Hidup dalam pingitan, tak membuat Kartini diam
dan menyerah. Melalui surat-suratnya, Kartini menjalin persahabatan tanpa batas, menembus
kungkungan tembok tebal adat.
Sebagai putri seorang bupati yang
berpikiran maju, Kartini memperoleh kesempatan untuk berkenalan dengan para
istri pejabat Belanda yang mengadakan perjalanan dinas ke Jepara. Dari
perkenalan itu terjalin persahabatan yang sangat erat, kemudian dilanjutkan
dengan surat-menyurat.
Meski usianya terpaut jauh, Kartini
tidak merasa canggung dan malu, bahkan ia sendiri yang mengajak untuk menjalin
persahabatan dan bertukar pikiran. Diantara sahabat-sahabatnya, tercatat nama
Ny. Ovink Soer, Ny. Stella, Ny. Van Kol dan Mr. J.H. Abendanon.
- Sejak saat itu, hampir tiap hari, Kartini menyediakan waktu khusus untuk menulis surat kepada para sahabatnya. Kala itu ia selalu melahap berbagai informasi dari buku, koran dan majalah sehingga pengetahuannya amat luas. Kartini benar-benar memanfaatkan waktu dalam pingitan untuk membaca dan bertukar-pikiran melalui surat-menyurat (koresponden) dengan sahabatnya di dalam maupun luar negeri.
Kepada temannya ia mengungkapkan tentang
apa yang tengah dilakukannya. “Membaca dan menulis adalah segala-galanya
bagiku. Tanpa kedua hal tersebut, barangkali aku mati…” katanya.
Sabahat Kartini terus bertambah, karena
ia juga berkenalan kepada banyak orang lewat koran atau majalah alias sahabat
pena. Baginya, persahabatan itu tidak mengenal batas.
Perasaan dan pikiran Kartini yang tersiksa
melihat gadis pribumi yang dikekang atau terkungkung oleh adat, dicurahkan
dalam surat-suratnya. Ia ungkapkan gejolak hati, pergulatan batin, keinginan
dan cita-citanya. Semua sahabatnya harus tahu, barangkali mereka dapat
membantunya. Ia terus menulis dan menulis dari belakang tembok kabupaten yang
tebal dan tinggi itu.
Dari para sahabatnya di negeri Belanda,
Kartini mendapat kiriman buku-buku dan majalah. Mereka juga selalu mendorong
Kartini untuk banyak membaca dan menuangkan pikiran melalui tulisan agar
diketahui oleh masyarakat luas.
Karena itu selain menulis surat untuk
para sahabatnya, tulisan atau artikel Kartini pun banyak dimuat di majalah dan
koran. Tulisan Kartini tidak hanya terbatas pada persoalan perjuangan untuk
kaum wanita, tetapi juga mencakup berbagai hal tentang kehidupan umat manusia.
Kartini juga tidak tinggal diam. Untuk
mewujudkan cita-citanya ke arah pendidikan kaum wanita Indonesia (pribumi),
dengan persetujuan dan bantuan Direktur Departemen Pengajaran Hindia Belanda,
Mr. J.H. Abendanon, pada tahun 1900 Kartini membuka sekolah kecil di halaman
Kabupaten Jepara. Pada mulanya hanya terbatas pada lingkungan keluarga, tetapi
kemudian masyarakat di luar kabupaten mulai menghargai usahanya dan menyerahkan
anak-anaknya untuk dididik.
Tahun 1903 Kartini menikah dengan Raden
Adipati Ario Djojohadiningrat, Bupati Rembang yang sangat menghargai dan
memberikan bantuan sepenuhnya atas usaha Kartini. Beberapa bulan sesudah pindah
di kabupaten Rembang, bulan Januari 1904 ia membuka sekolah gadis di tempatnya
yang baru itu. Sedangkan sekolah di halaman Kabupaten Jepara diteruskan oleh
adik-adiknya.
Sayang, kebahagiaan dan usahanya itu
tidak lama dapat dinikmati oleh putri agung ini. Pada tanggal 17 September
1904, lebih kurang satu tahun setelah menikah dan lima hari setelah melahirkan
puteranya yang pertama, Kartini meninggal dunia, dalam usia sangat muda, 25
tahun.
Namun demikian, perjuangan dan cita-cita
Kartini tidak terhenti sampai disitu. Tahun 1911, Mr. J.H. Abendanon, salah
satu sahabat Kartini yang juga menjabat Direktur Departemen Pengajaran Hindia Belanda
menerbitkan sebuah buku tulisan Kartini berjudul Door Duisternis tot Licht.
Tahun 1923 buku ini telah mengalami
cetak ulang ke-4. Baru sekitar tahun 1938, Balai Pustaka Jakarta menerbitkan
terjemahannya dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang. Buku ini berisi kumpulan sebagian dari ratusan surat
Kartini kepada para sahabatnya orang Belanda yang ditulisnya antara tahun 1900
hingga 1904.
Dalam surat-suratnya itu terbentang
cita-cita dan tersirat duka derita batinya. Terasa didalamnya betapa jauh
gagasan-gagasan Kartini meninggalkan alam feodal tempat ia dibesarkan. Betapa
jauh ke depan pandangan-pandangannya dan begitu besar kasih sayangnya terhadap
kaumnya.
Dikemudian hari, surat-surat Kartini itu
telah menarik perhatian dunia dan diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Di
Amerika misalnya, seorang bernama Agnes Louise Symmers menerjemahkan kedalam
bahasa Inggris berjudul Letters of
Javanese Princess. Kemudian ada terjemahan bahasa Perancis dengan judul Letters de R.A. Kartini, dan masih
banyak lagi.
Dalam salah satu surat kepada
sahabatnya, Kartini mengungkapkan perasaan yang amat mengharukan :
Stella.
Aku tahu jalan yang hendak aku tempuh ini
sukar. Banyak duri dan onaknya. Begitu juga banyak lobangnya. Jalan itu berbatu
dan berliku-liku. Biarpun aku tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu,
meskipun patah di tengah jalan, aku akan mati dengan perasaan bahagia, sebab
jalannya telah dirintis. Aku telah ikut membantu untuk membuat jalan yang
menuju ke arah wanita bumiputra yang merdeka dan berdiri sendiri. ( Suparto
) – bersambung …
Pengin tahu sambungannya. ingin tahu kartini yg sesungguhnya
ReplyDeleteinsyaAllah besok Mbak..
Deletewalah, masih bersambung
ReplyDeletewalah, masih bersambung
ReplyDeletesabar.. ini masih membongkar dokumen surat-surat Kartini...
ReplyDeletewaahh masih bersambung...
ReplyDeleteWah.. uyah jadi inget. Kartini meninggal setelah melahirkan anaknya. Beliau preeklamsia waktu itu. Pak Suparto. Ditunggu surat-surat ibu Kartininya yah. :)
ReplyDeleteIya Mbak Vinny. Terima kasih...
Delete