-
Angkat
Tema-tema Aktual -
Komplek Serambi Sukowati
berada di tengah kampung. Tepatnya di Jalan Dr. Wahidin No.9 Kampung Sragen Dok
RT. 17/RW.06 Sragen Wetan.
Pada hari-hari biasa,
komplek serambi Sukowati ini terlihat
sepi. Tapi ketika berlangsung kegiatan latihan maupun pentas seni, kawasan ini
terasa hidup.
Saat mau pentas Sandiwara misalnya, para punggawa Sanggar Seni sibuk mengatur tempat, tata letak, tata panggung, tata lampu, perangkat music, dan berbagai kelengkapan lainnya. Begitu juga untuk kegiatan pentas seni lainnya.
Saat mau pentas Sandiwara misalnya, para punggawa Sanggar Seni sibuk mengatur tempat, tata letak, tata panggung, tata lampu, perangkat music, dan berbagai kelengkapan lainnya. Begitu juga untuk kegiatan pentas seni lainnya.
“Meski dengan fasilitas
seadanya, kami berusaha untuk menyuguhkan tampilan yang maksimal dan
berkualitas, sekaligus menjadi hiburan segar bagi masyarakat. Teman-teman seniman itu punya
semangat yang luar biasa.” Mbah Pine Wiyatno, ketua Sanggar Seni Serambi Sukowati,
menjelaskan.
"Mbah Pine" Wityatno |
Pentas seni Seraambi
Sukowati banyak mengangkat tema-tema aktual, realitas sosial dan kritik sosial.
Seperti lakon “Kepelut Udete Kenya” yang bercerita tentang realitas “nyumbang”
pada hajatan atau orang punya kerja,
tapi menjadi masalah keluarga tantaran pola pikir yang salah.
Teater dan Ketoprak Serambi Sukowati
bahkan sudah sering pentas di berbagai wilayah di Jateng.
Yang terkenal misalnya, Ketoprak Serambi Sukowati berkesempatan pentas di Taman Budaya Jawa Tengah/Taman Budaya Surakarta dengan lakon "Mrucut Saka Gendongan."
Yang terkenal misalnya, Ketoprak Serambi Sukowati berkesempatan pentas di Taman Budaya Jawa Tengah/Taman Budaya Surakarta dengan lakon "Mrucut Saka Gendongan."
Lakon Mrucut Saka Gendongan
mengungkap masalah “Harapan Kosong” dari seorang pemimpin. Soal janji yang tak
terpenuhi pada pemimpin yang dijagokan. Keadaaan semakin ruwet ketika pemimpin
itu melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Akhirnya rakyat kecewa.
Menurut Mbah Pine, nama
Serambi Sukowati pernah moncer di jagad seni Indonesia karena berhasil
mendatangkan penyair nasional, WS. Rendra, untuk orasi budaya dan main drama
bersama istri dan anaknya, dengan tajuk “Memandang Indonesia dari Sragen.”
Karena nama WS. Rendra
begitu melekat di hati kerabat Serambi Sukowati, maka ketika penyair tersebut
meninggal dunia, 40 hari kemudian diadakan acara “parade baca puisi karya
Rendra” untuk mengenang tokoh yang dijuluki “Si Burung Merak” itu.
Tokoh terkenal lainnya yang
mengisi acara di Serambi Sukowati adalah GM. Sudharta, seorang katurnis Koran Kompas.
Kemudian, Dalang Ki Jlitheng Suparman juga pernah manggung di Serambi Sukowati dengan mementaskan "Wayang Kampoeng Sebelah (WKS)".
Ada lagi peristiwa
fenomenal yang diselenggarakan di Serambi Sukowati tahun 2013 yakni acara pertunjukan
seni bertajuk “Apresiasi Serat Centhini” yang menghadirkan Elizabeth
D. Inandiak, seorang penyair terkenal asal Prancis.
Serat Centhini, merupakan maha karya sastra Jawa
Klasik awal abad ke-19 yang lahir pada masa pemerintahan Raja Keraton
Surakarta, Sri Susunan Pakubuwana V.
Sedangkan Elizabeth D. Inandiak adalah penyair asal kota Lyon, Prancis yang berhasil menyadur karya pujangga Surakarta itu dalam bahasa Prancis berjudul “Les Chants de l’ile a dormir debout : le Livre de Centhini”. Buku ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul “CENTHINI, Kekasih Yang Tersembunyi.”
Sedangkan Elizabeth D. Inandiak adalah penyair asal kota Lyon, Prancis yang berhasil menyadur karya pujangga Surakarta itu dalam bahasa Prancis berjudul “Les Chants de l’ile a dormir debout : le Livre de Centhini”. Buku ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berjudul “CENTHINI, Kekasih Yang Tersembunyi.”
Acara “Apresiasi Serat
Centhini” diselingi dengan pertunjukan seni kolaborasi Suprapto Suryodarmo
(Mbah Prapto) dari Padepokan Lemah Putih Solo, dan Misbach Daeng Bilok (Napas
Angin, Kelompok Al-Here Makasar), yang menampilkan para cewek Bule dari berbagai
Negara, menari dengan amat luwesnya.
Agus Fatchur Rahman, bersama Elizabeth D.Inandiak |
Sebelum sesi dialog, Agus Fatchur Rahman, sang tuan rumah - bupati yang dikenal sebagai seorang budayawan - membacakan
naskah tembang puluhan halaman, berisi beberapa episode kisah dalam buku “Empat
puluh malam, satunya hujan.”
Salah satu penggalan bait
itu adalah:
“Jangan risau, biarkan rasa mengikuti kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai yang hebat. Biarkan kobaran api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati sendiri, segala kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini !”
“Jangan risau, biarkan rasa mengikuti kesedihan hatimu. Ingat, kamu adalah keturunan Kyai yang hebat. Biarkan kobaran api yang sulit dipadamkan terus menyala. Nanti, ketika mati sendiri, segala kotorannya akan lenyap. Itulah sebabnya biarkan hidup keindahan emas ini !”
Agus Fatchur Rahman, Baca Serat Centhini |
Demikian
sekilas tulisan saya tentang Serambi Sukowati Sragen. Sebuah goresan amat sederhana sekedar ikut mengisi catatan budaya di Bumi Sukowati. Semoga bermanfaat. Masih banyak hal yang belum terungkap. InsyaAllah di kesempatan lain akan kita tulis.
Kalau ada yang salah mohon dikoreksi ya…
Kalau ada yang salah mohon dikoreksi ya…
Suparto
Comments
Post a Comment