Sejak bulan Mei lalu, Indonesia mestinya
mengalami musim kemarau, yang identik dengan musim kering dengan intensitas
hujan yang relatif rendah, atau cuaca panas. Namun kenyataannya, sampai bulan
Agustus hingga Oktober ini, hujan masih mengguyur di sebagian besar wilayah
Indonesia. Bahkan di beberapa wilayah Indonesia terjadi hujan lebat disertai
petir dan angin kencang yang menimbulkan musibah bencana banjir, tanah longsor
dan pohon-pohon tumbang.
Masih tingginya intensitas hujan yang
terjadi di musim kemarau sering disebut sebagai “kemarau basah”. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) beberapa bulan lalu memperkirakan,
berdasarkan pengamatan 50 tahun terakhir, pasca terjadinya El Nino akan diikuti
La Nina. BMKG menyebut tahun 2016 sebagai kemarau basah, karena hanya 26 persen
wilayah Indonesia yang benar-benar merasakan musim kemarau.
La Nina merupakan fenomena mendinginnya suhu muka laut di Samudera Pasifik
area khatulistiwa, yang mendorong bertambahnya suplai uap air bagi Indonesia.
Curah hujan pun akan cenderung meningkat. Sedangkan El Nino merupakan
kebalikan, yaitu musim kemarau panjang dengan minim curah hujan. Seperti yang
terjadi tahun 2015, saat itu kebakaran hutan dan lahan yang besar terjadi saat
El Nino.
Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, seperti dikutip www.beritasatu.com mengatakan,
sekitar 75 persen El Nino akan diikuti oleh hadirnya La Nina. Bahkan, sebagian
lembaga internasional memprediksi terjadinya La Nina mulai Agustus, September,
Oktober 2016. Atas kondisi ini, tidak banyak wilayah Indonesia yang betul-betul
merasakan musim kemarau.
"Kalaupun mengalami periodenya sangat pendek," jelas Andi.
Dengan begitu, akibatnya kondisi kemarau basah yang diperkirakan
berlangsung hingga penghujung tahun akan bertemu dengan masuknya kembali musim
hujan 2016/2017.
Sebanyak 92,7 persen wilayah Indonesia sudah masuk musim hujan mulai
Agustus-November. Dalam proses transisi ini akan terjadi angin kencang, puting
beliung dan gelombang tinggi.
Namun, kemarau basah tidak selalu membawa
kerugian. Pada kenyataannya, sebagian
petani padi justru merasakan keuntungan yang luar biasa atas terjadinya musim
kemarau basah tahun ini.
Mengapa? Karena intensitas hujan yang
tinggi menyebabkan cadangan air musim kemarau melimpah sehingga dapat
dimanfaatkan petani untuk meningkatkan produksi padi.
Seperti terihat di wilayah Kabupaten
Sragen ketika saya berkeliling desa, saat ini ratusan hektar padi mulai dipanen
menggunakan mesin perontok (Jawa, ‘Erek’). Tumpukan jerami pun
menggunung di sepanjang jalan yang membelah area persawahan.
Beberapa petani menyatakan, tingginya
curah hujan dimusim kemarau justru menjadi berkah.
“Alhamdulillah, hujan yang turun dalam
beberapa bulan ini menjadi berkah,” ungkap Lasono (70), seorang petani di Desa
Plosorejo, Kec. Gondang, Sragen, dengan gembira. Hal senada disampaikan oleh
beberapa petani, seperti Darmo (50) dan Bakdi (60).
“Biasanya, jika kami menggarap sawah di
musim kemarau, harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa mesin penyedot
air selama proses penggarapan. Setiap hektar sekitar Rp. 7 juta. Tetapi
karena air hujan melimpah, kami tak perlu keluar untuk biaya sedot air tersebut,”
jelas Bakdi.
Alhamdullillah selalu ada berkah ya, pak...
ReplyDeleteAlhamdullillah selalu ada berkah ya, pak...
ReplyDeletemakanya kita harus selalu bersangka baik kepada Allah.
DeletePak Parto, tulisan ini membuat saya rindu "Erek" di kampung halaman.
ReplyDeleteSaya juga mas.Beberapa hari ini kalo saya lewat persawahan dan ada orang "ngerek" saya berhenti sejenak. Menikmati suasana "ndeso" yang menentramkan...
Delete