Pemuda Belgia Penyuka Musik Dangdut
Oleh : Suparto
Joren De Neve Siaran |
Selama dua jam, Joren terlihat santai
menjawab berbagai pertanyaan penyiar
Buana Asri, Indah Puspitasari.
Berondongan pertanyaan Indah Puspitasari dalam bahasa Inggris dijawab
Joren dengan cerdas yang diselingi joke-joke
segar.
Ketika ditanya, “Apakah Anda punya
keinginan untuk bisa menikah dengan gadis Indonesia?” Dengan gaya diplomatis,
cowok yang menyukai masakan Padang ini menjawab, “mungkin saja.” Alasannya,
karena perasaan cinta itu bisa muncul secara spontan.
“Dengan siapa tidak tahu, karena perasaan cinta itu bisa muncul setiap waktu. Hahaha,” ungkap Joren sembari tertawa.
*****
Joren De Neve berada di Indonesia selama
tiga minggu untuk menikmati liburan.
Selama di Indonesia, ia tinggal di Kota Salatiga, Jawa Tengah bersama
sahabatnya, Rian C. Wahyu Anggono, Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) asal Sragen.
Saat main ke rumah Rian di kampung Taman
Asri Sragen, Joren bertemu Indah Puspitasari, gadis yang pernah dikenalnya tiga
tahun lalu. Indah kemudian mengajaknya siaran di Buana Asri FM untuk mengisi
acara bincang-bincang di program BUANA YES.
Joren termasuk pemuda asing yang ingin
banyak tahu tentang Indonesia dengan segala seluk beluknya. Diantaranya soal
bahasa, budaya, masakan dan musik khas Indonesia. Meski baru tiga minggu, Joren
sudah bisa berbahasa Indonesia, menyukai masakan Padang serta akrab dengan
musik dangdut dan pop.
Ayahnya,
Stefaan De Neve, adalah seorang dosen di Universiteit Gent Belgie.
Sedangkan sang ibu, Leen Bourgouis, pengajar Matematika di sebuah SMA. Profesi
sang ayah sebagai dosen inilah rupanya yang menjadi awal perkenalannya dengan
orang Indonesia beserta kebudayaannya.
Ceritanya, ketika seorang pria asal
Sragen, Sukristyonubowo, mendapat tugas belajar dari almamaternya, UKSW, untuk
mendalami ilmu pertanian di Universiteit Gent Belgie, salah satu dosennya
adalah Stefaan De Neve, ayah Joren.
Kala itu, Sukristyonubowo memboyong
keluarganya ke Belgia. Salah satu putranya, Rian C. Wahyu Anggono ikut ke
Belgia dan melanjutkan di Sekolah Dasar di sana. Itulah yang menjadi awal
perkenalan keluarga Sukristyonubowo yang bertugas di kota Bogor dan kerabat
Stefaan De Neve.
Bagaimana kesan Joren tentang Indonesia,
khususnya Sragen? Pemuda yang memiliki tinggi badan 185 centimeter dan aktif di
lembaga pekerja sosial ini mengaku sangat terkesan. “Orang Indonesia ramah,
sopan santun, murah senyum. Terlebih orang Jawa,” katanya. Untuk Sragen,
suasananya tenang, karena tidak terlalu ramai. “Tidak stress full seperti di Jakarta,” kesan Joren.
*****
Usai mengisi siaran di Radio Buana Asri,
Joren mengajak ke warung Bakso Bakar. Ia ingin merasakan masakan jawa yang “aneh”
ini. Bersama Indah dan Rian, kami meluncur ke warung itu. Di perjalanan,
lagu-lagu dangdut yang diputar Rian didalam mobilnya, benar-benar dinikmati
Joren.
“Musik dangdut itu enak
didengar, karena lahir dari selera rakyat kecil,” alasan Joren.
Di warung Bakso, Joren bercerita banyak
tentang negerinya, Belgia, yang sebagian besar rakyatnya masih menggunakan
bahasa Belanda dan Prancis untuk berkomunikasi sehari-hari.
Joren sebenarnya sangat
betah tinggal di Sragen. Namun karena
waktunya terbatas, ia harus segera kembali ke kota Salatiga, untuk selanjutnya
pulang ke Eropa.
Meski hanya beberapa hari di Sragen, ia
mengaku kenangan indah tentang kabupaten yang dijuluki sebagai daerah Sukowati
ini tak akan dilupakan.
-
bersambung –
#OneDayOnePost
wihh pak parto keren temen orang asingnya banyak and always number one setor nih
ReplyDeletebelajar untuk tetap semangat
DeleteBapakku ini bikin aku ngiri bener deh
ReplyDeleteSelalu bikin kenangan
DeleteTernyata mereka (bule-bule) unik unik ya, Pak.
ReplyDeleteTernyata mereka (bule-bule) unik unik ya, Pak.
ReplyDeleteSelain unik, mereka juga gigih...
DeleteLuar biasa P Parto, semangat nulisnya segigih pemuda itu. Joren
ReplyDeleteitulah mas Heru, sebagian pelajaran yg dapat kita ambil.
Delete