Tulisan saya kemarin berjudul
No Comment ternyata mendapat banyak
respon dari pembaca. Hampir semua komentarnya menyertakan kata “No Comment”.
Namun dari sekian banyak komentar “No Comment”, ada satu orang teman
yang komentarnya menarik perhatian saya. Dia menyatakan, “aku ikutan no comment
atau off the record aja yahh.”
L
L
Nah, berangkat dari
komentar terakhir yang saya sebutkan itu, kali ini saya ingin menyoroti
penggunaan pernyataan “off the record” secara proporsional.
Dalam dunia pers, off
the record adalah pernyataan permintaan dari nara sumber untuk tidak menyiarkan keterangan yang
diberikannya. Jika nara sumber mengatakan bahwa keterangannya adalah off the record maka itu artinya apa yang
disampaikannya bukan untuk konsumsi berita bagi klalayak. Informasi itu bisa
dipakai sebagai bahan pengetahuan bagi wartawan saja. Mungkin menyangkut informasi yang rahasia.
Informasi yang
bersifat off the record biasanya hanya diketahui oleh si nara sumber. Jika informasi itu sudah diketahui secara umum oleh publik, nara sumber tidak layak mengatakan keterangannya off the record.
Dalam suatu wawancara, ada
sumber berita yang memberikan isyarat dengan mengatakan, “Maaf, permasalahan
ini off-the-record ya,” sebelum
menjelaskan masalah yang ditanyakan atau ditengah-tengah pembicaraan ketika
menjawab pertanyaan reporter. Ketika kita mendengar istilah off-the-record, hentikan sejenak
wawancara untuk memperoleh kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan kata-kata
tersebut.
Menurut Hill and Breen (Muntazir,
2011: 222), seperti dikutip https://agungimam.wordpress.com
sekurang-kurangnya ada tiga kemungkinan makna off-the-record jika digunakan pada kesempatan wawancara untuk
menghimpun bahan berita.
- Secara harfiah, istilah off-the-record mengandung arti bahwa sumber berita tidak menghendaki reporter untuk menulis dan mempublikasikan pernyataan-pernyataan yang disampaikan itu. Cukup diketahui oleh yang bertanya dan tidak untuk dibaca public secara terbuka.
- Off-the-record juga bisa berarti bahwa sebetulnya reporter dapat menulis dan mempublikasikan pernyataan-pernyataan tersebut jika reporter itu dapat menyandarkannya kepada orang lain. Jadi meskipun suatu pernyataan disampaikan oleh si “A”, misalnya, tetapi dalam Koran tidak disebutkan bahwa hal itu dikutip dari pernyataan si “A”.
- Dari
sisi waktu, ada kemungkinan istilah tersebut digunakan secara kurang tepat
oleh sumber berita. Misalnya ketika sumber menyatakan informasi ini off-the-record, sebetulnya
informasi itu sudah menjadi bagian dari pengetahuan publik. Sebab publik sudah lebih dulu mengetahui, sementara reporter melakukan wawancara
interpretasi ataupun investigasi.
Selain itu, banyak diantara
sumber berita, khususnya para politisi, menggunakan istilah off-the-record sebagai cara permainan
kata dengan maksud sebaliknya. Sebab maksud yang sebenarnya adalah justru agar
pernyataan-pernyataan yang dikategorikan off-the-record
itu dimasukan dalam isi berita.
Ia menjadi terkesan sangat
penting dan menarik; terkesan membuat pembaca terkejut; atau memberikan kesan
seolah-olah tidak ada yang tahu kecuali dirinya dan para reporter yang pada
saat itu baru diberi tahu. Karena itu, banyak pula reporter yan tetap saja
menulis dan mempublikasikan pernyataan-pernyataan yang oleh sumbernya sendiri
dinyatakan sebagai informasi off-the-record.
Usaha pencarian sumber lain
oleh reporter yang bermaksud menulis berita tentang sesuatu yang dianggap
sebagai informasi off-the-record oleh
seorang sumber, dilakukan karena pertimbangan tidak dibenarkan adanya pemaksaan
kepada sumber.
Sumber berita memiliki hak dan kebebasannya sendiri untuk memberikan atau tidak memberikan informasi. Termasuk untuk membatasi informasi yang bisa dan tidak bisa dipublikasikan.
Oleh sebab itu, jika seseorang
membatasi atau tidak memberikan fakta yang menjadi bahan berita, maka salah
satu jalan keluarnya adalah dengan mencari sumber lain yang masih bisa
memberikan kebebasan kepada reporter untuk memberitakannya. Bukan dengan
memaksa satu sumber, atau dengan meminta berulang-ulang yang mungkin dapat
memberikan kesan negatif tentang dunia pers.
Dalam pasal 7 Kode Etik Jurnalistik disebutkan, Wartawan Indonesia memiliki hak
tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas
maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang,
dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran dari pasal 7 Kode Etik Jurnalistik tersebut
diterangkan :
- Hak tolak
adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber
demi keamanan narasumber dan keluarganya.
- Embargo adalah
penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber.
- Informasi latar
belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan
atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
- “Off the
record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh
disiarkan atau diberitakan.
Itulah sekilas tentang penggunaan “off the record.”
Jika terdapat banyak kekurangan, mohon dimaklumi. Meski demikian, keterangan saya ini tidak usah dianggap “off the record.” Silakan kalau mau dikutip.
Jika terdapat banyak kekurangan, mohon dimaklumi. Meski demikian, keterangan saya ini tidak usah dianggap “off the record.” Silakan kalau mau dikutip.
Matur nuwun
Suparto
Keren, penjabarannya jadi panjang begini.
ReplyDeletesaya terpancing...
Deleteehh beneran jadi si tulis pak :D jd inget waktu sekolah duku blajar dasar jurnalistik.
ReplyDeleteIya Mas. Jadi asyik ya
Deleteof the record kata sakti untuk jurnalis
ReplyDeleteTapi sekarang sepertinya sudah tidak sakti lagi.
DeleteDisini menyediakan semua permainan terlengkap dan TERPOPULER
ReplyDeleteAnda juga dapat deposit menggunakan PULSA XL dan TSEL Tanpa Potongan harga 100%
Bisa juga di Daftarkan Dengan Akun E-money OVO, Dana, Gopay dan Link Aja.
Daftar : Puas4D
Demo Slot:
Slot Gacor idpro
Agen Casino Online
Slot Pulsa Tanpa Potongan
Demo Slot Habanero
Judi Bola online