Tanggal 21 April, ditetapkan sebagai Hari Kartini, untuk mengenang perjuangan salah seorang tokoh yang lahir di Jepara, Jawa
Tengah, bernama Raden Ajeng Kartini. Meski ada banyak tokoh Indenesia yang mungkin lebih hebat, namun pergulatan hidup, gagasan
cemerlang dan usaha yang dilakukan tokoh yang satu ini, tentu ada yang patut diketahui
dan diteladani.
***
Dalam berbagai referensi dan buku sejarah Indonesia
disebutkan, Raden Ajeng (RA) Kartini adalah salah satu tokoh pejuang, pelopor
kemajuan dan pendobrak keterbelakangan kaum wanita. Dia seorang
figur wanita yang dalam perjalanan hidupnya menjadi teladan bagi kaumnya, dalam
upaya keluar dari kungkungan keterbelakangan. Kartini berjuang untuk keluar
dari tradisi yang membelenggu, meraih kedudukan sejajar dengan kaum pria dalam
memperoleh hak-hak dan menjalankan kewajibannya.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara
segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi
bukan istri utama (Dalam terminologi budaya Jawa dinamakan Garwo Ampil, artinya istri yang bukan permaisuri. Sedangkan istri
permaisuri disebut Garwo Padmi).
Ibunya bernama Mas Ajeng (MA) Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan
Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Ayah Kartini pada mulanya adalah
seorang Wedana di Mayong Jepara.
Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorang
bangsawan. Karena MA. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah
lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.
Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara
menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari
kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun dan dikenal
pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi
pendidikan Barat kepada anak-anaknya.
Sifat kepemimpinan dan jiwa kepeloporan Kartini sudah terlihat sejak
remaja. la tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas, senang belajar dan haus
ilmu pengetahuan. Karena genit dan cekatan seperti burung trinil maka Kartini
sering dipanggil ”Trinil”. Namun dalam kehidupan keluarga, ia sangat terkekang.
Sebagai keluarga bangsawan, diusia 12 tahun Kartini harus ”dipingit” (tidak bebas keluar rumah dan batas-batas
tembok kabupaten) sehingga merasa terbelenggu dengan tradisi itu.
Pingitan yang dialami Kartini dirasakannya sebagai kekangan dan
ketidakadilan terhadap kaumnya. Penderitaan dalam pingitan itu menimbulkan
tekad untuk menembus dan menjebol adat yang dianggap menghambat kemajuan.
Dalam pandangan Kartini, kaum perempuan harus mendapatkan ilmu pengetahuan
sebanyak-banyaknya agar bisa menjadi pendidik yang utama bagi anak-anaknya.
Untuk mengurangi penderitaan batinnya,
Kartini mengisi waktu dengan banyak membaca buku, kemudian menulis surat kepada
sahabat-sahabatnya. Ia curahkan segala isi hati, pemikiran dan cita-cita
perjuangannya.
Dari banyak pemikiran dan cita-cita
perjuangan Kartini, yang paling menonjol adalah keinginan kuat untuk mendobrak
tradisi yang membelenggu dan merendahkan derajat kaum wanita. Kartini mendesak
Pemerintah Hindia Belanda agar meninjau ulang kebijakan politiknya dan
mengadakan pembaruan yang berguna bagi masyarakat.
Menurut Kartini, wanita harus berjuang
untuk mendapatkan martabat yang sejajar dengan kaum pria. Wanita harus dididik
dan dicerdaskan agar hati dan pikirannya terbuka, karena Tuhan menciptakan
perempuan dan laki-laki sebagai makhluk yang memiliki derajat dan martabat yang
sama. Hal ini dikenal sebagai cita-cita memperjuangkan emansipasi wanita.
Kartini ingin mengubah kedudukan
perempuan, dengan memberi kesempatan dan kebebasan untuk menuntut ilmu dan
diberi hak memangku jabatan dalam masyarakat. Dalam pandangan Kartini, apabila
kaum wanita berpendidikan, ia akan lebih cakap dalam mendidik putra-putrinya
dan mengurus rumah tangganya. Dan pengaruh lebih lanjut adalah akan memajukan
bangsanya.
Kartini mengusulkan, agar anak-anak
diberi pendidikan modern dan pendidikan budi pekerti, karena suatu bangsa yang
tidak berbudi dan bermoral baik, pasti akan mengalami kemunduran.
“Wanita harus menjadi soko guru paradaban,” kata Kartini dalam sebuah suratnya.
Maksudnya, wanita atau Ibu merupakan pengajar dan pendidik yang utama, dan yang sejak pertama pula saat anak masih berada dipangkuan, anak belajar merasa, berpikir dan berbicara. Dari sinilah awal manusia mengenal peradaban.
”Dipangkuan ibu itulah manusia mendapatkan pendidikan yang pertama, ” tegasnya.
“Wanita harus menjadi soko guru paradaban,” kata Kartini dalam sebuah suratnya.
Maksudnya, wanita atau Ibu merupakan pengajar dan pendidik yang utama, dan yang sejak pertama pula saat anak masih berada dipangkuan, anak belajar merasa, berpikir dan berbicara. Dari sinilah awal manusia mengenal peradaban.
”Dipangkuan ibu itulah manusia mendapatkan pendidikan yang pertama, ” tegasnya.
Kalau kita cermati pemikiran Kartini,
ternyata masalah pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, karena bidang ini merupakan kunci untuk meningkatkan
kecerdasan dan kemajuan. Terutama kaum wanita, harus membebaskan dirinya dari
keterbelakangan atau kebodohannya melalui pendidikan. Melalui pendidikan, kaum
wanita akan mengetahui hak dan kewajibannya, serta bisa diajak untuk mengambil
keputusan. Dengan modal pendidikan maka ketergantungan perempuan kepada
laki-laki menjadi kecil. Oleh karena itu, kaum wanita dituntut untuk mempunyai
pendidikan yang cukup.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Kartini
minta kepada ayahnya agar ia diijinkan untuk masuk sekolah HBS (Hogere Burger School – pendidikan menengah
umum pada zaman Hindia Belanda) di Semarang. Tetapi dengan hati berat,
ayahnya tidak mengijinkan permintaan itu walau ia tahu anaknya ini sangat
cerdas dan telah mahir bahasa Belanda.
Kartini tidak putus asa. Ia berusaha
mencari jalan terus untuk melanjutkan sekolah. Dengan bantuan kawan-kawannya,
ia berhasil mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi di negeri Belanda.
Namun mendadak Kartini dihadapkan pada persimpangan jalan. Jalan pertama sudah
terintis menuju terwujudnya cita-cita ingin meneruskan pendidikan, tetapi
disisi lain ia ingat perasaan ayahnya. “Apakah aku harus meninggalkan ayahanda
yang kucintai sepenuh hati…?” kata Kartini.
Ia tidak tega menyakiti hati
orangtuanya. Beasiswa yang telah diperjuangkan susah payah itu, akhirnya
diberikan kepada seorang pemuda cerdas dan penuh cita-cita, namanya Agus Salim.
Kartini menyebutnya Salim.
Dikemudian hari pemuda ini bernama Haji Agus Salim, salah seorang
pemimpin bangsa Indonesia terkenal, pernah menjadi Menteri Muda Luar Negeri dan
seorang diplomat ulung tingkat dunia yang sangat disegani oleh
semua kalangan.
(Suparto) – bersambung ...
(Suparto) – bersambung ...
Hmm sepertinya wanita harus mendalami lagi tentang warisan yg ditinggalkan kartini yg seeing disebut keseteraan gender
ReplyDeleteinsyaAllah besok saya lanjutkan Mbak..
DeleteSeruuu baca tentang Kartini
ReplyDeleteSeruuu baca tentang Kartini
ReplyDeletememang menggemaskan juga ya...
Deleteoke.. segera menju ke bagian yang kedua pak.. ^_^
ReplyDeleteoke mbak...
Deleteingin sekali bisa menulis seperti Pak Suparto. keren.
ReplyDeleteSaya masih belajar terus mas.
Delete