Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2016

Pengembaraan Menemukan ODOP

Dalam lima tahun terakhir, saya giat melakukan aktivitas yang berhubungan dengan upaya menjadi penulis. Pertama , saya membaca puluhan buku tentang cara praktis menjadi penulis yang baik. Buku-buku “Sukses Menjadi Penulis”, “Menulis Itu Gampang”, “Resep Cespleng Menulis Buku”, dan lain-lain berulang-ulang saya baca. Juga buku-buku mengenai kisah tokoh-tokoh yang berhasil dalam dunia tulis menulis. Ditambah lagi puluhan artikel yang tersebar di internet. Semua saya lahab habis. Intinya, saya sudah khatam membaca “Kitab Suci” tentang dunia tulis menulis. Kedua , saya ikuti berbagai seminar, workshop atau pelatihan tentang kepenulisan yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga amatir, organisasi komunitas dan perguruan tinggi, baik gratis maupun membayar.   Dua jenis kegiatan tersebut saya ikuti dengan sungguh-sungguh. Harapannya, kelak saya bisa menjadi penulis. Bisa menerbitkan atau mempublikasikan karya di media massa, dan akhirnya menerbitkan buku. Menjadi penulis buku. Menjadi

Trensains Menjadi Kebangkitan Islam di Dunia Timur?

Ada pernyataan menarik disampaikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Provinsi Jawa Tengah, Dr. Muhammad Abdul Fattah Santoso.   Ia menyatakan, Pesantren Sains (Trensains) yang dirintis Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sragen menjadi ikon Muhammadiyah dan awal kebangkitan Islam di dunia timur. Pernyataan tersebut disampaikan saat membuka Musyawarah Daerah (Musda) Muhammadiyah dan Aisyiyah Sragen periode Muktamar 47 Tahun 2015-2020, Ahad (28/2/) di Gedung Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia ( IPHI) Sragen. Fattah mengatakan, Trensains itu memadukan islamisasi sains (ilmu pengetahuan) dan saintifikasi Islam (pengilmuan Islam). “Trensains menjadi tonggak sejarah Muhammadiyah. Trensains merupakan bentuk pergulatan Islam berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Titik tekannya islamisasi ilmu pengetahuan atau sains. Tohoh Muhammdiyah asal Jogja (almarhum) Dr. Kuntowijoyo bahkan menyatakan tidak cukup hanya dengan islamisasi sians teta

Berkenalan Dengan Orang Asing

Kamis pagi (25/2/2016) di Kantor Bupati Sragen.   Hati saya girang bisa berkenalan dengan seorang warga negara Australia. Pria dari negeri Kanguru ini terlihat ramah saat menerima uluran tangan saya sembari menyebut namanya dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar : ‘saya Dan Thomas’. Saya pun memperkenalkan diri : ‘saya Suparto, atau panggil saja Parto’. Kami berdua kemudian ngobrol santai, sekitar sepuluh menit, bertukar informasi tentang beberapa hal.  Sebagai orang ‘Ndeso’ yang tinggal di kota kecil, Sragen,   saya begitu senang setiap kali berjumpa dengan ‘Londo’ (Belanda) – demikian kami sering menyebut orang asing yang berkunjung ke Indonesia. Bagi saya, bisa berkenalan dengan orang asing itu seperti mendapat durian runtuh . Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan langka ini. Padahal terus terang,   saya itu orangnya ‘blas’ – sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Modal saya hanya nekad dan tebal muka .  Kenapa saya terlalu ‘pede’ dan bersemangat mendekat

Menjadi Teh Yang Bisa Mewarnai

Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman, selain dikenal sebagai Kepala Daerah yang sederhana, juga pandai bercerita. Ketika memberikan sambutan dalam berbagai acara, Agus sering menyisipkan kisah atau cerita hikmah dan membuat metapora dan analogi. Hal ini dilakukan disamping untuk membangkitkan motivasi warga juga mempertajam pesan yang ingin disampaikan. Dengan cara seperti itu, hadirin dibuat terpukau dan memperoleh kesan mendalam, sehingga mampu memahami pesan Sang Pemimpin. Seperti yang disampaikan S ela sa (23/2 /2016 ) . Di hadapan rat usan peserta M usya wa rah Korps Pegawai Republik Indonesia ( KORP R I ) Kabupaten Sragen di G edung KORP R I setempat, Agus kembali menukil cerita hikmah yang sangat menarik, untuk menggambaran kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS)   selama lima tahun terakhir kepemimpinannya . Dia mengisahkan , s eorang pemuda yang sudah lama pergi tiba-tiba pulang menemui ibunya. Pemuda itu berkeluh kesah kepada ibunya te

Zaman Edan (5) : Orang Berbudi Malah Tersingkir

Ujaring Panitisastra, awewarah asung pepeling Ing zaman keneng musibah, wong ambeg jatmika kontit Mengkono yen niteni, pedah apa amituhu Pawarta lolawara, mundhuk angreranta ati Angurbaya angiket cariteng kuna. Ujaran Panitisastra , nasihat untuk diingat Saat zaman terkena musibah, orang berbudi malah tersingkir Seperti itulah kalau mau mencatat, apa guna meyakini Kabar angin tanpa isi, hanya menyusahkan hati saja Lebih baik menulis cerita kuno. ( Raden Ngabehi Ranggawarsita : Serat Kalatidha Bait 5) Menurut Agus Wahyudi (2014), Panitisastra merupakan kitab tentang kebijaksanaan Raja. Ini adalah naskah Jawa Kuno yang berisi mengenai etika bagi para bangsawan   Jawa. Dalam Serat Kalatidha disebutkan bahwa pada zaman tidak menentu, orang yang pandai dan berbudi malah tersingkir dari pusaran kekuasaan.   Raden Ngabehi Ranggawarsita tidak mengkhususkan bait ini untuk menggambarkan dirinya. Ini adalah gambaran umum yang

Zaman Edan (4) : Zaman Kalabendu

Ratune ratu utama, patihe patih linuwih Pra nayaka tyas raharja, panekare becik-becik Parandene tan dadi, paliyaning kalabendu Mandar mangkin andadra, rubeda angrebedi Beda-beda andaning wong saknegara Rajanya adalah raja utama, patihnya patih (menteri) yang unggul Para aparat mumpuni, para pegawai juga baik Namun semua itu tidak mampu, mencegah kalabendu (zaman kekalutan) Bahkan makin menjadi-jadi, bencana silih berganti Orang satu negara beda-beda keinginannya. ( Serat Kalatidha bait 2) Seperti diungkap Agus Wahyudi (2014), Raden Ngabehi Ranggawarsita menulis syair di atas untuk menggambarkan keadaan Istana Surakarta pada abad 19. Namun makna yang terkandung sangat relevan dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini. Para pemimpin negeri yang subur makmur ini terdiri dari orang-orang hebat. Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, para menteri, pejabat tinggi negara, gubernur, walikota dan bupati adalah

Zaman Edan (3) : Serba Membingungkan

Serat Kalatidha meski ditulis pada awal abad 19, namun kalau kita cermati isinya menggambarkan kondisi Indonesia di abad 21 saat ini. Memang, selain sebagai pujangga Kraton Surakarta, Ranggawarsita juga dikenal sebagai peramal ulung, bahkan ada yang mengatakan sebagai seorang filsuf Nusantara.  Pemikirannya cemerlang melintasi sekian zaman, kritikannya tajam bagai pisau operasi, dan ramalannya jitu karena berdasarkan analisis mata batinnya.  Mari kita cermati isi salah satu bait  Serat Kalatidha yang terdiri dari 12 bait itu. Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaturi Rurah pabrehing ukara, karana tanpa palupi Atilar tilastuti, sujana sarjana kelu Kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning dumadi Ardayengrat dene karoban rubeda. Beginilah keadaan negara, yang kian tak menentu Rusak tatanan, karena sudah tak ada yang pantas ditiru Aturan diterjang, para bijak dan cendekia malah terbawa arus Larut dalam zaman keraguan, keadaan pun mencekam Dunia pun d

Zaman Edan (2) : Ranggawarsita Itu Gelar Keraton

Pada tulisan yang lalu saya sampaikan, dalam berbagai referensi, hampir semua penulis menyatakan bahwa Serat Kalatidha adalah karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Namun dalam Buku “ZAMAN EDAN RANGGAWARSITA” karya Agus Wahyudi (2014), disebutkan bahwa Raden Ngabehi Ranggawarsita itu sebenarnya sebutan untuk salah satu gelar di lingkungan Keraton Surakarta. Ada tiga pujangga Keraton Surakarta yang memiliki gelar Ranggawarsita. Yakni Raden Ngabehi Ranggawarsita I, Raden Ngabehi Ranggawarsita II dan Raden Ngabehi Ranggawarsita III. Adapun Raden Ngabehi Ranggawarsita yang dimaksud sebagai penulis Serat Kalatidha adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita III. Namun karena kepopulerannya sebagai pujangga Jawa dengan karya-karya yang fenomenal dan akrab di telinga masyarakat hingga saat ini, maka ketika orang menyebut nama Ranggawarsita sebenarnya yang dimaksud adalah sosok Raden Ngabehi Ranggawarsita III. Dalam silsilahnya disebutkan, Raden Ngabehi Ranggawarsita III atau ‘Ranggawarsit

Zaman Edan (1)

Mendengar atau membaca ungkapan ‘Zaman Edan’,   ingatan kita langsung tertuju pada sosok Raden Ngabehi Ranggawarsita ( lidah orang Jawa biasanya mengucap Ronggowarsito ). Pujangga   Keraton Surakarta (1802-1873) ini terkenal dengan salah satu karyanya berjudul   ‘ Serat Kalatidha’ yang berarti ‘Zaman Keraguan’.  Di dalam Serat Kalatidha yang terdiri dari 12 bait syair tersebut,   terdapat sebuah bait yang hingga sekarang masih relevan untuk dibicarakan.  Bunyi syair tersebut adalah : Amenangi Zaman Edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya keduman melik Kaliren wekasanipun Ndilalah kersa Allah Begja begjane wong kang lali Luwih begja wong kang eling lan waspada. Maknanya: Menyaksikan Zaman Edan (Gila) Serba susah dalam bertindak (serba ragu-ragu) Ikut edan tidak akan tahan Tapi kalau tidak ikut edan Tidak akan mendapat bagian Kelaparan pada akhirnya Namun telah menjadi kehendak Alloh Sebahagia-bahagiany