Apa yang saya bayangkan ketika awal
terpilih menjadi Ketua RT, enam tahun lalu, yakni munculnya berbagai problem di
masyarakat, terbukti. Memasuki bulan keempat, dalam suatu pertemuan rutin,
seorang warga berbicara keras yang membuat saya tersentak.
“Pak RT. Di kampung ada masalah kok
dibiarkan saja,” katanya, agak sinis.
“Ya. Ada apa, silahkan disampaikan,” sela saya.
“Di rumah pojok jalan itu Pak. Sudah
beberapa hari untuk kumpul-kumpul sampai jam sebelas malam, ramai sekali. Ada
banyak tamu dari luar tidak jelas identitasnya, menggangu lingkungan. Tolong
diperingatkan. Pak RT harus tegas. Kalau perlu malam ini kita bersama-sama
menggerebek dan mengusir mereka,” ujarnya bersemangat.
“Betul Pak. Mereka mencemarkan nama
baik kampung kita,” sahut yang lain. Beberapa orang lagi terlihat saling
berbisik untuk membenarkan pernyataan di atas.
Saya tersengat mendengar laporan wargatersebut.
Kepala
terasa pusing dan mata berkunang-kunang seperti habis kena tempeleng. Dada sesak. Namun saya berusaha menahan emosi, tetap
bersabar.
“Ya, terima kasih informasinya,” kata
saya sambil menarik dan menghembuskan nafas pelan-pelan untuk menenangkan diri.
Keadaan hening sejenak. Dalam beberapa menit, saya masih terdiam, menyusun
kalimat untuk menanggapi keterangan warga tersebut.
“Baiklah bapak-bapak. Sebelumnya saya
mohon maaf karena selaku ketua RT kurang peka terhadap situasi dan kondisi
kampung kita,” kata saya mengawali tanggapan.
“Malam ini juga, selaku ketua RT saya
akan melakukan pendekatan dengan keluarga pemilik rumah itu. Tolong saya nanti
didampingi dua orang saja. Satu dari seksi keamanan, seorang lagi sesepuh – penasehat kampung kita,”
“Sebaiknya yang mendampingi Pak RT
jangan hanya dua orang Pak. Kita geruduk saja beramai-ramai. Biar mereka
jera...!”
“Ya. Saya siap di depan untuk
melabraknya...karena mereka sudah keterlaluan....”
Suasana sedikit tegang. Mereka “saur
manuk” – saling melempar tanggapan tanpa ujung pangkal.
“Maaf Bapak-bapak semua. Saya minta
waktu sejenak untuk berbicara,” kata saya dengan nada tinggi tapi tetap menjaga
ketenangan. Mereka pun diam semua.
“Begini. Saya akan segera ke sana dan
bertanggungjawab penuh untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tetapi sekali
lagi, tolong hanya didampingi dua orang seperti yang saya sebut tadi. Kenapa?
Kalau beramai-ramai nanti akan timbul masalah baru.”
Saya melanjutkan, “apabila hanya
menyangkut penghuni rumah mungkin tidak bermasalah. Tetapi terhadap para tamu
dari luar itu, jika digeruduk akan tersinggung, kemudian bikin keributan. Yang
lebih parah lagi, bisa jadi di lain waktu mereka mengajak kelompoknya untuk
membalas tindakan kita. Ini berbahaya! Sudah banyak kejadian seperti itu di
daerah lain!”
“Ya setuju. Kita percayakan kepada
Pak RT saja..” sahut beberapa orang yang hadir malam itu.
“Nggih
monggo... kalau gitu. Kita manut
saja. Yang penting ada solusinya...” sambung yang lain. Kali ini nada mereka
sudah menurun.
Usai pertemuan, saya ditemani dua
orang langsung menuju rumah dimaksud, namanya Bu Yani. Rumah seorang Janda 45
tahun, tinggal bersama seorang anak
lelakinya. Saat kami datang, masih ada dua orang tamu. Sedang empat orang tamu lainnya
sudah pulang.
Janda itu sejak sepuluh tahun lalu
sebenarnya nikah siri dengan seorang
guru. Sang suami beberapa tahun sempat tinggal bersama di rumah tersebut. Namun
sekitar lima tahun terakhir tak pernah terlihat lagi di situ. Sejak itulah anak
lelakinya yang lulusan SMK itu sering bikin ulah. Mengundang teman-temannya
dari luar tanpa mengenal waktu.
“Maaf Bu. Kedatangan kami mau
menyampaikan hasil pertemuan warga. Intinya, dalam menciptakan lingkungan yang
aman dan nyaman, semua warga diminta mematuhi aturan yang berlaku. Diantaranya
menerima tamu dari luar tidak boleh melebihi jam sepuluh malam. Disamping itu,
kita harus saling menjaga ketenangan. Jangan sampai mengganggu lingkungannya,” kata saya.
“Ya Pak. Kami minta maaf kalau selama
ini mengganggu tetangga. Nanti saya sampaikan kepada anak-anak,” kata Bu Yani.
Setelah bertemu Bu Yani, kami segera
pamit. Namun kami sempatkan menengok anak lelakinya di ruang sebelah, yang
masih ngobrol dengan dua orang temannya. Kepada mereka, sambil guyon saya sampaikan hal yang sama.
“Tolong ya Mas Mukidi. Ikut jaga
kampung kita. Teman-temanmu bermain ke sini ndak
apa, yang penting saling menjaga ketenangan…”
“Nggih
Pak….” kata mereka serempak.
Alhamdulillah, dengan pendekatan
manusiawi, dari hati ke hati, semuanya berjalan damai. Tidak ada keributan. Tidak
ada yang tersinggung. Begitu juga dalam beberapa bulan kemudian, rumah itu
tidak lagi untuk kumpul-kumpul orang yang tidak jelas identitasnya.
Comments
Post a Comment