Ditengah situasi dalam negeri yang serba membingungkan ini, saya teringat salah satu buku yang belum rampung saya baca. Judulnya, menurut saya, cukup ‘nylekit’ dan ‘provokatif’, yakni : Kalau
Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi. Buku yang terbit Tahun 2009 ini masih relevan
kita baca. Penulisnya, Arvan Pradiansyah, adalah seorang pembicara publik,
kolumnis, dan beberapa karya bukunya menjadi bestseller.
Baru membaca judulnya saja, saya langsung berkesimpulan bahwa
penulisnya sedang marah atau jengkel dengan perilaku politisi, dan mengajak
pembaca untuk menjauhi politik. Kalau istilah sekarang, ia bisa
dikategorikan melakukan gerakan ‘deparpolisasi.'
Tetapi setelah saya membaca halaman demi halaman, walaupun
kesimpulan saya sebagian ada benarnya, saya menemukan banyak pemahaman tentang
politik dalam arti luas.
Kapasitas keilmuan dan pengalaman Arvan yang pernah menjadi dosen FISIP UI puluhan tahun, konsultan sumber daya manusia dan berbagai jabatan lain, memang layak menulis tentang politik. Ia tidak hanya mengkritik perilaku negatif para politisi, tetapi juga memberikan gambaran mengenai peran penting seorang politisi.
Kapasitas keilmuan dan pengalaman Arvan yang pernah menjadi dosen FISIP UI puluhan tahun, konsultan sumber daya manusia dan berbagai jabatan lain, memang layak menulis tentang politik. Ia tidak hanya mengkritik perilaku negatif para politisi, tetapi juga memberikan gambaran mengenai peran penting seorang politisi.
Namun Arvan menamakan bukunya ini bukan buku politik, melainkan
buku mengenai kepemimpinan, kehidupan, dan kebahagiaan.
*****
Baiklah, karena saya tidak sedang meresensi buku, disini saya hanya
akan mengambil satu bagian penting yang dibahas, dalam sub judul “Politik VS
Kebahagiaaan”.
Menurut Arvan, alasan memilih judul buku ini adalah bahwa Politik
dan Kebahagiaan merupakan dua hal berbeda, yang masing-masingnya berjalan
sendiri-sendiri. Politik memang tidak ada kaitannya dengan kebahagiaan. Rumus
yang berlaku di dunia politik juga sangatlah berbeda dengan rumus yang berlaku
untuk mencapai kebahagiaan.
Supaya menjadi lebih jelas, Arvan membandingkan rumus yang berlaku
dalam kedua bidang tersebut. Dalam hal ini Arvan menggunakan salah satu bukunya
berjudul “The 7 Laws of Happiness”(2008), sebagai kerangka berpikirnya.
Dalam buku “The 7 Laws of Happiness” (Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia),
Arvan menjelaskan kebahagiaan sebagai sebuah state of mind. Agar bisa bahagia, kita harus menyaring
“makanan-makanan” yang masuk ke dalam kepala kita. Hanya makanan sehatlah
yang kita putuskan untuk kita konsumsi. The 7 Laws of Happiness adalah sebuah
alat untuk memilih pikiran kita.
Lantas, makanan-makanan apa yang perlu kita konsumsi? Inilah yang disebut
sebagai “The 7 Laws of Happiness”, yaitu 7 makanan bergizi yang kita perlukan
untuk mencapai kebahagiaan : Pasience
(Sabar), Gratefulness (Syukur), Simplicity (Sederhana), Love (Kasih), Giving (Memberi), Forgiving
(Memaafkan), dan Surrender
(Berserah).
Apakah ketujuh rahasia itu dapat diterapkan untuk semua bidang kehidupan? Tentu saja.
Apakah ketujuh rahasia itu dapat diterapkan untuk semua bidang kehidupan? Tentu saja.
Karena itulah Arvan membuat turunan dari buku tersebut untuk
beberapa konteks yang berbeda. Ada The 7 Laws of Happiness at Work, The 7 Laws
for Happy Families, The 7 Laws for Teens, The 7 Laws for Teachers, dan
sebagainya.
Tapi bagaimana dengan The 7 Laws of Happiness in Politics?
Tapi bagaimana dengan The 7 Laws of Happiness in Politics?
HAPPINESS
|
POLITICS
|
|
1
|
Pasience
(Sabar), fokus pada proses
|
Instan,
focus pada hasil
|
2
|
Gratefulness
(Syukur)
|
Jangan
cepat puas
|
3
|
Simplicity
(Sederhana)
|
Rumit
|
4
|
Love
(Kasih)
|
Kepentingan
|
5
|
Giving
(Memberi)
|
Mendapatkan
|
6
|
Forgiving
(Memaafkan)
|
Membalas
|
7
|
Surrender
(Berserah
|
Meminta
sesuatu kepada Tuhan
|
Judul buku
yang terakhir ini tidak akan pernah dibuat. Mengapa demikian? Karena rumus
politik amatlah berbeda dengan rumus kebahagiaan.
Marilah kita bandingkan kedua hal ini dengan mengikuti pola The 7 Laws.
- Rahasia kebahagiaan yang pertama adalah Sabar
Untuk meraih kebahagiaan, kita
perlu bersabar. Bersabar adalah
menyatukan badan dan pikiran di satu tempat. Inilah rahasia terpenting untuk
meraih kebahagiaan. Namun, dalam politik hal itu nampaknya tidak berlaku.
Lihatlah apa yang berlaku dalam sebuah proses pemilihan umum. Bukankah bagi para politisi, badan dan pikiran mereka selalu berada di tempat yang berbeda? Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum Pemilu Legislatif diselenggarakan, para politisi telah mulai ribut membicarakan koalisi, calon presiden dan wapres, serta pembagian kekuasaan.
Kadang kurang realistis. Tapi kalau mereka mengikuti rumus kebahagiaan, yaitu menyatukan badan dan pikiran di satu tempat, apakah mereka bisa berpolitik?
Lihatlah apa yang berlaku dalam sebuah proses pemilihan umum. Bukankah bagi para politisi, badan dan pikiran mereka selalu berada di tempat yang berbeda? Bayangkan, jauh-jauh hari sebelum Pemilu Legislatif diselenggarakan, para politisi telah mulai ribut membicarakan koalisi, calon presiden dan wapres, serta pembagian kekuasaan.
Kadang kurang realistis. Tapi kalau mereka mengikuti rumus kebahagiaan, yaitu menyatukan badan dan pikiran di satu tempat, apakah mereka bisa berpolitik?
Bersabar
juga adalah menikmati prosesnya satu demi satu seakan-akan kita tak terganggu
dengan hasil akhirnya. Ini tentu akan menghasilkan kebahagiaan. Tetapi bukankah
yang terpenting dalam politik adalah hasil? Bukankah ukuran keberhasilan
seorang politisi adalah kemenangan? Bukankah hanya orang yang menanglah yang
akan dicatat oleh sejarah?
- Rahasia
kebahagiaan yang kedua adalah Syukur
Bersyukur berarti kita menikmati
apa yang telah kita capai. Kita puas, meresapi dan menghayati apa yang sudah
kita miliki. Bersyukur bisa kita dapatkan dengan melihat ke bawah.
Namun dalam
politik, yang terjadi amatlah berbeda. Jika partainya pada pemilu lalu
memperoleh sekian persen, perolehan suara ini harus terus meningkat. Jika tahun
ini dapat sekian kursi di parlemen dan sekian kursi di kabinet, tahun berikutnya
harus lebih banyak lagi. Orientasi kebahagian adalah melihat ke dalam,
sementara politik selalu melihat keluar.
Kalau mereka
selalu tidak puas, bagaimana mereka bisa berbahagia. Tapi, kalau mereka selalu
puas, bagamana mereka bisa berpolitik?
- Rahasia ketiga adalah Sederhana (Simplicity)
Agar bisa berbahagia, kita harus punya kemampuan untuk
menemukan hakikat dan esensi di balik kerumitan. Kita harus bisa menemukan inti
di balik perniknya. Segala sesuatu dari kacamata
kebahagiaan sangatlah sederhana. Namun, tidak demikian halnya bila dilihat dari
kacamata politik.
Dalam kacamata politik, segala sesuatu tampak begitu rumit. Lihatlah apa yang terjadi dalam sebuah pemilihan umum, betapa rumitnya bukan? Bagaimana mengatur partai yang begitu banyak? Bagaimana menyelenggarakan pemilu? Menghitung suara? Menghadapi kecurangan dan perselisihan dalam pemilu, dan lain-lain.
Betapa rumitnya sebuah peristiwa yang sesunguhnya sangat sederhana. Betapa besarnya biaya yang kita buang ini? Betapa kecewanya kita ketika menyadari bahwa dengan kerepotan yang luar biasa itu kita tidak juga mendapatkan wakil rakyat dan presiden yang kita inginkan?
- Rahasia keempat : Love (Cinta)
Agar berbahagia, kita harus memiliki cinta di dalam hati. Bukankah dasar dari
hubungan antar manusia adalah cinta? Hanya dengan memberikan cintalah kita akan merasakan kebahagiaan.
Rumus
ini tidak berlaku bagi politisi. Dalam politik, dasar hubungan antar manusia bukanlah cinta, melainkan kepentingan (interest). Bahkan bukankah dalam politik tidak ada kawan sejati dan tidak ada musuh abadi?
Bukankah yang ada hanya kepentingan? Karena itu begitu kepetingannya hilang, maka prinsip ‘habis manis sepah dibuang’
akan selalu berlaku. Mungkinkah
kita mendapatkan kebahagiaaan
dengan cara ini?
- Rahasia kelima : Giving (Memberi)
Agar
bahagia, kita harus mewujudkan cinta kita dalam bentuk tindakan. Inilah yang
disebut dengan memberi. Memberi haruslah
didasarkan pada cinta kasih. Tindakan memberi
yang tertinggi adalah yang disebut dengan Give
More Expect Less (Banyak memberi,
Sedikit Berharap). Inilah yang disebut dengan Ikhlas.
Apakah
hal ni berlaku dalam politik? Ternyata tidak. Rumus utama dalam politik
bukanlah giving
(memberi), melainkan getting (mendapatkan). Dalam politik, nilai seseorang bukanlah ditentukan dari apa yang diberikan, melainkan dari apa yang
didapatkan.
Orang yang bernilai dalam politik adalah mereka yang mendapatkan jabatan, pangkat, kesempatan, dan segalanya. Kalaupun seorang politisi melakukan tindakan memberi, tindakan tersebut tidaklah didasarkan pada cinta, tetapi pada kalkulasi untung rugi. Tindakan seperti ini sudah pasti tidak akan mendatangkan kebahagiaan.
Orang yang bernilai dalam politik adalah mereka yang mendapatkan jabatan, pangkat, kesempatan, dan segalanya. Kalaupun seorang politisi melakukan tindakan memberi, tindakan tersebut tidaklah didasarkan pada cinta, tetapi pada kalkulasi untung rugi. Tindakan seperti ini sudah pasti tidak akan mendatangkan kebahagiaan.
- Rahasia keenam : Forgiving (Memaafkan)
Agar bisa berbahagia,
kita perlu senantiasa memaafkan orang lain. Memaafkan
bukanlah untuk kepentingan orang yang
menyakiti hati kita. Memaafkan adalah untuk kita sendiri. Hanya dengan
memaafkanlah kita dapat menikmati hidup yang indah dan penuh
dengan kedamaian.
Namun, rumus
ini
tampaknya tidak berlaku dalam politik.
Ketika seorang lawan politik
melakukan kesalahan, maka kesalahan
tersebut dapat kita manfaatkan
untuk kepentingan kita.
Kesalahan-kesalahan lawan perlu terus kita ingat-ingat dan dokumentasikan karena suatu ketika akan dapat kita manfaatkan untuk menyerangnya. Rumus dalam politik bukanlah memaafkan, melainkan membalas. Kalau demikian, bukankah kebahagiaan akan semakin menjauh dari diri kita ?
Kesalahan-kesalahan lawan perlu terus kita ingat-ingat dan dokumentasikan karena suatu ketika akan dapat kita manfaatkan untuk menyerangnya. Rumus dalam politik bukanlah memaafkan, melainkan membalas. Kalau demikian, bukankah kebahagiaan akan semakin menjauh dari diri kita ?
- Rahasia Ketujuh
: Surrender (Berserah)
Untuk mendapatkan
kebahagiaan, kita harus menyerahkan apa yang tidak bisa kita lakukan ke tangan
Tuhan. Rumus berserah yang paling membahagiakan bukanlah meminta sesuatu kepada
Tuhan, melainkan benar-benar berserah.
Ketika berserah, kita tidak meminta A atau B, tetapi menyerahkan sepenuhnya pada Tuhan untuk memilihkan yang terbaik bagi kita. Hal ini penting karena apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi kita, dan apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk bagi kita.
Ketika berserah, kita tidak meminta A atau B, tetapi menyerahkan sepenuhnya pada Tuhan untuk memilihkan yang terbaik bagi kita. Hal ini penting karena apa yang kita anggap baik belum tentu baik bagi kita, dan apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk bagi kita.
Dalam politik,
kita tidak pernah melakukan penyerahan seperti ini. Apakah ada seorang calon
anggota legislatif atau calon presiden yang berdoa kepada Tuhan untuk minta
dipilihkan yang terbaik menurut kehendak Tuhan?
Mungkinkah ia berdoa, “Ya Tuhan, seandainya kemenangan ini baik bagiku, maka berikanlah kepadaku kemenangan. Tetapi seandainya kemenangan ini tidak baik untukku, maka jauhkanlah aku dari kemenangan”. Tidak mungkin, bukan?
Mungkinkah ia berdoa, “Ya Tuhan, seandainya kemenangan ini baik bagiku, maka berikanlah kepadaku kemenangan. Tetapi seandainya kemenangan ini tidak baik untukku, maka jauhkanlah aku dari kemenangan”. Tidak mungkin, bukan?
Doa para politisi hanya satu : mereka meminta kemenangan kepada Tuhan, tak peduli apakah kemenangan tersebut baik atau tidak baik bagi mereka. Doa seperti itu sebenarnya sama saja dengan mendikte Tuhan agar menuruti apa yang kita inginkan. Dengan kata lain, kita sebenarnya tidak terlalu percaya pada apa yang dipilihkan Tuhan untuk kita.
Itulah cuplikan buku karya Arvan Pradiansyah. Semoga bermanfaat.
Suparto.
buku bagus ni pak
ReplyDeleteasyik, menggelitik.
Deletekeren, ga jadi pengen jadi politikus ah. hahaha
ReplyDeletejadi politisi tetap diminati banyak orang kan?
Delete