Saya mencermati
pemberitaan dalam minggu ini, soal korupsi masih menjadi isu penting yang
diangkat oleh beberapa media. Diantaranya, pertama,
Indonesia
Corruption Watch (ICW) yang sejak 2013 secara intens memantau persidangan kasus
korupsi, mencatat bahwa aktor korupsi didominasi pejabat publik.
Yang mencengangkan, pada tahun 2015 saja, ada 225 pejabat di Daerah (Provinsi,
Kabupaten dan Kota) terlibat korupsi. Ini meningkat dari tahun 2014 (171 pejabat) dan tahun 2013
(141 pejabat).
Kedua, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat masa hukuman Ketua DPRD Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur non aktif, Fuad Amin Imron, dari 8 tahun menjadi 13 tahun penjara. Tak hanya menambah, putusan itu juga menyatakan menyita sebagian besar aset mantan Bupati Bangkalan dua periode ini, berupa 70 tanah, rumah, kondominium, belasan mobil serta uang Rp 250 miliar.
Ketiga, menurut hasil survey KPK, mayoritas Koruptor (pria) menghabiskan
uang hasil korupsinya untuk bersenang-senang dengan WIL (Wanita Idaman Lain). Jadi
tidak dibawa pulang untuk istri di rumah.
Keempat, ditengarai, koruptor melakukan upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Dan, Revisi UU KPK merupakan bagian dari upaya tersebut.
Empat hal tersebut adalah sebagian kecil dari sekian banyak persoalan korupsi yang menyeruak di hampir semua lini di negeri ini. Setiap hari kita disuguhi pemberitaan tentang korupsi yang menjerat para dedengkot negeri, mulai dari Menteri, Anggota DPR-RI, Gubernur, Walikota, Bupati, dan masih banyak lagi.
Berbagai langkah dan gebrakan yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah banyak menjebloskan koruptor ke dalam jeruji
besi. Namun kenyataannya, jumlah kasus korupsi terus bertambah. Ibaratnya,
dipenjara satu tumbuh seribu.
Ini menjadi renungan kita bersama. Ada apa dengan kondisi di negeri ini? Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak sendi dan tatanan pemerintahan dan merugikan masyarakat banyak.
Saat ini, korupsi sudah menjadi penyakit kronis, akut dan menjalar hampir ke seluruh tubuh negeri. Kalau tidak dilakukan tindakan “operasi” untuk mengambil dan menghilangkan “akar penyakit”-nya, rasanya sulit untuk disembuhkan.
Bagaimana cara melakukan operasi mengangkat akar penyakit korupsi tersebut?. Para petinggi, pakar dan cerdik cendekia di negeri ini sudah banyak membuat resep, metode, dan segala macam perangkatnya, saya kira sudah cukup lengkap untuk siap dipakai membedah dan menyembuhkan penyakit itu sampai tuntas. Saya tidak perlu menambah lagi caranya. Nanti malah membingungkan.
Saya hanya bisa berdoa semoga Allah SWT menyelamatkan bangsa dan Negara Republik Indonesia ini dari kehancuran akibat korupsi. Saya yakin Allah punya cara terbaik untuk menyelamatkan negeri ini. Mungkin dengan mengazab para koruptor kelas kakap, atau bagaimana, hanya Allah Yang Maha Tahu.
Suparto
Comments
Post a Comment