dalasan kula saget makempal manunggal, wonten papan punika kanthi wilujeng mboten wonten alangan satunggal punapa. Para Rawuh Kakung Sumawana Putri ingkang minulya. Kula minangka talanging basa saking panjenenganipun Bapa Ignasius Sarono, S.Pd dalasan Ibu Dra. Christiana Sri Wahyuni Kustiasih, M.Pd , ingkang pidalem ing Plumbungan Indah Sragen, wonten kalenggahan punika kepareng matur : Sepisan , bilih Bapa Ibu Iganasius Sarono ngaturaken syukur dumateng ngarsanipun Gusti Ingakang Maha Kawasa, awit   saking Berkahi-pun, saha donga pangestu panjenengan sedaya, sampun kal

ATUR PANAMPI PASRAH CALON TEMANTEN BADE IJAB

Assalamu'alaikum wrwb. -    Para Sesepuh-Pinisepuh ingkang dahat kinabekten. -    Para Rawuh kakung sumawana putri ingkang kinurmatan. -    Panjenenganipun Bapak….                  ingkang hamikili Bapak Karjiyono, SE, MM – Ibu Rr. Erniani Djihad Sismiyati (alm) ingkang tuhu kinurmatan. Kanthi ngonjukaken raos syukur dhumateng Gusti Ingkang Maha Agung, kula minangka sulih salira saking panjenenganipun Bp. Haji Mulyono Raharjo, S.Pd, MM   sekalian Ibu Sri Sayekti, Sm,Hk keparenga tumanggap atur menggah paring pangandikan pasrah calon temanten kakung. Ingkang sepisan , kula minangkani Bapak Mulyono Raharjo sekalian, dalasan sedaya kulawarga ngaturaken pambagya sugeng ing sarawuh panjenengan minangka Dhuta Saraya Pasrah saking Bapak Karjiyono, sapendherek, ingkang pidalem wonten ing   Jombor Lor, RT.01/18, Kel. Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman, Ngayogyakarta Hadiningrat. Kaping kalih , menggah salam taklim Bp. Karjiyono sekalian lumantar panjenengan s