Serat Kalatidha
meski ditulis pada awal abad 19, namun kalau kita cermati isinya menggambarkan
kondisi Indonesia di abad 21 saat ini. Memang, selain sebagai pujangga Kraton
Surakarta, Ranggawarsita juga dikenal sebagai peramal ulung, bahkan ada yang
mengatakan sebagai seorang filsuf Nusantara.
Pemikirannya cemerlang melintasi sekian zaman, kritikannya tajam bagai pisau operasi, dan ramalannya jitu karena berdasarkan analisis mata batinnya.
Mari kita cermati isi salah satu bait Serat Kalatidha yang terdiri dari 12 bait itu.
Pemikirannya cemerlang melintasi sekian zaman, kritikannya tajam bagai pisau operasi, dan ramalannya jitu karena berdasarkan analisis mata batinnya.
Mari kita cermati isi salah satu bait Serat Kalatidha yang terdiri dari 12 bait itu.
Mangkya darajating praja, kawuryan wus
sunyaturi
Rurah pabrehing ukara, karana tanpa
palupi
Atilar tilastuti, sujana sarjana kelu
Kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning
dumadi
Ardayengrat dene karoban rubeda.
Beginilah
keadaan negara, yang kian tak menentu
Rusak
tatanan, karena sudah tak ada yang pantas ditiru
Aturan
diterjang, para bijak dan cendekia malah terbawa arus
Larut
dalam zaman keraguan, keadaan pun mencekam
Dunia
pun dipenuhi beragam ancaman.
(Serat Kalatidha bait 1)
Coba bandingkan dengan kondisi negeri
kita sekarang. Setiap hari kita disuguhi berita korupsi, tentang para oknum
pejabat tinggi, anggota dewan hingga bupati yang menggarong uang rakyat. Mereka
terdiri dari para cerdik cendekia yang ahli membuat aturan atau undang-undang.
Namun mereka juga yang lihai melanggar aturan karena tahu celah-celah hukum
yang dibuatnya.
Pelanggaran yang dilakukan kemudian menyeret para oknum dihampir semua lini organisasi, profesi dan status tokoh di negeri ini. Mereka yang seharusnya sebagai tokoh panutan, kenyataannya malah menjadi otak dan pelaku kejahatan. (lihat tulisan saya edisi 12 dan 13 Februari 2016 HASIL KORUPSI ).
Pelanggaran yang dilakukan kemudian menyeret para oknum dihampir semua lini organisasi, profesi dan status tokoh di negeri ini. Mereka yang seharusnya sebagai tokoh panutan, kenyataannya malah menjadi otak dan pelaku kejahatan. (lihat tulisan saya edisi 12 dan 13 Februari 2016 HASIL KORUPSI ).
Kenyataan tersebut menciptakan
kondisi yang serba meragukan, membingungkan. Sulit menentukan pilihan. Siapa lagi yang bisa dijadikan panutan? Banyak
tokoh diharapkan memberi kesejukan dalam setiap tutur dan tindakannya serta
dapat memberikan pencerahan dari perilaku kesehariannya. Namun mereka malah
beramai-ramai mencari aman dibalik ketiak penguasa, sebagian menjadi artis,
yang lain menjadi politisi. Mereka membuat sesak dan panas suasana.
Para pemimpin yang diharapkan
memikirkan nasib rakyat malah sibuk dengan pencitraan diri untuk mengamankan
posisi dan terpilih lagi pada Pemilu berikutnya. Sedangkan para penjilat di
bawahnya terus mencari muka sambil mencari-cari
celah, sikat sana sikut sini, agar
mendapatkan uang tambahan dari proyek-proyek siluman yang digarapnya.
Suparto
Suparto
Sak bejo-bejone wong kang lali, sik bejo wong kang eling lan waspodo.
ReplyDeleteLeres Mas Heru
Delete