Pemandangan indah yang kita lihat di hari Idul Fitri atau Lebaran adalah orang berkunjung
ke rumah saudara atau teman untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan, agar bersih
darinya segala noda. Bagi umat Islam, setelah sebulan menjalankan ibadah Ramadhan dan berharap dosa
terhadap Allah (secara vertikal) diampuni, maka kesalahan terhadap sesama
manusia (horizontal) juga harus bisa terhapus. Jarak yang jauh dan kesulitan di
perjalanan tak menghalangi mereka untuk menemui keluarga, saudara atau
temannya.
Dalam tradisi masyarakat
Indonesia, kita mengenal istilah Halal bi Halal, yang sering dimaknai sebagai
bersilaturahim dan bersalaman untuk saling meminta dan memberi maaf agar hati
yang membeku menjadi cair. Dengan halal bi halal semua rasa benci, dendam,
permusuhan, dengki, buruk sangka dan sifat negatif lainnya hilang dari diri
kita.
Inti Halal bi Halal adalah
silaturahim untuk saling memaafkan. Silaturahim berarti menyambung atau
menghubungkan tali kasih sayang yang dilandasi nilai-nilai persaudaraan, dan
kesetiakawanan diantara seluruh umat manusia.
Hal ini mengambil sumber
dari ajaran Islam tentang hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah)
dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun min an-nas). Dalam
al-Qur’an Surat An-Nur [24] : 22, Allah berfirman, ”… dan hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu?”
Dalam ayat tersebut pemberian
ampunan dari Allah tegas dikaitkan dengan pelaksanaan perintah memberi maaf dan
berlapang dada atas kesalahan orang lain terhadap dirinya.
Kaitannya dengan
silaturahim, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda : “Maukah kalian aku tunjukkan
amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan puasa? Yaitu engkau
damaikan orang-orang yang bertengkar. Barang siapa yang ingin panjangkan usia
dan banyak rejeki, sambungkanlah tali silaturahim,”
Karena itulah, Hari Lebaran
atau Idul Fitri ini dianggap saat yang paling tepat untuk merajut tali
persaudaraan. Meneguhkan kembali tali silaturahim untuk menemukan makna hidup
yang lebih indah. Dihiasi dengan hati yang bening, terlepas dari belenggu
penderitaan karena kotornya hati.
Suasana Idul Fitri di bulan
Syawal juga merupakan momen/peristiwa yang istimewa, karena sudah menjadi
tradisi sebagian besar masyarakat Indonesia untuk “mudik” dan berkumpul dengan
seluruh keluarganya.
Kalau di luar bulan Syawal,
kita mau ketemu orang satu persatu, orang per-orang sangat sulit, maka
kesempatan di bulan inilah kesempatan yang paling baik untuk bertemu dengan
seluruh keluarga dan kerabat atau kawan-kawannya yang sudah lama tidak ketemu.
Keinginan orang untuk mudik
ke kampung pada saat lebaran, kalau kita cermati, sebenarnya muaranya sama,
yakni keinginan untuk saling bertemu, kemudian memberi salam kedamaian dengan
bersalaman (saling memaafkan), dengan mengharapkan berkah dari Allah SWT.
Secara harfiah, mudik itu sering diartikan pulang kampung. Tetapi
secara simbolik, mudik juga berarti ‘kembali kepada asal’. Kembali ke
asal kultural/budaya, seperti orang-orang yang berada di perantauan kembali ke
asalnya, yakni kampung halaman.
Dalam pengertian simbolis yang lebih dalam adalah kembali
kepada kesucian. Suci dari dosa terhadap Tuhan, dan suci dari kesalahan
terhadap sesamanya. Suci hatinya, bening hatinya, bersih pikirannya.Tenang dan
tentram hidupnya.
Sayangnya, masyarakat kita ini baru mampu menangkap makna simbolis
secara tradisi saja, “Sing penting bisa
ketemu keluarga, sedulur atau konco-konco,” Makna yang lebih dalam belum
dipahami.
Tapi sebenarnya, mohon ampun atas segala dosa kepada Tuhan maupun
minta maaf atas segala kesalahan kepada sesama itu tidak harus dilakukan di
bulan Ramadhan atau bulan Syawal saja. Yang paling baik adalah, begitu kita
merasa berbuat dosa, langsung ingat, kemudian mohon ampun kepada Allah,
bertaubat, selanjutnya memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan dosa.
Begitu juga ketika kita berbuat salah kepada sesama, seketika
itu dengan penuh kesadaran langsung meminta maaf. Demikian pula kita,
kalau ada orang lain yang meminta maaf, harus memberikan maaf. Sebab jika kita
tidak mau, orang lain tersebut sudah terlepas dari kesalahannya terhadap kita. Yang
lebh bagus lagi, kita sudah memaafkan kesalahan orang lain sebelum mereka
meminta maaf kepada kita.
Mengapa harus sesegera mungkin minta ampun kepada Allah dan minta
maaf kepada sesama atas segala dosa dan kesalahan kita? Karena kita tidak tahu
batas umur manusia. Bagaimana kalau mendadak Allah besok atau lusa menentukan
kematian bagi kita? Padahal kita masih banyak dosa dan kesalahan. Inilah yang
harus dijaga dan perlu mendapat perhatian. Terutama kesalahan terhadap
sesamanya, kalau kita belum menyatakan meminta maaf, Allah belum mengampuninya.
Semoga menjadi renungan.
Suparto
#MohonMaafLahirBatin
Hikmah ramadhan dan Idul Fitri, di mana ada ghirah untuk saling maaf memaafkan
ReplyDeleteSemoga ghirah itu terus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari...
Delete