Beberapa tahun lalu, saya diajak seorang teman menghadiri
Reuni Akbar 40 Tahun FISIP UNDIP Semarang. Dalam acara tersebut, disamping bisa
bertemu dengan banyak teman yang sudah lama berpisah, yang paling berkesan bagi
saya adalah Orasi Sri Sultan Hamengkubowono X.
Orasi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berjudul ’Etika Politik’ waktu itu membuat ratusan hadirin terkesima. Dengan semangat tinggi, Sri Sultan secara terbuka ”membelejeti” perilaku para politisi.
Untuk melengkapi tiga tulisan saya tentang Deparpolisasi dan menambah wawasan tentang dunia perpolitikan, berikut saya sampaikan beberapa point isi orasi Sri Sultan Hamengkubowono X tersebut.
*****
Mengawali orasinya, Sultan mengutip pernyataan Filosof Immanuel Kant yang menyindir politisi.
Menurut Emmanuel Kant, ada dua watak binatang yang terselip di setiap insan politik, yakni merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah ”sisi ular” ketimbang watak ”merpati”-nya. Metafora sang Filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik.
Menurut Sultan, sejak zaman dulu, para filsof kerap menggunakan kisah perumpamaan ”dunia binatang”. Sastrawan Inggris George Orwell mengarang fabel yang diterjemahkan Mahbub Djunaidi (alm) berjudul ”binatangisme”. Bahkan, Mahbub sendiri menulis kolom ”Politik Kebun Binatang” untuk mengkritik tingkah laku politisi kita masa itu. Tentu saja politisi kita bukan binatang, meski ada istilah homo homini lupus. Politisi kita diharapkan lebih berwatak hanif, cinta dan konsisten pada kebenaran, bukan melakukan ”pembenaran”.
Jika kita sempat mengunjungi Museum Situs Purbakala Sangiran (di Sragen Jawa Tengah), dan menyaksikan film dokumenter yang diputar untuk pengunjung, betapa kita kaya sekali akan fosil. Yang terkenal adalah fosil manusia purba Pitecanthropus Erectus yang mirip ”manusia kera”.
Digambarkan, fosil-fosil itu adalah jawaban atas the missing link , mata rantai evolusi sejarah asal-usul manusia, dari ”wujud binatang” menuju terbentuknya yang sempurna. Untuk menuju (peradaban) sempurna butuh proses evolusi jutaan tahun. Tetapi mengapa ”watak buas dan kejam” masih terus melekat? Di dalam Al-Qur’an surat At-tin, Allah menggambarkannya dengan istilah asfalas safilin, manusia bisa terjerembab pada level lebih rendah daripada binatang. Karenanya, manusia dianjurkan untuk tetap waspada, berjihad terus melawan hawa nafsu. Jangan sampai larut dan terhanyut pada apa yang disebut Pujangga Ronggowarsito sebagai ”Jaman Edan”.
Sultan menilai, etika politik kalangan elite pada era reformasi saat ini mengalami kemunduran. Hal ini ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Kepentingan bangsa bisa dibangun hanya melalui kemenangan kelompoknya. Jika dirunut berdasarkan logika yang ada pada masing-masing kelompok, nyaris tidak ada yang namanya kepentingan bersama untuk bangsa, yang ada hanya kebersamaan fatamorgana.
Seolah-olah mereka bertindak untuk kepentingan bersama, padahal hanya untuk kepentingan kelompok yang terkoleksi. "Betapa sedih melihat demokrasi yang kita rasakan ternyata dibangun elite politik dengan cara manipulatif dan penuh rekayasa untuk menjatuhkan lawan," katanya.
Dalam praktik keseharian, politik sering bermakna kekuasaan yang serba elitis daripada kekuasaan berwajah populis yang bertujuan menyejahterakan rakyat. Politik identik dengan cara bagaimana meraih kekuasaan, dengan cara apa pun meski bertentangan dengan pandangan umum. Ditunjang alam kompetisi untuk meraih jabatan (kekuasaan) dan akses ekonomi (uang) yang begitu kuat membuat rasa malu dan bersalah diabaikan. Hal itu, berdampak terhadap memudarnya nilai-nilai etis sehingga mengabaikan moralitas publik. Berkembanglah budaya permisif (semua serba boleh) yang memudahkan untuk mencapai kekuasaan dan uang.
"Tanpa kita sadari, nilai etis politik kita cenderung mengarah pada kompetisi yang mengabaikan moral. Buktinya semua harga jabatan politik setara dengan sejumlah uang. Semua jabatan memiliki harga yang harus dibayar pejabat," kata Sultan.
Oleh karena itu, selain aturan legal formal berupa konstitusi, politik dan praktiknya perlu dibatasi dengan etika. Etika politik digunakan membatasi, meregulasi, melarang, dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan dijauhi. Etika politik lebih bersifat konvensi dan aturan moral.
Suparto Parto
#OneDayOnePost
Jauh di dalam lubuk hati manusia, seharusnya sudah tertanam (lewat pendidikan, agama, dll) mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang tidak benar.
ReplyDeleteHanya saja, manusia itu lemah. Mudah lupa. Mudah terbujuk setan, kekuasaan, wanita, uang...
Padahal mereka seharusnya sudah tahu 'mana baik mana tidak baik' kan Pak?
Kalau kata saya, itu balik lagi pada seberapa kuat iman mereka. Rasa cukup akan anugerah Tuhan. Rasa takut bahwa Tuhan selalu melihat mereka. Mungkin mereka seharusnya punya rasa itu.
Salam kenal ^^
betul sekali. makanya satu sama lain diantara umat manusia saling mengingatkan..
Deletesalam kenal kembali ya..
homo homini lupus tuh artinya apa pak? 😁
ReplyDeletemasalahnya etika politik itu bersifat aturan moral kan pak? Susah menghukumi seseorang dengan aturan moral. Kecuali dari pribadinya sendiri sudah punya kesadaran yang kuat.
Saya bertanya2 ada nggak ya satu langkah sistematis gitu biar politisi kita punya etika politik?
😁like usually tulisan bapak keren..👍👍👍
* Dalam beberapa referensi disebutkan, kalimat Homo Homini Lupus merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin, artinya "manusia adalah serigala bagi sesama manusia". Istilah tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai "manusia adalah serigalanya manusia" yang diinterpretasi berarti manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Istilah itu sering muncul dalam diskusi-diskusi politik mengenai kekejaman yang dapat dilakukan manusia bagi sesamanya. Istilah Homo Homini Lupus dicetuskan oleh filsuf Inggris, Thomas Hobbes.
Delete** Menurut Haryatmoko (2003:25) dalam bukunya berjudul Etika Politik dan Kekuasaan,dijelaskan bahwa etika politik itu mengandung aspek individual dan sosial. Etika individual menyangkut masalah kualitas moral pelaku. Sedangkan etika sosial merefleksikan masalah hukum, tatanan sosial, dan institusi yang adil.
Di lain pihak, etika politik sekaligus etika konstitusional dan etika keutamaan. Institusi dan keutamaan merupakan dua dimensi etika yang saling mendukung. Keutamaan merupakan faktor stabilisasi tindakan yg berasal dari dalam pelaku; sedangkan institusi menjamin stabilitas tindakan dari luar diri pelaku.
*** Ini Mbak yg bisa saya jelaskan menurut kemampuan saya yg terbatas.
**** Teman-teman lain yang pakar politik silahkan ikut bahas topik ini...
Betul sekali, sulit untuk menemukan hati politisi seperti merpati.
ReplyDeleteBetul sekali, sulit untuk menemukan hati politisi seperti merpati.
ReplyDeletekita prihatin dengan kondisi ini ya Mbak..
Delete