Kalau ditanya, apa
sebenarnya yang anda cari dalam hidup ini? Sebagian besar akan menjawab : ingin
hidup bahagia. Jika ditanya lagi, apa itu bahagia? Jawaban yang muncul akan
berbeda-beda, menurut persepsi dan ukuran pribadi masing-masing. Bahagia
menurut saya, belum tentu sama dengan ukuran anda. Lantas, seperti apakah wujud
bahagia yang dicari manusia itu? Dimana letaknya? Bagaimana meraihnya?
Jika mau menelusuri
tentang makna, wujud dan letak bahagia serta cara meraihnya dengan segala persoalan
yang ada, menurut sudut pandang dari sekian banyak orang, kita bisa mengambil
hikmah berdasarkan perasaan kita sendiri. Coba kita simak beberapa hal berikut
ini.
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebutkan, bahagia itu artinya keadaan atau perasaan senang
dan tenteram, bebas dari segala yang menyusahkan.
Imam Al-Ghazali
menyatakan, bahagia itu akan datang jika orang selalu mengingat Allah
(berdzikir). Dalam pandangan Aristoteles, bahagia itu ialah suatu kesenangan
yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing. Ibnu Khaldun
berpendapat, bahagia adalah tunduk patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan
Allah dan perikemanusiaan.
Di dalam A-Qur’an,
surat Ar-Ra’d (13):29 dikatakan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan
kebaikan, mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik,
Hamka, dalam bukunya
Tasawuf Modern menerangkan, bahagia didapat oleh orang
yang mempunyai kekayaan. Yang lain mengatakan pada nama masyhur dan sebutan
yang harum. Kaidah tentang bahagia, menurut Hamka, kalau didaftar bisa sebanyak
penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan. Orang fakir mengatakan
bahagia pada kekayaan. Orang sakit pada kesehatan, orang yang telah terjerumus
ke lembah dosa pada terhenti dari dosa, dan sebagainya.
Jadi, kata Hamka, “sampai
sekarang belum juga dapat orang menentukan, bilakah masanya orang merasa
bahagia.” Orang rindu untuk menjadi kaya, tetapi bila ia telah benar-benar
kaya, “hilanglah kerinduannya.” Perasaan romantiknya mengatakan bahwa, “segala
isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan.”
Hamka mencontohkan,
“Rockeveller seorang yang sangat kaya, sebelum kaya sangat rindu hendak beroleh
bahagia dengan kaya. Uangnya yang bermiliar sebanyak aliran minyak tanah Socony
itu tidak ada harga lagi baginya. Yang lebih dirindukan dan lebih dicintainya
serta ia berasa bahagia jika diperolehnya, ialah bila umurnya yang 97 tahun
(1937) dicukupkan Allah menjadi 100 tahun, menunggu tiga tahun lagi. Tetapi
tahun 1937 itu dia mati juga, tak dapat ditebusnya kekurangan yang tiga tahun
itu dengan uang miliaran itu!”
Sebaliknya, “Di negara
Surakarta Hadiningrat ada seorang perempuan tua, Mbok Suro namanya, sudah satu
setengah abad usianya, hidupnya sangat miskin. Sudah berkali-kali dilihatnya
raja diangkat dan raja mati, dan karena miskinnya sudah kerapkali dia bosan
hidup. Akan lebih berbahagialah dia kiranya, kalau dia lekas mati, namun mati
tidak juga datang. Kalau nasib itu boleh menurut kehendak kita, apa salahnya
diberikannya kelebihan usianya itu kepada Rockefeller barang tiga tahun saja,
tentu kalau boleh, mau agaknya Rockefeller mengganti kerugian umur itu dengan
separo kekayaannya.”
“Sekarang mengertilah
kita,” catat Hamka, “bahwa segala sesuatu di dalam alam ini baik dan buruknya
bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya,
menurut tinggi-rendahnya akal kita.
Apalah gunanya pena emas
bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga Qur’an bagi seorang atheis
(tidak beragama). Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia
disuruh membersihkan akal budi, supaya dengan akal budi kita mencapai bahagia
yang sejati.
semoga akal budi selalu dijaga Allah agar dapat menyelami kehidupan sesungguhnya. nice wrote pak.
ReplyDeletebetul. kata Buya Hamka :orang yang diikat dunia memperkaya badan kasarnya, bersolek, sombong, memuliakan diri dari orang lain. Tetapi orang yang percaya bahwa dia hanya singgah di dunia ini, berusaha memperindah batinnya, budi dan jiwanya...
ReplyDeleteJempol pak, :)
ReplyDelete