Ada filosofi tentang arti
kehidupan manusia dalam kegiatan Arung jeram pada setiap permainannya. Arus sungai yang terus mengalir misalnya, menandakan
kehidupan manusia itu memang harus berjalan maju dan tidak bisa mundur
sedikitpun. Sekuat apapun melawan arus kehidupan yaitu takdir, pada akhirnya
kita akan kembali kepada Sang Pemilik kehidupan ini, yakni Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Arung
jeram juga menggambarkan betapa kehidupan manusia di dunia butuh
perjuangan. Perjalanan menuju titik
akhir - finish
point - tidak selalu mulus. Kita berada di atas
perahu karet yang meluncur membelah derasnya
aliran sungai, dihadang oleh batu-batu besar, jeram-jeram liar, kelokan tajam,
pusaran air yang kencang dan tebing-tebing terjal berbahaya.
Di tengah
situasi dan kondisi arus seperti itulah kita sering dihadapkan pada
pilihan-pilihan sulit. Padahal kita harus tetap bergerak maju, dan tidak bisa
menghindar. Kenyataan ini mesti dihadapi, walaupun banyak resiko.
Apa yang
harus kita lakukan? Sikap paling baik adalah cermat dan tidak lengah. Amati,
kemana arus ini akan membawa kita, dan bijak dalam memutuskan pilihan.
Kemampuan membaca “arus” kemudian memilihnya dengan tepat merupakan nilai utama
dari arung jeram disamping kekompakan. Itulah yang juga terjadi dalam kehidupan
nyata umat manusia di dunia.
Terlena Dengan Kegembiraan
Insiden yang dialami teman-teman
kami yang berada di salah satu perahu rafting
adalah bagian peristiwa yang ingin kutulis dalam catatan ini.
Usai
beristirahat, semua kelompok satu persatu bergerak menuju Finishing Point yang membutuhkan waktu sekitar satu jam lagi.
Kami
mulai mendayung perahu karet dengan lebih bersemangat karena ada harapan untuk
bisa segera sampai di titik akhir. Tetapi ternyata, berbagai rintangan yang
menghadang tidak lebih ringan. Arus makin deras, sementara di banyak kelokan
dan jeram ada beberapa pohon tumbang melintang.
Selama
pengarungan, beberapa kelompok malah “saling serang”. Ada juga beberapa
kelompok di luar rombongan kami (dari celotehannya, kuketahui mereka berasal
dari Semarang). Satu sama lain menantang, memprovokasi dan berusaha
menggulingkan perahu “lawan” atau menjatuhkan peserta hingga terjungkal dan tercebur
ke sungai.
Tidak
hanya itu, para peserta yang sudah tercebur masih “dikerjain” juga. Mereka
diangkat, tetapi baru sampai di bibir perahu langsung didorong lagi dan dijungkir-balikkan
kembali masuk ke air, sampai terlihat “megap-megap”. Kehebohan seperti ini bagi
mereka sepertinya menciptakan rasa dahsyat dan kegembiraan tersendiri. Tetapi beberapa
peserta sempat mengalami stress. Meski mereka berteriak histeris, tetap saja diperlakukan
“semena-mena”.
Namun
satu perahu yang membawa rombongan teman kami : Shinta, Andien, Erwan, Prapto
dan Giyanto mengalami insiden. Kelompok
ini di pandu oleh Erik, sementara Arkok juga berada disitu sebagai trainer. Sebelumnya, oleh Arkok dan
Erik, dilakukan beberapa kali manuver
perahu terbalik untuk melatih dan uji keberanian para awaknya. Setelah
berhasil, mereka merasa puas dan kegirangan untuk terus melaju menerjang arus
deras dan berbagai rintangan berikutnya.
Rupanya,
di tengah perjalanan mereka terlena dengan kegemberiaan. Maklum di situ ada peserta
yang dianggap “primadona”. Ketika menerobos jeram liar diantara batu-batu besar
di tepian sungai, tiba-tiba laju perahu tidak terkendali, terguncang hebat,
akhirnya terbalik. Semua awaknya terlempar keluar dari perahu. Mereka kocar-kacir, cerai-berai terseret arus.
Erik
segera menyelamatkan perahu. Erwan terseret arus cukup jauh (sampai celananya
robek…), sementara Prapto dan Giyanto sekuat tenaga berusaha menyelamatkan
diri, dengan berpegangan pada akar yang menjulur ke sungai. Sementara Andien
yang terlihat “megap-megap” timbul tenggelam dengan cepat ditolong Arkok. Bibir
Andien sedikit berdarah karena tergores oleh batu yang “dicium”-nya (?).
Sedangkan Shinta dalam beberapa menit tidak terlihat diantara mereka.
Dimana
Shinta? Ternyata saat terlempar dari perahu, Shinta terperangkap ke cekungan
sungai, tenggelam, “nyungsep” di bawah akar pohon yang tumbang melintang.
Ketika menyembul ke permukaan, ia tidak bisa bergerak karena terjepit dayung,
akar dan pohon, sehingga yang terlihat di atas air hanya kepalanya. Shinta
terus berusaha keluar dari jepitan maut itu, sambil berpegangan pada akar-akar
pohon, namun rasanya sulit. Ia mencoba tetap tenang sambil bibirnya terus komat-kamit berdoa menunggu pertolongan.
Bersyukur karena ia masih bisa bernafas. Setelah beberapa menit, Arkok dan Erik
datang, untuk mengeluarkan Shinta dari “sarang maut” tersebut.
Menurut
Shinta, usai diselamatkan, dirinya kala itu merasakan seperti berada dalam
situasi terburuk sepanjang hidupnya. Shinta adalah seorang dokter. Tapi dalam
situasi seperti itu, ia tak dapat berbuat banyak untuk sekedar menyelamatkan
dirinya. Saat itu ia benar-benar diuji pada situasi perjuangan berat antara
hidup dan mati, dalam hitungan detik dan menit. Dengan sisa tenaga dan
kesadaran yang ada, ia hanya bisa pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Itulah kejadian
yang dialami rombongan Shinta, yang dianggap cukup ‘mengerikan’. Namun,
peristiwa yang dialami bersama teman-teman di medan arung jeram itu memberikan
hikmah amat berharga dalam kehidupannya.
Pertama, kita tidak boleh terlena terutama ketika dalam
situasi kegembiraan. Kedua, bahwa sebuah “kecelakaan” memang
bisa diakibatkan oleh banyak faktor dan di luar perhitungan, sehingga kita tidak boleh saling menyalahkan. Ketiga, setelah kejadian itu, tumbuhnya
sebuah keyakinan dan rasa syukur yang makin besar kepada Allah SWT, Sang
Pemberi Kehidupan.
***
Setelah sempat shock beberapa menit, hati Shinta dan
kawan-kawan kembali tenang dan kuat untuk melanjutkan sisa perjalanan bersama
kelompok lain, yang tinggal beberapa menit lagi.
Sekitar pukul
16.30 sore, kami seluruh rombongan (sembilan kelompok) berhasil mencapai titik
finish dengan selamat. Kami pun berlompatan naik ke daratan menuju ke basecamp. Kami semua bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberi
keselamatan dan kesehatan. Terutama diriku, yang pada awalnya sempat ‘takut’,
hingga titik akhir masih dikaruniai keselamatan dan kondisi fisik yang segar
bugar. Bahkan tambah fresh.
Alhamdulillah.
“Shinta, Andien
dan teman-teman. Apakah Anda kapok
(jera) dengan kejadian itu?”, tanya Mas Arkok penuh simpatik. “Sama sekali
tidak Mas. Suatu saat, kami ingin kembali ke sini,”jawab Shinta sembari
tersenyum.
“Aku juga
dong…” sahut Andien, manja.
***
Sore itu,
di Villa Citra Elo River, kami menikmati hidangan makan minum dengan lahap
setelah tiga jam lebih tenaga ini terkuras untuk mengarungi sungai Elo.
Dari Villa Citra
Elo River yang berada di atas bukit ini, pandanganku menyapu kawasan nun jauh
di sana. Sungai Elo terlihat memanjang dan berkelok seperti ular naga membelah
lebatnya hutan. Arus deras menerjang batu-batu besar memunculkan riak. Sinar
mentari yang menerobos sela-sela dedaunan, memantulkan cahaya gemerlap di atas
air yang terus bergerak mengalir.
Perlahan, senja pun
mulai turun. Sebentar lagi rona gemerlap akan lenyap ditelan kegelapan. Apa yang
akan terjadi, adalah sebuah misteri. Seperti hidup ini…
Suparto
#OneDayOnePost
#PengalamanPalingBerkesan
Suparto
#OneDayOnePost
#PengalamanPalingBerkesan
Sampe merinding bacanya, Pak...
ReplyDeleteSampe merinding bacanya, Pak...
ReplyDeletesaya sendiri juga merinding lho.aneh ya...
Deletepengalaman yang mendebarkan. dapat pengalaman baruu dari membaca tulian bapak
ReplyDeleteSemoga bermanfaat
DeleteMantaap sekali pak
ReplyDeleteJoss
DeleteSyukurnya nggak ada yang terluka parah ya pak..^^
ReplyDeleteAlhamdulillah mbak
Delete