Terlepas dari pro dan kontra terhadap deparpolisasi, yang
lebih penting adalah bagaimana hal tersebut bisa menjadi bahan koreksi bagi para
petinggi parpol. Sudah menjadi rahasia umum, betapa parpol selama telah menjadi tempat yang paling
diburu untuk “dibeli” para bakal calon Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai “kendaraan”
maju dalam Pilkada. Untuk mendapatkan kendaraan tersebut, prosesnya sangat
berliku dan tidak murah. Coba kita lihat gambaran alur yang ‘njlimet’ dan ‘biaya
fantastis’ yang harus dikeluarkan oleh para kandidat untuk maju dalam pilkada.
Awalnya,
reformasi 1998 telah membuahkan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pemerintahan daerah yang disebut otonomi daerah. Buah
reformasi berikutnya adalah bahwa sebagai Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota dan Wakil masing-masing) harus dipilih langsung oleh rakyat dan tidak
lagi melalui representasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dibuatlah
aturan, bahwa menjadi Kepala Daerah itu terbuka bagi siapapun asal terpenuhi
syaratnya serta diusung oleh sebuah partai politik (parpol) dan/atau gabungan
parpol, bahkan bisa juga tanpa diusung parpol yang disebut calon independen.
Calon Kepala Daerah yang diusung parpol bisa dari kadernya sendiri dan/atau
bukan, tetapi ia memerlukan parpol untuk mengusungnya.
Nah,
pada titik yang terakhir itulah, ibarat orang mau bepergian ke suatu tempat, spesifikasi
kendarannya tertentu dan tidak bisa disediakan oleh setiap orang. Tetapi setiap
orang yang membutuhkan kendaraan tersebut akan dilayani dan diantar sampai ke
tujuan dengan beberapa syarat. Seperti sewa kendaraan untuk dinaiki agar bisa
terpenuhi syarat pencalonannya sebagai Kepala Daerah walau sesungguhnya bukan
kadernya.
Ujung
dari gambaran ini adalah, yakni kesepakatan yang ditandai dengan sejumlah angka
bernilai tukar akan menjadi pengeluaran alias beban sang calon Kepala Daerah.
Selain itu tentu akan dikeluarkan juga biaya-biaya lain. Misalnya dalam rangka
sosialisasi calon, program-program yang ditawarkan, serta lain-lainnya, semua
itu merupakan investasi yang secara nalar sehat akan diperhitungkan harus
kembali plus rentabilitas jika kelak terpilih dan memangku jabatan Kepala
Daerah. Jadi paradigma sang calon bisa seperti orang berdagang yang menuntut
kembali modal ditambah keuntungan. Orang Jawa bilang, ”jer basuki mawa bea” – semua ngga
ada yang gratis broo….
Untuk
mengembalikan modal dan tambahannya itulah sang Kepala Daerah harus berpikir
dan berusaha dengan kewenangan yang dimiliki. Melalui berbagai upaya dan
strategi “siluman”, akhirnya Kepala Daerah banyak terperosok pada lubang yang
dibangun sendiri, dengan istilah populer terjebak dalam kubang perilaku korup.
Kenyataan ini sungguh sangat
ironis karena dengan fakta makin banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus
korupsi, berarti dana pembangunan untuk rakyat di daerah tersedot ke kantong
pribadi pejabat.
Indonesia Corruption
Watch (ICW) yang sejak 2013 secara intens memantau persidangan kasus
korupsi, mencatat bahwa aktor
korupsi didominasi pejabat publik. Yang mencengangkan, pada tahun
2015 saja, ada 225 pejabat di Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) terlibat
korupsi. Ini meningkat dari tahun 2014 (171 pejabat) dan tahun 2013
(141 pejabat).
Mengapa
banyak kepala daerah, baik gubernur, bupati/wali kota terlibat korupsi? Ada
beberapa penyebabnya. Diantaranya, budaya korupsi yang menjadi tren di kalangan
kepala daerah belakangan ini merupakan akibat dari biaya politik yang tinggi.
Seorang calon walikota/bupati misalnya harus mempersiapkan dana Rp 5 - 10
miliar dan calon gubernur Rp 20 - 100 miliar. Jumlah itu tentu masih tergolong
minim dalam memenangkan perhelatan pilkada.
Bandingkan
dengan pemasukan “halal” seorang walikota/bupati sebesar 300-400 juta setiap
tahunnya. Artinya, lebih besar pasak dari pada tiang kan?. Jika sudah begini,
akan sangat susah menuntut kepala daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang
bersih dan jauh dari praktek korupsi. Konsekuensi dari ongkos politik yang
tinggi tersebut, akhirnya membuat kepala daerah mengakali pelbagai sumber dana yang ada untuk balik modal sekaligus
untung. Biasanya begitu menjabat, APBD lah yang mereka gunakan. Anggaran daerah
(APBD) ini pula yang kemudian kembali digunakan oleh mereka yang telah menjabat
dan kembali ikut menjadi peserta pemilihan kepala daerah. Caranya adalah dengan
membesarkan pos bantuan sosial di anggaran yang nantinya di pakai untuk
bagi-bagi sumbangan dalam rangka kampanye terselubung.
Ahok Melawan
Nah, sampai disini saya menduga, Ahok yang selama ini terkenal
garang melawan korupsi mungkin merasa, jika mencalonkan melalui parpol akan
terjebak dalam arus pusaran politik yang membahayakan dirinya dan masyarakat
Indonesia, sehingga ia memilih jalur independen. Pernyataan Ahok yang “keras”
soal pencalonannya maju dalam Pilkada DKI lewat jalur independen (yang kemudian
diartikan petinggi PDIP sebagai deparpolisasi), patut diapresiasi.
Ahok menyatakan calon independen di
pilkada bukan ancaman bagi parpol. Dia menyebut peparpolisasi bisa juga
dilakukan oleh pengurus parpol saat bertindak atau mengeluarkan kebijakan yang
bertentangan atau melawan hati nurani rakyat.
“Yang kami lakukan (jadi calon
independen) sekarang justru menunjukkan perlawanan bahwa parpol itu tidak boleh
dikuasai seenaknya, “ kata
Ahok.
Menurut Ahok, munculnya calon independen dalam pemilihan kepala
daerah tidak bisa serta-merta disamakan dengan upaya deparpolisasi karena
adanya calon independen tidak lepas dari persetujuan partai politik yang ada di
DPR. Ahok memprediksi, alasan para politisi yang mengesahkan adanya calon
independen dalam pilkada karena para politisi ingin memperbaiki partainya.
"Parpol waras
menyetujui adanya calon independen karena parpol waras sadar partainya bagus,
tetapi dikuasai orang-orang yang kurang bagus," ujar dia.
Ia kemudian mencontohkan sebuah partai yang terlalu didominasi
para petinggi partainya. Menurut Ahok, adanya calon independen justru untuk
menghilangkan budaya tersebut.
"Jadi, adanya calon
independen justru untuk menyehatkan parpol agar tidak dimonopoli oleh
orang-orang tertentu yang mengatasnamakan parpol," kata dia.
Apa yang akan terjadi dan bagaimana hasilnya, waktu yang akan
berbicara….
Suparto
#OneDayOnePost
Suparto
#OneDayOnePost
Kalau jalur independen biayanya sekitar berapa pak?
ReplyDeletesebenarnya cukup besar juga. terutama biaya untuk memenuhi syarat mengumpulkan dukungan warga minimal 7,5 % dari jumlah penduduk yg ditunjukkan dg KTP. tetapi beban politiknya lebih ringan, karena tidak ada komitmen politik dengan parpol jika terpilih nanti.
DeleteTapi dengan keluarnya cost yang lumayan besar itu juga bukankah kemungkinan untuk balik modal juga ada? Yah walaupun tidak ada komitmen politik dengan parpol, bisa jadi komitmennya dengan para sponsorship. 😂😂😂 #gek aku ki ngomong opo thow..😁
ReplyDeleteitulah yg sering membelokkan idealisme seorang pejabat publik. ketika banyak kepentingan terlibat didalamnya, bikin runyam kekuasaan...
Delete