Elizabeth, Penyadur Serat Centhini, Karya
Agung Pujangga Jawa
Oleh : Suparto
Ini
lanjutan catatan tentang orang asing yang pernah saya kenal. Kali ini tentang seorang pengarang
asal Prancis bernama Elizabeth D. Inandiak.
Waktu itu, Kamis malam, 14
Maret 2013, saya mendapat undangan mengikuti acara pertunjukan seni bertajuk
“Apresiasi Serat Centhini” yang digelar oleh Dewan Kesenian Daerah Sragen
(DKDS) di Pendapa Serambi Sukowati Sragen. Acara malam itu menghadirkan Elizabeth D.Inandiak.
Sejak sore saya sudah siap di tempat acara agar bisa mengenal lebih dekat dengan tokoh yang luar biasa itu.
Sejak sore saya sudah siap di tempat acara agar bisa mengenal lebih dekat dengan tokoh yang luar biasa itu.
Serat Centhini, merupakan maha karya sastra Jawa
Klasik awal abad ke-19 yang lahir pada masa pemerintahan Raja Keraton
Surakarta, Sri Susunan Pakubuwana V.
Sedangkan Elizabeth D. Inandiak adalah penyair asal Lyon, Prancis yang berhasil menyadur karya pujangga Surakarta itu dalam bahasa Prancis berjudul “Les Chants de l’ile a dormir debout : le Livre de Centhini”. Buku ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul “CENTHINI, Kekasih Yang Tersembunyi.”
Sedangkan Elizabeth D. Inandiak adalah penyair asal Lyon, Prancis yang berhasil menyadur karya pujangga Surakarta itu dalam bahasa Prancis berjudul “Les Chants de l’ile a dormir debout : le Livre de Centhini”. Buku ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul “CENTHINI, Kekasih Yang Tersembunyi.”
***
Kamis
malam itu, ratusan orang memadati komplek Pendapa Serambi Sukowati Sragen.
Mereka penasaran tentang sosok wanita asal Perancis, bernama Elizabeth D.Inandiak yang hadir di acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini” itu.
Mereka penasaran tentang sosok wanita asal Perancis, bernama Elizabeth D.Inandiak yang hadir di acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini” itu.
Bukan
hanya warga Sragen saja, namun banyak dari berbagai daerah di tlatah Surakarta, dengan antusias
menghadiri acara yang digelar Dewan Kesenian Daerah Sragen (DKDS) kerjasama
dengan kerabat Serambi Sukowati ini.
Tamu malam itu terdiri dari para birokrat, seniman, pegiat sastra, para
guru bahasa dan seni, serta para akademisi.
Sederet
pertanyaan muncul malam itu. Diantaranya, apa yang mendorong Elizabeth D.
Inandiak mampu menyadur buku Serat Centhini, karya sastra Jawa Klasik abad
ke-19 setebal 4200 halaman itu kedalam bahasa Perancis?
Pertanyaan lain, mengapa sastrawan asal
Lyon, Perancis ini begitu besar perhatiannya terhadap kebudayaan Jawa? Begitu
berartikah Serat Centhini yang lahir pada masa pemerintahan Raja Keraton
Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana V ini bagi Elizabeth?
Lantas, mengapa
Bupati Sragen (waktu itu) Agus Fatchur Rahman, tertarik pada Elizabeth?
Agus Fatchur Rahman dan Elizabeth (foto koleksi pribadi) |
Karya
Sastra Besar Dunia
“Serat
Centhini adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia. Karya adiluhung
pujangga tanah Jawa ini merupakan sebuah peninggalan luar biasa yang dipunyai
bangsa Indonesia dan harus diperkenalkan kepada dunia,” kata Elizabeth menjawab
berbagai pertanyaan hadirin saat berdialog.
“Karena
keberadaannya mulai terancam sirna, maka saya tertarik untuk menyadurnya ke
dalam bahasa Perancis,” tambahnya.
Namun
menurut Elizabeth, ketertarikannya tentang Serat Centhini berawal dari seorang
Mohammad Rasyidi, mantan Menteri Agama RI yang mengerjakan disertasi doktornya
tentang kitab Centhini berjudul: “Critique et Consideration du Livre Centhini”
di Universitas Sorbonne, Paris pada tahun 1956.
Melalui
tulisan Pak Rasjidi-lah ia mengenal Serat Centhini dan mempelajarinya selama
bertahun-tahun, kemudian menyadur, menafsir, meringkas, dan menerbitkannya
sebagai “CENTHINI, Kekasih yang Tersembunyi”. Dengan latarbelakang itu,
Elizabeth berharap buku Mohammad Rasyidi tersebut bisa diterbitkan dalam bahasa
Indonesia, karena isinya sangat bagus.
Elizabeth
menjelaskan, buku Serat Centhini itu
menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sehingga ada yang
menyebutnya sebagai “Ensiklopedi Kebudayaan Jawa” paling lengkap. Menurut
Elizabeth, dalam Serat Centhini juga
banyak terkandung nilai filsafat, kemanusiaan, rokhani dan ajaran hidup yang
sangat bermanfaat hingga sekarang.
Untuk
bisa menyadur buku Serat Centhini tersebut, Elizabeth melakukan riset mendalam
terhadap berbagai referensi, dan tinggal di Indonesia beberapa tahun untuk menggali
sumber sejarah terkait dengan materi.
Malu
Dengan Orang Perancis
Ketika
pertanyaan tertuju kepada Agus Fatchur Rahman, mengapa ia punya gagasan
mengadakan kegiatan apresiasi Serat Centhini dan harus menghadirkan Elizabeth?
Dengan lugas Agus menjawab, awalnya ia merasa malu dengan orang yang bernama
Elizabeth itu.
Agus
bercerita, ketika membaca buku karya Elizabeth D. Inandiak berjudul “empat puluh malam satunya hujan” yang
merupakan salah satu saduran dari Serat Centhini, dirinya kagum sekaligus malu.
“Saya
kagum dan malu, karena ada orang Perancis mampu menyadur karya sastra Jawa
klasik kedalam bahasa yang enak dibaca, sehingga kita mudah memahaminya,”
ungkap Agus.
Setelah
membaca buku itu, Agus mengajak teman-teman di DKDS dan kerabat Serambi
Sukowati untuk menyelenggarakan acara “Apresiasi Sastra Serat Centhini”
sekaligus bisa menghadirkan Elizabeth.
Menurutnya,
generasi kita sekarang perlu membaca karya sastra peninggalan nenek moyang itu.
“Ada nilai-nilai luhur dan spiritual yang luar biasa dalam Serat Centhini, yang
secara substansial bisa kita ambil hikmahnya untuk masa kini,” katanya.
Jangan sampai, kalau bicara
budaya Jawa, kita hanya mengenal soal tatacara manten (pengantin), busana dan
gelar saja. “Makanya nilai-nilai luhur budaya Jawa yang hilang itu harus kita
gali dan temukan, diantaranya melalui apresiasi sastra seperti ini,”, ujar
Agus.
Penari asing dari Padepokan Lemah Putih Solo (foto koleksi pribadi) |
Sebelum
sesi dialog, Agus Fatchur Rahman, membacakan naskah tembang puluhan halaman,
berisi beberapa episode kisah dalam buku “Empat puluh malam, satunya hujan.”
Penampilan, ekspresi dan gaya Agus memukau para pengunjung.
Dengan
bertelanjang dada, berikat kepala, dan memakai sarung, Agus yang terlihat
layaknya seorang pengembara itu membaca bait demi bait syair dalam Serat
Centhini dengan penuh penghayatan.
Agus Fatchur Rahman membaca Serat Centhini (Foto Koleksi Pribadi) |
“Jangan risau, biarkan rasa mengikuti
kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai yang hebat. Biarkan kobaran
api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati sendiri, segala
kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini !”
- Bersambung
–
#OneDayOnePost
Jadi penasaran pak, bagaimana isi surat centini
ReplyDeleteJadi penasaran pak, bagaimana isi surat centini
ReplyDeletePokoke luar biasa
DeleteWihh jadi malu saya ya, org sana lebih peduli sama budaya kita.
ReplyDeleteTantangan dan tamparan bagi kita ya....
Delete