Tulisan terakhir tentang deparpolisasi kali ini, saya sampaikan
gambaran mengenai peran penting politisi.
Seperti ditulis dalam buku berjudul “Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi”, Arvan Pradiansyah (2009), melontarkan pertanyaan menarik : ‘Sebuah Dunia Tanpa Politisi, Mungkinkah?’.
Seperti ditulis dalam buku berjudul “Kalau Mau Bahagia Jangan Jadi Politisi”, Arvan Pradiansyah (2009), melontarkan pertanyaan menarik : ‘Sebuah Dunia Tanpa Politisi, Mungkinkah?’.
Pernahkah kita membayangkan sebuah
dunia tanpa politisi? Dunia seperti apakah yang ada dalam bayangan kita? Sebuah
dunia yang tenteram, damai, dan bahagia? Ataukah sebuah dunia yang boleh jadi
lebih buruk daripada yang kita rasakan sekarang?
Pertanyaan inilah yang sering hadir
di kepala kita, apalagi dalam situasi pemilihan umum. Menjelang pemilu legislatif,
misalnya, kehidupan kita terasa lebih sumpek dan sesak. Bayangkan, ke mana pun
kita pergi, pandangan kita senantiasa tertumbuk pada berbagai poster dan
spanduk dari begitu banyak orang yang tidak kita kenal – dan juga tidak
mengenal kita – yang menawarkan janji-janji surga. Ketika ingin santai dan
menikmati siaran radio dan televisi, kita juga sering merasa terganggu oleh iklan-iklan
politik yang begitu banyak.
Lantas, dengan semua pengorbanan yang kita lakukan, apakah kita akan mendapatkan sesuatu yang setimpal? Tidak juga. Bukankah pemerintahan datang silih berganti, tetapi nasib rakyat tidak juga menjadi lebih baik? Bukankah para politisi hanya peduli pada rakyat menjelang pemilihan umum?
Lantas, dengan semua pengorbanan yang kita lakukan, apakah kita akan mendapatkan sesuatu yang setimpal? Tidak juga. Bukankah pemerintahan datang silih berganti, tetapi nasib rakyat tidak juga menjadi lebih baik? Bukankah para politisi hanya peduli pada rakyat menjelang pemilihan umum?
Kalau begitu, apa sesungguhnya
manfaat yang diberikan para politisi itu bagi kehidupan kita? Dengan kata lain, apakah politik merupakan
sebuah keniscayaan atau suatu kesia-siaan?
Arvan kemudian mengutip pernyataan seorang
filsuf Prancis, Andre Comte. Dalam bukunya, The
Litltle Book of Philosophy (London : 2004), Andre Comte mengatakan bahwa politik adalah sebuah keniscayaan. Kita
membutuhkan politik supaya konflik kepentingan (conflict of interest) dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Kita
perlu membentuk Negara bukan karena semua orang baik dan adil, justru karena
mereka tidak seperti yang kita harapkan.
Politik adalah seni untuk hidup bersama dengan orang-orang yang bukan
merupakan pilihan kita, orang-orang yang tidak mempunyai ikatan yang khusus
dengan kita dan orang-orang yang lebih merupakan rival ketimbang kawan kita.
Politik, dengan demikian, diperlukan
agar kita mendapatkan kepastian mengenai siapa yang memberi perintah, siapa
yang membuat hukum dan peraturan, serta siapa yang harus menjalankannya. Tanpa
politik, tidak akan ada hukum yang berlaku, dan tidak ada kekuatan yang bisa
memaksa orang untuk mematuhinya.
Tanpa adanya kekuatan yang memaksa,
maka akan terjadi kesewenang-wenangan, seperti halnya Israel yang melakukan
pembunuhan massal terhadap rakyat Palestina di Gaza. Bukankah seluruh dunia
hanya bisa mengutuk dan mengecam, tetapi tidak bisa mencegah pembunuhan yang
berlangsung terus setiap hari? Inilah juga yang akan terjadi tanpa adanya
Negara. Thomas Hobbes menyebutkan kondisi ini sebagai natural states, yang setiap orang merupakan musuh bagi orang lain.
Kalau demikian, keberadaan Negara
merupakan sebuah keniscayaan yang diperlukan untuk menjamin kehidupan dan
peradaban. Di sinilah para politisi memainkan peranan yang amat penting. Dengan
menjalankan negara, para politisi dapat menyuruh orang untuk berbuat baik dan
melarang orang untuk berbuat jahat (amar
ma’ruf nahi munkar). Inilah kelebihan mereka daripada orang-orang seperti
kita. Walaupun kita semua dapat menganjurkan orang lain untuk berbuat baik,
kita tak dapat memaksa mereka agar tidak berbuat jahat.
Apabila politik dijalankan dengan tujuan seperti itu,
maka ia tentu saja pekerjaan yang mulia.
Namun sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian. Politik lebih sering diperlakukan sebagai sebuah kompetisi untuk memenangi kekuasaaan, mengatur kehidupan orang banyak, menguasai aset rakyat, serta menggunakannya untuk kemakmuran pribadi dan golongan.
Namun sayangnya, yang terjadi tidaklah demikian. Politik lebih sering diperlakukan sebagai sebuah kompetisi untuk memenangi kekuasaaan, mengatur kehidupan orang banyak, menguasai aset rakyat, serta menggunakannya untuk kemakmuran pribadi dan golongan.
Mengapa hal ini terjadi? Menurut Arvan,
ada tiga paradigma yang menjadi penyebabnya.
Pertama,
adalah kecenderungan kita mementingkan diri sendiri dan keserakahan yang tidak
ada batasnya. Ini didasarkan pada paradigma yang salah dalam memandang hidup.
Banyak orang yang memandang dirinya hanya sebagai makhluk fisik. Oleh karena
itu, ia berusaha mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, jauh lebih banyak daripada
yang ia butuhkan untuk hidup. Orang-orang seperti ini tidaklah menyadari bahwa
hakikat manusia adalah makhluk spiritual, dan sebagai makhluk spiritual kita
kekal untuk selama-lamanya. Ketidaksadaran ini membuat kita merusak
spiritualitas kita sendiri dengan mengambil sesuatu yang sebenarnya bukan
menjadi hak kita.
Di sinilah terletak persimpangan
jalan antara politik dan kebahagiaan. Rumus terpenting dalam politik adalah
mendapatkan (getting); padahal, agar
bisa berbahagia, kita harus lebih banyak memberi (giving).
Kedua, banyak
orang yang masih melihat jabatan sebagai kesempatan, bukan sebagai amanah.
Karena itu, mereka berlomba-lomba untuk menjadapatkan jabatan kemudian
memaksimalkan jabatan tersebut untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya
masing-masing. Mereka juga berpikir bahwa pertangungjawaban jabatan tersebut
hanyalah akan dilakukan di depan manusia – yang bisa diajak bekerja sama,
bahkan dikelabui – bukan di hadapan Tuhan.
Ketiga, banyak
orang berpikiran bahwa “Semua orang akan melakukan hal sama bila mereka
mendapatkan kesempatan (jabatan) yang sama”. Kalaupun ada orang yang protes dan
tidak setuju, sebetulnya hal itu hanya lantaran yang bersangkutan tidak punya
kesempatan. Menurut Arvan, pikiran seperti itu adalah racun yang sangat
berbahaya.
Wallahu A’lam…
Suparto
#OneDayOnePost
Suparto
#OneDayOnePost
Tentang yang ke tiga itu menurut bapak sendiri gimana? Bisa kah 1 orang mengubah sistem, sebuah budaya yg sudah mengakar dalam?
ReplyDelete- itu adalah sikap pembelaan dari orang yg sesat.
Delete- kita harus mencoba. melalui gerakan moral yg simultan melibatkan seluruh elemen bangsa.
Tentang yang ketiga itu, menurut saya adalah sikap pembelaan seseorang utk mencari pembenaran atas perilaku sehatnya.
DeleteMaksud saya, tentang yang ketiga itu, adalah sikap pembelaan seseorang utk mencari pembenaran atas perilaku sesat nya.
DeleteTulisan Pak Suparto pernah muat di media cetak? Seperti koran mungkin?
ReplyDeleteDulu waktu masih belajar di Semarang pernah bbrp kali.Honornya utk nambah biaya hidup. Tetapi setelah jadi PNS tdk pernah lagi. Bikin Tulisan hanya utk konsumsi media internal (tabloid).
ReplyDelete