Wulan
(54 tahun), pengamen jalanan kelas kampung, seperti yang aku ceritakan
kemarin, meski tubuhnya kecil, sejatinya adalah wanita kuat, tangguh dan ulet. Ia
tak pernah mengeluh dan menyerah menghadapi problem hidupnya. Tetap bertahan
terhadap beban hidup yang disandangnya. Demi kelangsungan hidup keluarga, ia
jalani semua itu dengan penuh semangat, sabar dan gembira.
“Pokoke tetep semangat, sabar lan seneng,”
ujar Wulan tentang bekal perjuangan hidupnya.
Menurut
Wulan, dengan tetap semangat, sabar dan menjaga hati tetap senang, ia merasa
bisa mengatasi tekanan hidup yang tidak bisa dihindari. Ia setia merawat suaminya
yang sudah beberapa tahun menderita sakit Stroke, dengan penuh kasih sayang dan
kesabaran. Sementara anaknya semata wayang yang sudah berkeluarga dan tinggal
di tempat jauh, tak bisa diharapkan.
Wulan
harus mengatur waktu dan tenaga agar bisa merawat suaminya, sekaligus mencari penghasilan
untuk menopang kebutuhan keluarga. Menjadi pengamen adalah pilihan hidup yang
dijalaninya penuh semangat dan senang hati.
Suaminya,
waktu belum terkena sakit Stroke, juga menjadi pengamen selama puluhan tahun. Meski
suaminya pengamen, Wulan mengaku dirinya tidak bisa menyanyi. Namun ketika suaminya sakit tak berdaya, ia
memutuskan untuk meneruskan profesi suaminya. Wulan pun berusaha dan belajar
keras untuk bisa menyanyi.
“Dulu
saya sama sekali tidak bisa menyanyi. Karena dipaksa oleh keadaan, kepepet, saya mulai belajar menyanyi,”
katanya.
“Belajar
menyanyi kepada siapa. Kan suaminya sakit,?” tanyaku.
“Saya
belajar sendiri. Tiap hari mendengarkan siaran lagu-lagu di radio, dan juga
nyetel kaset. Saya perhatikan semua, dan langsung saya praktekkan”
“Sekarang
sudah berapa lagu yang dikuasinya?”
“Hampir
semua lagu campursari. Juga dangdut koplo sudah saya hapalkan”
***
Wulan,
yang tinggal di sebuah desa berjarak 10 kilometer dari kota Sragen ini, punya
jadwal dan peta lokasi untuk menjalankan aksi ngamennya. Dari rumah ia kayuh
sepeda onthel sejauh tiga kilometer menuju jalan raya, untuk kemudian naik
angkutan desa ke sasaran yang dituju sesuai trayek kendaraan umum yang
dinaikinya.
Begitu
turun dari angkudes, ia berjalan kaki keliling kampung, menjalankan aksi tarik
suara dengan modal alat musik “Bas Betot” yang sudah butut. Alat ini terbuat
dari papan, berbentuk kotak yang berfungsi sebagai tabung suara, dengan lubang
di tengahnya seperti gitar. Dawainya terbuat dari karet ban dalam. Ketika ditarik
(dibetot) dawainya, akan terdengar
suara ngebas di telinga. Karena itu, alat ini dinamakan ”bas betot”.
Wulan
mengaku, saat ia menjalankan aksinya ngamen di depan rumah-rumah yang
dilaluinya, sebagian besar pemiliknya memberikan uang receh senilai seratus
hingga lima ratus rupiah. Ia tak kecewa kalau ada satu dua warga yang menutup
pintu rumahnya ketika tahu ada pengamen mau lewat.
“Saya
ikhlas saja. Yang penting cari rejeki yang halal dengan ngamen. Berapa
hasilnya, ya itu pemberian Gusti Allah,” katanya.
Ya,
Wulan memang tidak mematok target penghasilan setiap harinya. Ia justru
membatasi operasionalnya maksimal sampai pukul dua siang, karena ingat suaminya
yang juga butuh perhatian. Untuk memastikan kondisi suaminya di rumah, ia
membawa handphone sebagai alat
komunikasi. Suaminya menggunakan hp dengan cara minta tolong kepada tetangga
untuk memencetkan nomor Wulan, kemudian bicara dengan suara memelas.
***
Saat
Wulan mau lengser dari depan rumahku, tiba-tiba suara dering hp terdengar dari
dalam tas mungilnya. Ia segera membuka tas, mengambil hp dan menerima pesan
dari seberang.
“Hu,
hang hulih….,” Wulan menirukan ucapan suaminya yang tidak begitu jelas
(lantaran sakit stroke). Namun ia paham maksudnya, yakni, “Bu,
ndang mulih – Bu, segera pulang.” Ternyata, waktunya sudah hampir jam dua.
***
“Bapak
namanya siapa?” tanya Wulan.
“Parto” jawabku
“Matur
nuwun ya Pak. Saya sudah dikasih uang dan diajak ngobrol. …” kata Wulan
berpamitan.
“Nggih Bu, sama-sama…”
Wulan
pun bergegas lengser dari depan rumahku. Saat aku berada di dalam rumah,
samar-samar terdengar “ketipak-ketipuk,
dang dung” dan suara Wulan melengking di depan rumah tetanggaku. Wulan menyanyikan
sebuah lagu/gendhing, berjudul Setyo
Tuhu. Lagu yang biasa dilantunkan penyanyi Manthous ini sebenarnya berirama langgam yang halus, namun oleh
Wulan dinyanyikan dengan irama dangdut.
Mari
kita simak lirik lagu Setyo Tuhu berikut
ini.
Aku,
kang setyo satuhu ( Aku yang setia secara
mendalam )
Wit
mbiyen, nganti saiki ( Sejak dulu, hingga
saat ini )
Bebasane,
peteng kepapag obor sumunar ( Seperti
gelap yang bertemu sinar terang )
Andiko
pangayomanku ( Kamulah tempatku berteduh )
Lahir-batinku
wus nyoto ( Lahir-batinku sudah terbukti )
Mung
sajak e, andiko semune kurang reno ( Hanya
saja, kamu seperti kurang percaya )
Tondho yekti, paseksene rikalane ngangkat awrat ( Tanda bukti, terlihat ketika tengah
mengangkat berat / melalui masa sulit )
Mlampah
tebih, datan lesu ( Berjalan jauh, tanpa
merasa lelah )
Mugi
antuk berkahing Gusti ( Semoga Tuhan YME
memberi berkah )
Andiko
mung tansah limpat ( Kamu hanya perlu
terus berjalan maju )
Panyuwunku,
Sedyo kulo, tansah anglam-lami...( Permintaanku,
semoga terkenang selalu..)
Mbrebes mili ..
ReplyDeleteTulisan pak Parto mengingatkan saya pada langgam dan gending2 yg menjadi napas hidup dan mata pencaharian ibu saya dulu.
Nggih Mas Heru. Saya sendiri, meski tidak bisa menyanyi atau 'nggendheng' tapi senang mendengarkan gendhing2 Jawa. Dulu, ketika masih tinggal di desa, saya bertetangga dg Waranggono, seperti Nyahni, Sulani, Darsini, Prapti dan Yu Bebek. Mungkin Ibunda Mas Heru mengenal mereka.
DeleteMekaten Mas Heru. Nuwun