suasana sidang dpr-ri (ft.google image) |
“Fungsi partai politik adalah sebagai corong
aspirasi rakyat. Tapi kenyataannya, politisi yang ada gak jelas apa yang di
perjuangkan. Memperjuangkan kepentingan pribadi/golongan atau kepentingan
rakyat gak jelas,” kata Kang Kidi yang mengaku sebagai pengamat politik pinggiran.
“Fenomena yang ada, rakyat tertindas, ketidak
adilan ada di setiap lini kehidupan, maka hanya KEJUJURAN-lah yg akan
memenangkan,” imbuhnya.
Apa yang disampaikan Kang Kidi bisa benar, bisa
tidak. Dia mungkin mengamati melalui pemberitaan di berbagai media massa
tentang maraknya korupsi yang melibatkan politisi. Sampai kemudian dia berkesimpulan,
kalau semua politisi itu jahat. Katanya membela rakyat, tapi kenyataannya
justru sebaliknya. Yang berkesimpulan
demikian barangkali tidak hanya Kang Kidi, namun juga banyak orang.
Namun menurut saya, kesimpulan seperti itu adalah
sikap gebyah-uyah, hantam kromo, atau men-generalisasi masalah. Menganggap semua politisi itu jahat. Padahal yang
terjadi sesungguhnya adalah perilaku oknum. Segelintir orang.
Jika melihat kenyataan masih begitu banyaknya ‘kejahatan’
yang dilakukan oleh oknum politisi, pertanyaannya adalah : apakah politisi
masih dibutuhkan di negeri ini? Terlepas dari segala kekurangan yang dilakukan
politisi, berikut saya sampaikan sedikit gambaran mengenai peran penting
politisi.
Arvan Pradiansyah (2009), dalam bukunya ‘Kalau Mau
Bahagia Jangan Menjadi Politisi’ melontarkan pertanyaan menarik : ‘Sebuah Dunia Tanpa Politisi, Mungkinkah?’.
Arvan melanjutkan pertanyaan : pernahkah kita
membayangkan sebuah dunia tanpa politisi? Dunia seperti apakah yang ada dalam
bayangan kita? Sebuah dunia yang tenteram, damai, dan bahagia? Ataukah sebuah
dunia yang boleh jadi lebih buruk daripada yang kita rasakan sekarang?
Pertanyaan inilah yang sering hadir di kepala
kita, apalagi dalam situasi pemilihan umum. Menjelang pemilu legislatif,
misalnya, kehidupan kita terasa lebih sumpek dan sesak. Bayangkan, ke mana pun
kita pergi, pandangan kita senantiasa tertumbuk pada berbagai poster dan
spanduk dari begitu banyak orang yang tidak kita kenal – dan juga tidak
mengenal kita – yang menawarkan janji-janji surga.
Ketika ingin santai dan menikmati siaran radio
dan televisi, kita juga sering merasa terganggu oleh iklan-iklan politik yang
begitu banyak. Lantas, dengan semua pengorbanan yang kita lakukan, apakah kita
akan mendapatkan sesuatu yang setimpal? Tidak juga. Bukankah pemerintahan
datang silih berganti, tetapi nasib rakyat tidak juga menjadi lebih baik? Bukankah
para politisi hanya peduli pada rakyat menjelang pemilihan umum?
Kalau begitu, apa sesungguhnya manfaat yang
diberikan para politisi itu bagi kehidupan kita? Dengan kata lain, apakah
politik merupakan sebuah keniscayaan atau suatu kesia-siaan?
Arvan kemudian mengutip pernyataan seorang
filsuf Prancis, Andre Comte. Dalam bukunya, The Litltle Book of
Philosophy (London : 2004), Andre Comte mengatakan bahwa politik
adalah sebuah keniscayaan. Kita membutuhkan politik supaya konflik kepentingan
(conflict of interest) dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Kita perlu
membentuk Negara bukan karena semua orang baik dan adil, justru karena mereka
tidak seperti yang kita harapkan.
Politik adalah seni untuk hidup bersama dengan
orang-orang yang bukan merupakan pilihan kita, orang-orang yang tidak mempunyai
ikatan yang khusus dengan kita dan orang-orang yang lebih merupakan rival
ketimbang kawan kita.
Politik, dengan demikian, diperlukan agar kita
mendapatkan kepastian mengenai siapa yang memberi perintah, siapa yang membuat
hukum dan peraturan, serta siapa yang harus menjalankannya. Tanpa politik,
tidak akan ada hukum yang berlaku, dan tidak ada kekuatan yang bisa memaksa
orang untuk mematuhinya.
Tanpa adanya kekuatan yang memaksa, maka akan
terjadi kesewenang-wenangan, seperti halnya Israel yang melakukan pembunuhan
massal terhadap rakyat Palestina di Gaza. Bukankah seluruh dunia hanya bisa
mengutuk dan mengecam, tetapi tidak bisa mencegah pembunuhan yang berlangsung
terus setiap hari? Inilah juga yang akan terjadi tanpa adanya Negara. Thomas
Hobbes menyebutkan kondisi ini sebagai natural states, yang setiap
orang merupakan musuh bagi orang lain.
Kalau demikian, keberadaan Negara merupakan
sebuah keniscayaan yang diperlukan untuk menjamin kehidupan dan peradaban. Di
sinilah para politisi memainkan peranan yang amat penting. Dengan menjalankan
negara, para politisi dapat menyuruh orang untuk berbuat baik dan melarang
orang untuk berbuat jahat (amar ma’ruf nahi munkar). Inilah kelebihan
mereka daripada orang-orang seperti kita. Walaupun kita semua dapat
menganjurkan orang lain untuk berbuat baik, kita tak dapat memaksa mereka agar
tidak berbuat jahat.
Apabila politik dijalankan dengan
tujuan seperti itu, kata Arvan, maka ia tentu saja pekerjaan yang mulia. Namun
sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian. Politik lebih sering diperlakukan
sebagai sebuah kompetisi untuk memenangi kekuasaaan, mengatur kehidupan orang
banyak, menguasai aset rakyat, serta menggunakannya untuk kemakmuran pribadi
dan golongan. Kalau itu yang terjadi, salah siapa?
Monggo direnungkan….
Suparto
Politik ki marahi mumet,.Pak, dan aku selalu nggak mudeng klo udah bicara politik.
ReplyDeleteBegitulah politik. Bikin pusing. Tapi keberadaannya dibutuhkan
Delete