Ahad, 7 Februari
2016
Sejak
pagi, istriku sudah beberapa kali mengingatkan.
“Jangan
lupa lho, nanti malam nonton perayaan Tahun Baru Imlek di Solo," katanya.
“Kita
kan Muslim, kenapa Ibu semangat sekali mau datang di acara Imlek, Tahun Baru
Cina itu?”
“Mau
nonton hiburan boleh kan. Katanya ada atraksi Barongsai dan gebyar pesona
Lampion. Jadi tidak ada niat lain. Apalagi dikaitkan dengan keyakinan kita.”
“Aku
cuma bandingkan aja. Kenapa waktu Tahun Baru Islam 1 Muharram tempo hari,
kita, juga sebagian besar umat Islam, tidak ada semangat seperti itu.”
“Sudahlah.
Tidak usah debat kemana-mana. Kita sekalian
silaturrahim keluarga dan jemput anak di rumah adik di Karanganyar.
Saudara dari Jogja juga kumpul di sana. Jadi nanti kita bersama-sama,” sergah
istriku, menutup perdebatan. Aku pun mengalah, meski didalam hati kurang sreg nonton acara Imlek.
Pukul
dua siang, kami berangkat. Mampir dulu ke rumah adik ipar dan keponakan,
katanya mereka mau ikut. Sementara mendung hitam, menggelayut di langit kotaku,
Sragen, seakan mau menumpahkan air hujan
ke bumi. Tetapi beberapa saat kemudian, langit kembali tersibak, cerah kembali.
Di
perjalanan, sering terjadi kemacetan. Di beberapa titik, terlihat deretan
panjang mobil pribadi memenuhi jalan. Laju
kendaraan hanya bisa merayap seperti
Ulat Gendhon gemuk yang sering menggeroti pohon Turi itu.
Ditambah
lagi, mobil kami mendadak mogok. Mobil ‘jadul’ yang pernah mendapat julukan
“tahan di segala medan” itu tiba-tiba kehilangan nafas karena Accu-nya sudah
aus. Setelah didorong beberapa meter, mesin bisa hidup lagi. Perjalanan
Sragen-Karanganyar yang berjarak 20 kilometer memakan waktu dua jam.
Di
Karanganyar, ternyata adikku sudah menyiapkan agenda nonton bareng acara malam
Tahun Baru Imlek. Seluruh keluarga yang berkumpul sore itu konsentrasinya ke
acara Imlek. Termasuk Nenek, meski berusia 83 tahun, tapi semangat juga.
“Habis
Maghrib kita berangkat lho. Kita nonton acara di alun-alun kota Karanganyar
dulu. Baru ke Kota Solo,” kata adikku.
“Jangan
lupa dandan yang bagus, nanti buat selfie-selfie-an”,
celetuk beberapa saudaraku yang cewek.
Usai
shalat maghrib kami langsung berangkat ke alun-alun Karanganyar yang berjarak
tiga kilometer dari rumah adik. Di sana, suasana sudah ramai sekali. Di area
tersebut diadakan acara seremonial menyambut Tahun Baru Imlek, dihadiri para
pejabat Pemda dan tokoh masyarakat setempat.
Bupati
Karanganyar, Yuliatmono, dalam pidatonya menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk menghargai perbedaan.
"Tahun Baru Imlek itu kan menjadi hari liburan nasional. Artinya ini resmi diakui Pemerintah. Karena itu harus kita hormati," pesan Bupati.
Selesai berpidato, Bupati langsung menekan tombol. Beberapa detik kemudian, ribuan lampion yang menghiasi komplek alun-alun menyala. Disusul penampilan atraksi Barongsai di bawah temaram lampu lampion.
"Tahun Baru Imlek itu kan menjadi hari liburan nasional. Artinya ini resmi diakui Pemerintah. Karena itu harus kita hormati," pesan Bupati.
Selesai berpidato, Bupati langsung menekan tombol. Beberapa detik kemudian, ribuan lampion yang menghiasi komplek alun-alun menyala. Disusul penampilan atraksi Barongsai di bawah temaram lampu lampion.
Sedangkan
di belakang panggung, terlihat Taman Air Mancur (kabarnya dibangun memhabiskan dana
lebih dari satu milyar rupiah), tidak kalah indahnya.
Air Mancur berwarna-warni dalam berbagai bentuk itu menyembur ke udara, kadang meliuk-liuk seperti gerak tari, memunculkan pemandangan sangat artistik. Sesekali terdengar alunan musik.
Puluhan pengunjung silih berganti berebut tempat untuk mengabadikan panorama indah itu, dan tentu saja, ber-selfie-ria.
Air Mancur berwarna-warni dalam berbagai bentuk itu menyembur ke udara, kadang meliuk-liuk seperti gerak tari, memunculkan pemandangan sangat artistik. Sesekali terdengar alunan musik.
Puluhan pengunjung silih berganti berebut tempat untuk mengabadikan panorama indah itu, dan tentu saja, ber-selfie-ria.
Wah, terbayang serunya kumpul keluarga seperti itu.
ReplyDeleteIya, Mbak Denik. Selalu bikin kangen....
ReplyDelete