Buku LETTERS from KARTINI (foto:www.google.co.id) |
Setelah memperingati Hari Kartini tanggal 21 April,
apa yang dapat kita ambil hikmahnya? Beragam pendapat dan kesan bisa muncul
sesuai pemahaman, analisis, persepsi, dan kepentingan masing-masing orang.
Beberapa hal berikut ini barangkali menggambarkan sekilas tentang bagaimana
kita melihat sosok Kartini dalam era kekinian.
Pertama, sebagian besar orang Indonesia masih mempercayai sosok
Kartini sebagai seorang wanita pejuang karera secara formal Pemerintah
Indonesia (1964) telah mentapkan sebagai Pahlawan Nasional. Hari kelahiranya,
21 April, pun dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai Hari Kartini dan
diperingati melalui upacara dan berbagai kegiatan yang lain.
Namun, menurut saya, pengakuan itu baru sebatas formal
seremonial. Pemerintah memang telah menerbitkan buku sejarah Kartini yang
diajarkan di sekolah, foto-foto Kartini banyak dipajang di ruang-ruang kelas,
berbagai kegiatan dilakukan, dan upacara resmi disel5enggarakan secara nasional.
Namun faktanya, begitu selesai tangal 21 April, tak
ada hikmah berarti yang didapat. Bagai angin berlalu. Suasana kembali sepi.
Yang ada adalah hasil foto-foto selfy
berbusana kebaya saat mengikuti upacara menghiasi media sosial. Kalau
ditanya bagaimana spirit dan gagasan Kartini mampu menggetarkan sanubari dan
mempengaruhi pola pikirnya, mereka hanya menggelengkan kepala, atau mengangkat
bahu, sembari berucap, “entahlah….”
Bagi mereka tak terlalu penting untuk memikirkan sosok
Kartini di luar tanggal 21 April. Nama Kartini hanya didengar sekilas melalui
pelajaran formal di sekolah, atau ketika petugas upacara membacakan riwayat
hidupnya secara singkat. Lebih dari itu tak pernah tahu. Parahnya, juga tidak
pernah berusaha mengetahui sejarahnya melalui usaha lain, seperti membaca buku,
media massa atau berbagai media lainya.
Buku-Buku
Tentang Kartini
Kedua, dalam berbagai referensi, setelah J.H. Abendanon
menerbitkan surat-surat Kartini dalam buku berjudul Door Duisternis tot Licht dan diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh seorang sastrawan, Armijn Pane, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, kemudian lahir
beberapa buku tentang Kartini.
Tahun 1972, seorang warga Indoneaia, Sulastin
Sutrisno, tengah studi di bidang sastra di Universitas Leiden, Belanda. Salah
seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku
kumpulan surat-surat Kartini. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa
menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah
buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit
dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa
Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa
Jawa".
Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia. Tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia. Tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini
adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904.
Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang
ada dalam Door Duisternis Tot Licht
versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada
Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté,
bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih
memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya seorang
sastrawan, Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil
Aku Kartini Saja merupakan hasil pengumpulan data dari
berbagai sumber oleh Pramoedya.
Ada lagi buku berjudul
Kartini Sebuah Biografi karya Titisoemandari
Soeroto, Butir-Butir R.A.Kartini disusun
Myrtha Soeroto, dan Tragedi Kartini :
Sebuah Pertarungan Ideologi karya Asma Karimah, dan masih banyak lagi, serta
beberapa artikel tentang Kartini bermunculan dengan berbagai versi.
Hal tesebut tentunya sangat menggembirakan, karena memberikan banyak informasi untuk bahan mengkaji sosok Kartini.
Namun disisi lain, menimbulkan kekhawatiran sebagian orang karena ada silang pendapat terhadap tokoh yang sudah ditetapkan kepahlawanannya oleh Pemerintah itu.
Hal tesebut tentunya sangat menggembirakan, karena memberikan banyak informasi untuk bahan mengkaji sosok Kartini.
Namun disisi lain, menimbulkan kekhawatiran sebagian orang karena ada silang pendapat terhadap tokoh yang sudah ditetapkan kepahlawanannya oleh Pemerintah itu.
Kontroversi
Ketiga, munculnya kontroversi ketika ada orang-orang kritis
yang mulai berani menggugat status
kepahlawanan Kartini dan meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan
J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa
surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit
saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda,
dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga
saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya.
Menurut Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk
dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar
juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar
tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun digabung sekaligus dengan Hari
Ibu tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak dianggap pilih kasih
dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Menurut sebagian orang, masih
ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak
Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.
Guru
besar Universitas Indonesia (UI), Harsja W. Bachtiar juga pernah mengkritik
“pengkultusan” R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam buku
Satu Abad Kartini (1879-1979), yang terbit tahun 1990, Harsja W. Bachtiar
menulis sebuah artikel berjudul : Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat
Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini yang dikatakan mengambil
alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
Belanda.
Harsja
menggugat dengan halus, kenapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol
kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam
sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah
Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari
Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku
Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Padahal, kehebatan dua
wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang
sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan
Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu.
Hikmah
Tersembunyi
Dari tiga
hal yang terungkap di atas, kita bisa menemukan banyak pelajaran penting untuk diambil
hikmahnya.
Pertama, masih rendahnya pemahaman
dan adanya sikap masa bodoh sebagian besar warga Indonesia terhadap para
pahlawan di negerinya, membuktikan bahwa system pendidikan sejarah di
Indonesia perlu terus dievaluasi dan
disempurnakan.
Kedua, kita semua perlu lebih banyak belajar tentang
sejarah Indonesia secara komprehensif dengan pikiran jernih. Menjadi tugas dan
tantangan gererasi sekarang untuk terus menggali sumber-sumber sejarah yang
sebenarnya tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politis dan sentimen kebencian
berlatar belakang SARA.
Ketiga, munculnya pihak-pihak yang
berani menggugat status kepahlawanan Kartini jangan diartikan sempit
seolah-olah merendahkan derajat sosok Kartini yang sudah ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia. Namun harus menjadi bahan introspeksi semua pihak,
bahwa penulisan sejarah selama ini tidak lepas dari kepentingan penguasa.
Keempat, terlepas dari adanya pihak
yang mempermasalahkan ketokohan Kartini, ada sisi penting yang perlu kita
pahami. Mengapa perjuangan Kartini mampu menjadi sosok yang melegenda dan
namanya terabadikan dalam khazanah sejarah Indonesia, bahkan tingkat dunia?
Menurut
saya, salah satu faktor penting adalah karena Kartini mampu mengungkapkan
berbagai gagasan cemerlang dan pergulatan pemikiran dan pengalamannya dalam
bentuk tulisan, baik lewat surat maupun artikel di media massa.
Gagasan Kartini itu kemudian tersebar luas melalui buku dan berbagai media lainnya. Artinya, seperti yang sering kita dengar dalam ungkapan, "tulisanlah yang mampu mengikat makna dan menjadikan keabadian seseorang."
Gagasan Kartini itu kemudian tersebar luas melalui buku dan berbagai media lainnya. Artinya, seperti yang sering kita dengar dalam ungkapan, "tulisanlah yang mampu mengikat makna dan menjadikan keabadian seseorang."
Intinya, memperingati Hari Kartini
jangan hanya ngucapin Selamat Hari Kartini atau ikut upacara pakai kebaya. Namun
kita harus belajar tentang budaya Leterasi – dunia baca tulis yang banyak digelorakan
Kartini.
Kartini yang cerdas selalu berpikir kritis, punya gagasan kreatif, berjuang mewujudkan cita-citanya, diikuti oleh proses membaca dan menulis yang tidak pernah berhenti, pada akhirnya menciptakan karya dan keabadian namanya. (Suparto)
Kartini yang cerdas selalu berpikir kritis, punya gagasan kreatif, berjuang mewujudkan cita-citanya, diikuti oleh proses membaca dan menulis yang tidak pernah berhenti, pada akhirnya menciptakan karya dan keabadian namanya. (Suparto)
Tulisan yang luar biasa.. :)
ReplyDeleteMari menulis untuk mengikat sejarah...
termasuk sejarah hidup kita ya Mbak..
Deleteinvestigasinya luassss bangettt, good job Pak.
ReplyDeleteBtw, dari kemarin saya masih penasaran kenapa kartini era 18000an nikahnya di usia 24th an yah.. padahal zaman samono rata2 wanita nikah di usia masih blas2 an.
wah. perlu investigasi lagi Mbak...
DeleteMatur nuwun...
Keren sekali Pak Parto 👍.
ReplyDeleteTulisan yg rapi dan sistematis.
Selalu ada hikmah dibalik sejarah yg tercipta 😊
itulah pentingnya kita belajar sejarah dan mencipta sejarah...
Deletemunculnya pihak-pihak yang berani menggugat status kepahlawanan Kartini jangan diartikan sempit seolah-olah merendahkan derajat sosok Kartini yang sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namun harus menjadi bahan introspeksi semua pihak, bahwa penulisan sejarah selama ini tidak lepas dari kepentingan penguasa.
ReplyDeleteSetujuuuuuuuuuuuuu sekali!!!
kalau penulisan sejarah sarat kepentingan dan tidak jujur, kelak akan membingungkan. kasihan generasi penerus..
DeleteSaya yakin pak, RA Kartini tak pernah meminta untuk diakui sebagai Pahlawan kok. Lalu kenapa sosok beliau begitu di kultuskan?
ReplyDeleteKarena presiden kita saat penganugerahan gelar Pahlawan Nasional itu adalah orang Jawa.
Inilah juga bagian dari sejarah. Selebihnya, orang bebas berpendapat Layak atau tidak gelar itu.
Betul Mas
Deletesaya juga berpikir kenapa harus kartini?
ReplyDeleteinilah tantangan generasi sekarang.
Delete