Salah
satu cara untuk menciptakan kebahagiaan adalah sikap Qana’ah. Zaka Alfarisi (2004 : 41) menjelaskan, secara bahasa, qana’ah
berarti merasa puas, merasa rela, merasa cukup. Artinya, apa pun buah yang didapat,
baik keberhasilan maupun kegagalan, mesti diterima dengan sikap qana’ah.
Orang yang
tidak memiliki sikap qana’ah, hidupnya akan selalu diliputi rasa ketidakpuasan,
merasa tidak cukup. Dasar watak manusia, kaya atau miskin, hidupnya seakan selalu
dikekang oleh penjara keinginan. Yang miskin ingin jadi kaya. Setelah kaya ingin
bertambah kaya. Setelah bertambah ingin lebih kaya lagi. Semakin banyak
keinginan, hidup terasa semakin sempit. Bayangkan, setelah punya sepeda motor
ingin mobil. Punya mobil satu ingin dua, dan seterusnya.
Tepat sekali pernyataan Rasulullah SAW. :
“Andaikata manusia itu punya emas satu lembah, niscaya ia ingin dua lembah.
Hanya tanah (baca : kematian) yang dapat membungkam mulutnya. Namun demikian,
Allah akan mengampuni siapapun yang bertaubat“ (Muttafaq ‘alaih).
Keinginan, apa pun bentuknya, selalu bermuara
pada satu dari dua hal : kepuasan atau kekecewaan. Puas kalau keinginan
tercapai. Kecewa kalau keinginan tak kesampaian. Masalahnya, tidak setap
keinginan bisa terpuaskan. Sementara manusia selalu ingin cepat. Cepat tercapai, cepat terpenuhi. Dalam
kondisi ini pun manusia tetap saja merasa kecewa kalau capaiannya tak sesuai
keinginan.
Budaya instan mendorong manusia bersikap grusa-grusu, ingin cepat berhasil, ingin
cepat mendapatkan apa yang diinginkan. Pada akhirnya seperti berkejaran dengan
bayangan sendiri. Manusia dibuat lelah oleh mesin keinginan. Keinginan memang
merupakan mesin pendorong. Tanpa keinginan, manusia tidak akan meraih kemajuan.
Namun energi keinginan harus dikelola sebagi modal besar menuju kemajuan. Tinggal
bagaimana menyikapi buah pahit dari keinginan itu. Sebab, keinginan tak
selamanya berbuah keberhasilan. Bahkan keinginan sering kali berbuah kegagalan.
Di sinilah Qana’ah berperan menjadi kendali.
Ibnu ‘Umar meriwayatkan, “Berbahagialah orang
yang memeluk agama Islam, diberi cukup rezeki, dan diberi kepuasan oleh Allah
atas karunia yag telah Dia berikan kepadanya” (HR. Muslim)
Puas dan rela. Itulah inti qana’ah.
Bersikaplah qana’ah atas rezeki yang ada. Tidak neko-neko. Qana’ah sesungguhnya merupakan faktor penting dalam
mewujudkan kebahagiaan. Kebahagiaan
bergantung pada kerelaan terhadap segala sesuatu yang menjadi ketentuan Allah. Sebaliknya, kesengsaraan berpangkal dari ketidakpuasan atas apa yang menjadi ketentuan Allah.
Sikap qana’ah bisa menghilangkan kesengsaraan
dan penderitaan. Sikap qana’ah bisa melahirkan ketenteraman dan ketenangan.
Bahwa harta itu bukan segalanya. Banyak orang kaya tetapi sebenarnya miskin.
Tak pernah merasa puas. Tak pernah merasa cukup. Nafsu pemilikan begitu menggebu.
Segala cara ditempuh untuk memuaskannya. Tak peduli lagi akan halal dan haram.
Sesungguhnya kekayaan itu bergantung pada
hati. Jumlah harta bukan jaminan. Sedikit tapi qana’ah, pastilah dirasakan kaya.
Jadi, orang kaya itu bukan orang yang punya harta berlimpah, rumah di
mana-mana, tanah luas, emas banyak. Tetapi, orang kaya itu adalah orang yang
hatinya kaya. “Orang kaya itu bukan karena banyak harta, tapi orang kaya adalah
orang yang kaya hati” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Menurut
Hamka (2015 : 267), Qana’ah
itu mengandung lima hal : (1) Menerima dengan rela akan apa yang ada; (2)
Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha; (3) Menerima dengan
sabar akan ketentuan Tuhan; (4) Bertawakal kepada Tuhan; dan (5) Tidak tertarik
oleh tipu daya dunia. Itulah yang dinamakan qana’ah, dan itulah kekayaan yang
sebenarnya.
Dalam Hadits Riwayat Ath-Thabrani, Rasulullah
bersabda, “Qana’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang
tidak akan lenyap”.
Kata Hamka, bahagia, yang dalam bahasa Arab disebut
sa’adah, tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan qana’ah. Bahagia
adalah qana’ah dan qana’ah ialah bahagia. Sebab tujuan utama qana’ah
adalah menanamkan dalam hati sendiri perasaan thuma’ninah, perasaan
tenteram dan damai, baik di waktu duka atau suka, susah atau senang, kaya atau
miskin. Lantaran yang dituntut qana’ah ketenteraman, ketenteraman itu
pula yang menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau tidak ada qana’ah.
Qana’ah dan bahagia adalah satu.
Semoga bermanfaat.
Alhamdulillah, makasih Mas artikelnya sangat bermanfaat.
ReplyDeleteIya Mbak. semoga menjadi renungan kita bersama
DeleteArtikel yang menarik dan bermanfaat. Terima kasih Pak.
ReplyDeleteoke. salam kenal ya Mas...
Delete