Kamis pagi (25/2/2016) di Kantor
Bupati Sragen. Hati saya girang bisa
berkenalan dengan seorang warga negara Australia. Pria dari negeri Kanguru ini
terlihat ramah saat menerima uluran tangan saya sembari menyebut namanya dengan
bahasa Indonesia yang kurang lancar : ‘saya Dan Thomas’. Saya pun
memperkenalkan diri : ‘saya Suparto, atau panggil saja Parto’. Kami berdua
kemudian ngobrol santai, sekitar sepuluh menit, bertukar informasi tentang
beberapa hal.
Sebagai orang ‘Ndeso’ yang tinggal di
kota kecil, Sragen, saya begitu senang
setiap kali berjumpa dengan ‘Londo’ (Belanda) – demikian kami sering menyebut
orang asing yang berkunjung ke Indonesia. Bagi saya, bisa berkenalan dengan
orang asing itu seperti mendapat durian
runtuh. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan langka ini. Padahal
terus terang, saya itu orangnya ‘blas’ –
sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Modal saya hanya nekad dan tebal muka.
Kenapa saya terlalu ‘pede’ dan
bersemangat mendekati orang Bule?
Inilah kelemahan saya. Saya selalu ingin tahu tentang mereka. Orang yang datang
dari negeri jauh sebagai tamu Pemerintah Daerah itu, menurut penilaian saya
tentu orang yang punya kelebihan, tidak sembarang orang. Pasti ada hal penting
yang bisa saya dapatkan. Minimal belajar tentang nilai-nilai persaudaraan antara umat
manusia, tanpa membedakan suku, ras dan agama.
Dengan berbagai cara, saya dekati
dulu pendampingnya, penerjemahnya. Dari situlah awal saya bisa berkenalan dan
ngobrol dengan tamu istimewa tersebut.
Ada sepenggal kisah menarik dalam
kehidupan Dan Thomas. Pria berusia 35 tahun itu bercerita bahwa ayahnya
berasal dari Prancis, sedangkan ibunya
asli Australia. Mengapa bisa bertemu kemudian menjadi suami isteri?
“Waktu itu Ibu saya, katanya, pergi
ke kota Paris, Prancis. Suatu hari, dia tersesat di tengah kota yang sangat
asing baginya. Saat itulah dia bertemu dengan seorang pria Prancis yang
menolongnya. Ibu dan pria tersebut lantas menjadi sahabat. Orang prancis itu di
kemudian hari ikut Ibu ke Australia. Setelah beberapa waktu berada di
Australia, mereka akhirnya menikah…. ” cerita Thomas menirukan kisah Ibunya.
(Saya membatin, kisah pertemuan
orangtua Thomas itu seperti peribahasa ‘asam
di gunung garam di laut bertemu di kuali’).
Dan Thomas, datang ke Kabupaten
Sragen, Jawa Tengah, untuk mendampingi peserta Pelatihan Monitoring dan
Evaluasi Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) Program Perlindungan
Sosial dan Pengentasan Kemiskinan. Kegiatan ini dilaksanakan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) bekerjasama dengan Departeman Luar Negeri dan
Perdagangan Australia (Department
of Foreign Affairs and Trade / DFAT).
Thomas yang beristrikan orang
Australia ini telah dikarunia seorang anak lelaki berusia dua tahun. Sebagai personil
di kantor DFAT, ia sudah satu tahun mendapat tugas di Indonesia untuk melakukan pendampingan program
SLRT. Thomas berada di Sragen selama dua hari bersama seorang temannya, Stehpen
Kidd, didampingi Ketua Tim SLRT Pusat, Abdurrahman Syebubakar, beberapa
personil dari Bappenas dan puluhan peserta.
Mereka Adalah Inspirasi…
Pertemuan dengan Dan Thomas, menambah
khazanah hidup saya bisa berinteraksi bersama warga dari belahan benua lain. Dalam
catatan saya, kisah bertemu dan ngobrol dengan orang luar negeri, sudah beberapa
kali.
Pertama,
dengan seorang gadis Jerman bernama Selina Denise Trapp tahun 2012. Selina
datang ke Sragen sebagai volunteer (relawan asing) untuk mengajar bahasa
Inggris di sebuah SMP. Selama tiga bulan, bersama Host-nya, kami sering bertemu. Bersama-sama nonton pertunjukan Wayang Kulit dan makan Bakmi di warung pinggir jalan. Selina pernah mengajak temannya, Laura dari Jerman dan Livia Zoe Michel gadis Swiss.
Kedua, saya
berkenalan dengan seorang pemuda Belgia, namanya Juren De Nuve, saat mengisi
siaran di sebuah Radio Publik Buana Asri FM Sragen dalam program You Can
Request (YES). Pemuda enerjik ini bercerita banyak tentang negerinya, Belgia,
yang sebagaian besar rakyatnya masih menggunakan bahasa Belanda dan Prancis
untuk berkomunikasi sehari-hari. Tentang hobinya, dan juga kesan-kesannya
selama berada di Indonesia. Kami sempat makan bakso goreng bersamanya.
Orang asing ketiga yang saya temui adalah Aratusa Ana Da Silva Paula, warga
negarai Brazil. Ia datang bersama puluhan orang dari beberapa negara. Diantaranya
Martina dari Austria, dan Cormac petugas GIZ Jerman. Kemudian tiga orang dari
India, masing-masing Dinesh, Balakharisnaa dan Parntash. Mereka belajar tentang
system pelayanan terpadu penanggulangan kemiskinan di Sragen yang berhasil
meraih penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Mereka, orang-orang ‘luar negeri’
itu, sekecil apapun telah memberikan pelajaran dan inspirasi bagi perjalanan
hidup saya tentang arti sebuah persaudaraan umat manusia. Juga tentang semangat belajar…
Comments
Post a Comment