Oleh Suparto
Saya adalah “pensiunan” Ketua RT (Rukun Tetangga) di sebuah komplek perumahan di pinggiran
kota. Selama enam tahun (dua periode) menjalankan amanat “memimpin rakyat” di
level terkecil dalam membantu pemerintahan di Indonesia (walaupun secara administratif
tidak masuk dalam struktur Pemerintahan RI), saya merasakan romantika tersendiri.
Sungguh, pengalaman tidak terlupakan dan menjadi catatan berharga
dalam perjalanan hidup di tengah masyarakat.
Tulisan berikut adalah sepenggal
pengalaman ketika menjadi ketua RT.
---
Tahun Baru, 1 Januari 2010. Enam tahun silam.
Kampung kami
melaksanakan pesta demokrasi yang dikemas dalam istilah “Pilkaret” (Pemilihan
Ketua RT). Seluruh warga hadir untuk menyaksikan dan memberikan hak pilihnya. Mereka
rela tidak pergi menikmati tahun baru bersama keluarga demi menyalurkan
aspirasi memilih calon pemimpin di kampungnya.
Pilkaret ini menurut saya berlangsung lebih bersih daripada Pemilihan
Umum, karena menggunakan sistem terbuka. Artinya, tidak ada kandidat, apalagi
mencalonkan diri. Bahkan kalau ditawari atau diminta, hampir semua warga
“menghindar” dari jabatan Ketua RT. Mereka berkeyakinan, menjadi ketua RT cukup
berat, tugasnya tidak mengenal waktu dan tidak mendapat gaji. Karena itu, “kursi”
ketua RT tidak menarik dan tidak ada yang memperebutkan. Juga tidak ada masa
kampanye dan tim siluman yang sering memunculkan intrik-intrik. Berbeda dengan
kursi Lurah (Kepala Desa), Bupati/Walikota, Gubernur dan Presiden. Apalagi anggota DPR/DPRD, untuk meraihnya ada yang sampai berdarah-darah.
Untuk mencegah sikap warga yang mengelak dan menolak jabatan
ketua RT, panitia menyusun Peraturan Tata Tertib yang mengikat. Dalam salah
satu pasal disebutkan, “semua warga yang memenuhi syarat berhak memilih dan dipilih..” Di pasal lain ditentukan, “Ketua RT terpilih adalah yang mendapatkan suara
terbanyak walaupun yang bersangkutan tidak hadir dalam pelaksanaan pemilihan..”
Pukul 07.00 mentari pagi belum memancarkan sinar terangnya karena terhalang oleh mendung bulan Januari, namun warga sudah berdatangan ke tempat pemilihan. Suasana
terlihat meriah, bergairah dan guyub rukun. Warga disuguhi hidangan makan pagi dan
camilan sederhana ala kampung. Selama Pilkaret berlangsung, terdengar iringan musik
Jawa Campursari, mirip di tempat orang
punya kerja. Ditambah tampilnya pembawa acara, dengan joke-joke segar layaknya
motivator, mampu menciptakan pesta demokrasi dengan nuansa hiburan rakyat.
Dalam pelaksanaan pemilihan, mereka cukup menuliskan nama
calon ketua RT yang dipilih pada kertas suara yang disediakan, kemudian
dimasukkan kedalam kotak suara yang terbuat dari bahan seadanya. Setelah dua jam berjalan, Pilkaret dinyatakan
selesai, dilanjutkan penghitungan suara.
Semua yang hadir pun berdebar menyaksikan hasil penghitungan
suara yang dicatat pada papan tulis. Tiap kali petugas menyebut nama yang
tertulis di kertas suara, disambung kata-kata “sah!”, tepuk tangan riuh
para hadirin membahana.
Begitu penghitungan selesai, ternyata, saya mendapatkan suara terbanyak!
Saya tidak menduga, karena dalam beberapa bulan sebelum
pelaksanaan, tidak ada tanda-tanda atau gelagat dukungan warga terhadap saya.
Yang lebih terkejut adalah isteri saya, karena ia kurang sreg kalau harus
menjadi Ketua PKK jika suaminya menjadi ketua RT. Namun karena sudah menjadi
ketentuan dalam Peraturan Tata Tertib Pilkaret, dengan “terpaksa” dan perasaan
yang tidak karuan kami harus menerima amanat tersebut.
Setelah ketua panitia mengumumkan hasil Pilkaret, saya
diminta menyampaikan “pidato” sebagai ketua RT baru untuk masa bakti tiga
tahun.
Dalam pidato singkat, saya nyatakan, “kami akan berusaha mengemban amanah, bersama bapak-ibu seluruh warga mewujudkan suasana kampung yang aman, damai, nyaman, guyub rukun. Kalau suasana seperti ini bisa tercipta, berarti kita sudah memberikan kontribusi positif bagi wilayah yang lebih luas, yaitu Rukun Warga, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, sampai ke Tingkat Nasional, bahkan Dunia….”
Dalam pidato singkat, saya nyatakan, “kami akan berusaha mengemban amanah, bersama bapak-ibu seluruh warga mewujudkan suasana kampung yang aman, damai, nyaman, guyub rukun. Kalau suasana seperti ini bisa tercipta, berarti kita sudah memberikan kontribusi positif bagi wilayah yang lebih luas, yaitu Rukun Warga, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, sampai ke Tingkat Nasional, bahkan Dunia….”
Namun, apakah untuk mewujudkan harapan tersebut semudah yang saya ucapkan?
Catatan selanjutnya akan menunjukkan betapa kompleksitasnya
memimpin rakyat yang hanya berjumlah 35 Kepala Keluarga (KK) dengan 130 jiwa ini.
Yang jelas, sejak hari itu, sebagian besar warga tidak lagi memanggil saya
dengan sebutan nama, namun dengan panggilan “Pak RT…”
Boleh sharing Peraturan Tata Tertibnya seperti apakah Pak (Mantan) RT ?
ReplyDelete