Oleh : Suparto
Hari-hari
menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak ke-II yang akan
berlangsung Januari 2017, situasi politik di berbagai daerah Indonesia,
terutama di Jakarta, mulai memanas. Memanasnya
tensi politik menjelang pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati
dan Walikota/Wakil Walikota ini salah satu penyebabnya dipengaruhi oleh
pemberitaan pers/media massa.
Sejak
dua bulan terakhir masing-masing kandidat mulai menerapkan berbagai strategi
untuk meraih simpati. Melalui pers, mereka bahkan secara terbuka terlibat
perang psikologi dan saling “serang” untuk melemahkan lawan politiknya. Pers
menjadi media pertarungan antar berbagai kepentingan politik untuk membangun
opini publik.
Banyak
orang awam yang selama ini kurang peduli dengan pers, kini tiap hari baca Koran atau
menyimak internet (media online) dengan motif ingin segera tahu “pertarungan”
antar kandidat dan pendukungnya yang diliput pers. Dalam berbagai kesempatan
orang bicara Pilkada seperti yang diberitakan pers. Pers, terutama koran
harian, mereka anggap bisa menggambarkan fakta yang terkait dengan proses Pilkada.
Perhatian
masyarakat terhadap Pilkada tidak lepas dari peran pers yang menyajikan aneka
informasi aktual dengan segala bumbunya.
Bagi pers, peristiwa Pilkada memiliki daya tarik tersendiri, karena berbagai
kepentingan selalu muncul dalam proses demokrasi ini. Pilkada bukan hanya
sekedar persoalan kepentingan untuk meraih kekuasaan, tetapi juga menyangkut harga
diri seseorang atau kelompok yang terlibat didalamnya. Pesta demokrasi ini
melibatkan berbagai elemen masyarakat yang bisa menimbulkan gesekan dan konflik
membahayakan jika tidak dikelola dengan baik.
Oleh
karena itu setiap
tahapan dalam proses Pilkada memerlukan perhatian serius semua pihak. Bukan
hanya Komisi Pemilihan Umum(KPU), Parpol Pengusung beserta pasangan calon dan tim suksesnya,
tetapi juga aparat keamanan dan para
pendukung/simpatisan maupun masyarakat
pada umumnya.
Dalam
posisi seperti ini, pers punya peran sangat strategis. Pertama, sebagai media untuk mensosialisasikan semua tahapan dalam
proses Pilkada. Banyak aspek bisa diangkat pers agar masyarakat makin bergairah
dan bersemangat untuk berpartisipasi.
Kedua, pers menjadi sarana pendidikan politik bagi
masyarakat. Pilkada adalah peristiwa
politik yang akan dimanfaatkan oleh berbagai kelompok kepentingan (vested interest) terkait dengan
kekuasaan. Beberapa pihak akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih
kepentingan yang diinginkan dengan segala cara.
Disini pers dituntut mampu menggali sedalam mungkin tentang berbagai hal
seputar Pilkada. Mulai dari figur, program sampai aktivitas kandidat, untuk
memberi gambaran lebih luas tentang siapa sesungguhnya calon pemimpin yang
pantas dipilih.
Dengan
peran seperti itu, pers akan menjadi ”incaran” para calon dan mereka yang
bermain dibelakangnya untuk memperebutkan pengaruh. Kalau perlu, pers akan di ”beli” untuk bisa memuluskan
cita-cita atau kepentingannya. Disinilah awak pers sesuai garis kebijakan
redaksi menghadapi “godaan” di lapangan.
Mereka kadang kurang konsisten menjalankan profesinya sesuai kode etik
jurnalistik. Pers mestinya menjadi media
untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan berpihak kepada kebenaran, mulai terseret
arus kelompok kepentingan.
Kalau
kita cermati isi pemberitaan Pilkada dalam dua bulan terakhir, beberapa
diantaranya menunjukkan ketidaknetralan. Idealisme dan integritas Pers yang
seharusnya dijunjung tinggi untuk berpihak kepada kebenaran, sudah menjadi alat kepentingan dukung mendukung
terhadap pihak yang disenangi dan membayarnya. Pemberitaan yang disajikan pun cenderung
mengabaikan prinsip independen, obyektif, akurat dan berimbang.
Padahal
pers punya peran sangat besar untuk ikut mendorong suksesnya Pilkada yang aman,
tertib, damai dan demokratis. Pers berperan dalam mencerdaskan masyarakat yang melahirkan
pencerahan. Disisi lain, pers menjadi alat kontrol sangat efektif
agar Pilkada tidak menyimpang dari aturan main yang ditetapkan. Hal ini bisa
terwujud jika pers bersikap profesional dan menjaga prinsip independen, netral
dan obyektif.
Memang
dalam peristiwa politik
seperti Pilkada, pers
memiliki agenda
setting untuk mempengaruhi pembaca. Lebih
daripada sekadar penyaji berita, melalui agenda yang dibuatnya, pers bisa mendorong pembaca untuk menentukan pilihannya.
Dengan agenda setting, masing-masing
pers punya sudut pandang dan kepentingan yang tidak sama. Untuk peristiwa yang
sama, bisa muncul berita yang berbeda.
Seperti
hasil penelitian tentang pemberitaan pers terkait Pemilu 1999 (Ibnu Hamad,
2004) dan Rudolf Rahabeat (2004) mengenai konflik Maluku. Betapa pers dalam menyajikan berita memiliki
sikap politik yang berbeda-beda. Mereka terbelah dalam arus yang bersifat
politis-ideologis, idealisme, dan kepentingan pasar. Ketiga sikap tersebut
melahirkan persepsi dan kepercayan publik yang berbeda.
Namun
lebih dari semuanya, pers seharusnya tetap berusaha membangun kepercayaan
publik melalui pemberitaan pers yang berkualitas. Indikatornya, pers harus berpijak
pada kebenaran, mendahulukan kepentingan masyarakat, bebas dari pengaruh
kekuasaan serta beritanya selalu proporsional dan komprehensif (Bill Kovack,
2001).
Noam
Chomsky (1997) dalam bukunya berjudul Kuasa
Media, meski di era kebebasan pers saat ini, pers bisa leluasa menuliskan
peristiwa-peristiwa politik tanpa adanya suatu mekanisme kontrol dari peguasa,
tetapi harus diingat bahwa masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan
informasi publik secara obyektif sehingga tidak menimbulkan ekses negatif.
Agar
tidak terus larut dalam pusaran arus kepentingan, pers perlu kembali kepada
jati dirinya dan berpegang pada prinsip jurnalisme politik. Menurut Amirudin
(2006), ada tiga prinsip untuk menjalankan jurnalisme politik. Pertama, prinsip akurasi, yakni berkaitan dengan ketepatan dalam membaca fakta. Kedua,
prinsip fairness, terkait
dengan kejujuran dalam memposisikan
fakta. Ketiga, prinsip equality,
berkenaan dengan kesamaan dalam menempatkan semua kandidat (calon) dalam
jurnalisme.
Pers
diharapkan mampu memegang prinsip jurnalisme politik secara dewasa untuk
menjalankan perannya dalam pelaksanaan Pilkada. Dalam arti, Pilkada oleh pers
ditempatkan sebagai peristiwa politik yang harus didorong agar memiliki makna
dalam mendidik masyarakat untuk berdemokrasi secara matang dan dewasa.
Bukan
pers yang hanya menjadikan Pilkada sebagai aset ekonomi dan alat politisasi dan
propaganda murahan. Artinya, Pilkada hanya ditempatkan sebagai pendongkrak daya
hidup media untuk meraih keuntungan sesaat tanpa memperhitungkan kepentingan
masyarakat.
Semoga
pers komitmen untuk tetap memegang prinsip independen dan netral, sekaligus
selektif dan hati-hati dalam pemberitaan soal Pilkada. Lewat pemberitaan
seputar Pilkada, akan terihat bagaimana integritas pers yang sesungguhnya.
Kebetulan aku bergiat di pers kampus, dan saat mengundang orang yang bekerja di stasiun televisi, mengakui adanya semacam pesanan pemberitaan, miris memang...
ReplyDeleteItulah faktanya..
Delete