Hendra
Setiawan (2009 : 26) dalam bukunya berjudul “Agar Selalu Ditolong Allah”,
menceritakan kisah menarik tentang perbedaan sikap seseorang dalam mensyukuri
keadaan. Diceritakan, seorang sopir yang mengendarai mobil, setelah menyelusuri kota
tiba di rumah pemiliknya. Anak pemilik mobil itu bertanya kepada sopir, "bagaimana kondisi di jalan apakah cukup bagus untuk dilalui." Sopir itu
menjawab, "bagus dan nyaman."
Maka anak muda itu mengendarai mobil pergi
ke pusat kota. Diluar dugaannya, ternyata lalu lintas sangat padat. Jalanan
macet sehingga perlu berjam-jam untuk kembali ke rumah. Kecewa, dongkol, dan
marah bercampur dalam hatinya. Sesampainya di rumah dia bertanya kepada sang
sopir, “Pak Sopir ini gimana, katanya situasi jalan bagus untuk dilalui tapi kok
macet sih. Saya sampai stress menunggu antrean. Pak Sopir membuat saya menderita.”
Sopir itu menjawab, “selama saya menjadi
sopir, saya berusaha untuk menyakinkan diri saya bahwa setiap hari adalah hari
yang baik untuk menyopir. Saya senang dengan kondisi apapun yang saya terima,
baik macet atau tidak, karena saya tidak bisa menyuruh orang lain tidak
menggunakan mobilnya agar jalanan tidak macet. Saya hanya bisa menyuruh diri saya sendiri agar ridha dan sabar dengan apa yang ada.”
*****
Jawaban yang singkat dari seorang sopir dalam kisah tadi merupakan wujud
perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang penting. Dengan bersyukur
kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Dengan syukur, hati tetap nyaman di tengah
kemacetan dan kondisi apapun. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan
senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Kita seharusnya selalu mengingat nikmat yang
telah diberikan Allah. Apa yang ada pada diri kita, mulai dari ujung rambut
sampai ujung kaki adalah nikmat yang telah diberikan Allah. Kita telah diberi
lidah dan bibir, kedua tangan, kedua kaki dan anggota tubuh lainnya. Allah
berfirman, “….karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari-Ku’’. (QS.
Al-Baqarah [2]:152)
Bersyukur, pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang makhluk seperti manusia kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat.
Allah memerintahkan kita untuk mempunyai rasa
syukur terhadap-Nya dalam setiap hal, apapun kondisi dan keadaannya. Kita
menyakini bahwa pasti ada kebaikan dalam segala hal yang menimpa kita dengan
menyadari bahwa semua itu berasal dari Allah.
Namun, kerap kali kita terlupa dan tidak bersyukur atas karunia-Nya.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Pertama, kita sering memusatkan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Hal ini terjadi karena kita salah dalam melakukan penilaian. Kita sering mengukur suatu nikmat dari Allah dengan ukuran diri sendiri. Artinya, jika keinginan dipenuhi, maka kita akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum dikabulkan, maka kita enggan untuk bersyukur. Penilaian seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan. Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah dan belum tentu juga yang terbaik buat diri kita.
Pikiran kita dipenuhi berbagai target dan
keinginan. Kita begitu mengharapkan rumah yang besar dan indah, mobil mewah,
serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu.
Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah
mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tidak puas,
kita ingin yang lebih lagi. Jadi, berapa pun banyaknya harta yang kita miliki,
kita tidak pernah menjadi kaya dalam arti yang sesungguhnya.
Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku ini hanya menyuburkan sifat iri dan dengki kepada orang lain. Cobalah untuk melihat orang yang kurang beruntung. Tidak jarang kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita. Rasulullah mengajarkan, apabila seseorang diantara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang yang lebih rendah darinya.
Ketiga, menganggap apa yang dimiliki adalah hasil usaha sendiri. Perilaku ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya.
"Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: Bersyukurlah kepada Allah.
Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah maha
kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Luqman [31]: 12)
Suparto
Suparto
setiap baca tulisan pak Suparto selalu merasa tersentil:D
ReplyDeleteinspiratif sekali bapak.. semoga saya juga bisa menulis seperti bapak..^_^
iya mbak. ini persoalan sehari-hari dan dekat dengan diri kita. namun kita sering melupakannya.
ReplyDeleteterima kasih mbak Mitha, mbak Lia.....