Oleh
: Suparto
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, sudah lebih dari sepuluh tahun
lahir. Namun jujur saja, sebagian besar masyarakat Indonesia, belum pernah
tahu, atau tidak mau tahu, seperti apa isinya. Padahal undang-undang ini mengatur
media penyiaran (televisi dan radio) yang memiliki pengaruh besar terhadap
kehidupan kita.
Akibat ketidaktahuan
terhadap aturan tersebut, dunia penyiaran demikian bebas dan gencar menggempur
dan mempengaruhi semua sendi kehidupan. Mulai bangun tidur hingga mau tidur
lagi, dunia penyiaran merasuki seluruh relung waktu, dan kita seakan sulit
menghindarinya.
Dari karakteristiknya,
menurut M. Aswan Zanynu (2006), media elektronik ini memang memiliki sejumlah
kekuatan yang tidak dimiliki oleh media jenis lain. Pertama, kecepatan. Pesan dari radio maupun televisi dapat dengan
segera diterima oleh khalayak. Bahkan di saat suatu peristiwa tengah
berlangsung. Gelombang elektromagnetik radio dan televisi dapat menghampiri
khalayak dalam keadaan apa saja, tanpa mereka merasa diinterupsi.
Kedua,
media penyiaran dapat menembus isolasi geografis. Ia dapat menjangkau area yang
sangat luas. Penyebaran pesannya tidak dipengaruhi dukungan infrastruktur
transportasi. Sejauh apa lemparan signal pemancar, sejauh itu pula khalayak
dapat dijangkau olehnya. Ia dapat mendaki bukit, menuruni lembah menuju pantai,
serta menyeberangi pulau dan lautan.
Ketiga,
murah untuk dikonsumsi oleh khalayak. Khalayak tidak perlu membeli pesawat
penerima radio dan televisi setiap ingin mendengarkan atau menyaksikannya.
Cukup sekali beli, mereka dapat menikmatinya hingga jangka waktu yang lama.
Khalayak pun dapat menikmati lebih dari satu kanal siaran. Bergantung pada
kebutuhan dan keinginan mereka.
Keempat,
media penyiaran adalah media yang komunikatif. Tidak diperlukan syarat melek
huruf bagi khalayaknya. Orang buta huruf pun bisa mengerti selama bahasa yang
digunakan familiar, bukan asing. Bahasa yang digunakan media penyiaran adalah
bahasa tutur. Bahasa yang mudah dicerna bahkan oleh khalayak dengan tingkat
pengetahuan dasar sekalipun. Radio bahkan kerap dengan leluasa menggunakan
langgam bahasa daerah setempat. Sedangkan bagi televisi, bahasa lisannya
dibantu dengan sejumlah pesan visual sebagai pendukung.
Media penyiaran sebagai
penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, juga punya peran strategis,
terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara kita. Dengan demikian,
Media Penyiaran telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi yang efektif bagi
masyarakat, lembaga pendidikan, dunia bisnis, pemerintah, dan berbagai pihak
lainnya.
Point
Strategis UU Penyiaran
Mengingat betapa
strategisnya keberadaan dunia penyiaran, lahir Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun
2002 Tentang Penyiaran. Dalam UU 32/2002 ini, ada beberapa point strategis yang
perlu diketahui.
Pertama, kemerdekaan menyampaikan pendapat dan
memperoleh informasi melalui penyiaran merupakan perwujudan hak asasi manusia
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kedua,
spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan
kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh Negara, dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketiga,
lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting
dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki tanggung jawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta
kontrol dan perekat sosial.
Keempat,
siaran yang dipancarkan dan diterima
secara bersamaan, serentak dan bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam
pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara
penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa.
Kelima,
untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat dan
berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan
penyiaran. Di tingkat provinsi dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia Daerah
(KPID).
Keenam, masyarakat memiliki hak, kewajiban, dan
tanggungjawab berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional,
mengembangkan kegiatan literasi dan pemantauan lembaga penyiaran, serta dapat
mengajukan keberatan terhadap program dan isi siaran yang merugikan
Dari beberapa point
tersebut, kalau kita cermati peran dan fungsi penyiaran di Indonesia sepertinya
belum berjalan sesuai dengan jiwa UU
32/2002. Oleh karena itu, dalam perkembangannya perlu diawasi, karena banyak
menyimpang dari tujuan awal.
Mengamati perkembangan
siaran televisi maupun radio, akhir-akhir ini materi siaran yang ditampilkan
cenderung mementingkan aspek bisnis ketimbang tanggung jawab sosial, sehingga
tujuan mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat UU penyiaran mulai terabaikan.
Beberapa lembaga penyiaran,
khususnya televisi swasta nasional mulai lupa akan fungsinya sebagai media
pendidikan, informasi, hiburan yang sehat, kontrol sosial maupun perekat
sosial. Masih banyak tayangan tidak mendidik yang dilakukan oleh televisi
nasional seperti kekerasan, konflik
sosial, sadisme, mistik, dan tayangan yang mendorong anak dan remaja
terinspirasi untuk berperilaku konsumtif dan hedonisme.
Sementara untuk radio,
terutama isi program siaran radio swasta (menurut sumber KPID Jateng tahun
2012), masih didominasi musik yang rata-rata di atas 40% dari total siaran, 20%
siaran iklan, iklan layanan masyarakat (ILM) 5%, 5-10% berita dan informasi,
pendidikan agama 5%, pendidikan umum dan kebudayaan 10%, sisanya lain-lain.
Banyak dijumpai
ketidakkonsistenan implementasi persentase isi siaran dalam format siaran
harian dan mingguan. Dalam format harian dan mingguan, siaran musik makin
tinggi, sementara program pendidikan dan kebudayaan yang bertujuan membentuk
intelektualitas, watak, dan moral masyarakat, prosentasenya amat kecil.
Peran
Pemerintah dan Masyarakat
Untuk mewujudkan isi siaran yang sehat dan
bermartabat, KPI telah menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran (P3-SPS). KPI juga punya wewenang mengawasi dan memberikan
sanksi atas pelanggaran terhadap P3-SPS. Karena itu, penyelenggara siaran
disamping harus tunduk pada UU 32/2002, dalam operasionalnya tidak boleh
melanggar P3-SPS sebagai rambu-rambunya.
Masalahnya, apakah KPI/KPID
dengan personil yang terbatas itu mampu menjalankan tugas berat nan mulia
tersebut? Inilah peran Pemerintah dan masyarakat untuk ikut serta dalam
mewujudkan penyiaran yang bermartabat.
Kata bermartabat, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki banyak arti. Antara lain
prestisius, bergengsi, punya status dan memiliki pamor. Arti lainnya adalah
berkelas, prestise, berharkat, berkualitas, dan punya derajat, serta kedudukan
yang terhormat. Jadi istilah bermartabat mengandung makna segala hal yang
berkonotasi positif, berkualitas, bermanfaat, dan tidak tercela.
Kalau kita cermati seluruh
pesan UU 32/2002 dan P3-SPS, jelas sekali bahwa aturan dan pedoman tersebut
dimaksudkan agar terwujud penyiaran yang bermartabat di Indonesia. Yakni
penyiaran yang diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memberikan hiburan
yang sehat, menjadi sarana berkomunikasi dan perekat sosial bagi seluruh elemen
masyarakat, sekaligus bermanfaat dan mampu mengangkat derajat dan nilai-nilai
luhur kemanusiaan. Bukan penyiaran yang menyesatkan dan merendahkan martabat
manusia.
Namun sebaik apapun sebuah
peraturan atau pedoman tentu tidak ada artinya bila tidak ada kontrol dari
masyarakat pengguna media. Untuk itu KPI/KPID memerlukan dukungan masyarakat
agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Hal ini karena masyarakat
memiliki peran besar yang dilindungi undang-undang. Sebagaimana bunyi Pasal 52
UU 32/2002, setiap warga negara punya tugas dan kewajiban untuk melakukan
pengawasan terhadap isi siaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran yang ada
di Indonesia, untuk mewujudkan penyiaran yang sehat, edukatif dan bermaratabat.
Pemerintah Kabupaten/Kota,
melalui Dinas Peruhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) punya
kewajiban membantu tugas KPI/KPID untuk memfasilitasi dan/atau mewadahi
masyarakat dalam mewujudkannya. Hal ini untuk memperluas partisipasi publik
dengan memberikan edukasi isi siaran melalui workshop atau sosialisasi kepada
kelompok masyarakat.
Melalui kegiatan seperti
ini, dibentuk beberapa kelompok masyarakat peduli terhadap isi siaran yang
diharapkan dapat memberikan tanggapan kritis atas program siaran
lembaga-lembaga penyiaran. Peran kelompok masyarakat pemantau penyiaran
sangatlah penting dalam rangka mengawasi siaran yang bertentangan dengan norma.
Seperti di Kabupaten
Sragen, telah dibentuk Kelompok
Masyarakat Pemantau Penyiaran yang ditetapkan oleh KPID Jateng. Anggota
Kelompok ini berasal dari empat komponen, yakni Dishubkominfo, PD PGRI,
Muslimat NU dan TP-PKK. Empat komponen
ini merupakan organisasi yang bersentuhan langsung dengan bidang
regulasi, pendidikan, moral dan kesejahteraan masyarakat.
Petimbangan membentuk
kelompok pemantau ini adalah karena masyarakat di daerah lebih mengetahui
tentang kebutuhan informasi dari media informasi yang mendidik, menghibur,
serta berfungsi sebagai kontrol dan perekat sosial. Mereka perlu dilibatkan
dalam pengawasan isi siaran lembaga penyiaran di daerah sesuai kebutuhan
masyarakat setempat yang selaras dengan nilai-nilai/norma yang berlaku di
masing-masing daerah di Jawa Tengah.
Tugas kelompok ini
melaksanakan pemantauan isi siaran Lembaga Penyiaran yang berada di daerahnya
masing-masing dan membuat laporan hasil pelaksanaan pemantauan isi siaran
kepada ketua KPID Jawa Tengah sesuai format yang ada melalui Disbuhkominfo,
secara berkala.
Masyarakat bisa mengajukan
keberatan terhadap program dan isi siaran yang merugikan, mengandung SARA,
hasutan ataupun berbau pornografi dan lain-lain kepada Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan Informatika.
Atas peran serta
masyarakat, KPID Jawa Tengah pernah menemukan sejumlah pelanggaran, dua di
antaranya telah ditindak karena terlalu vulgar dalam menggunakan kata-kata
kasar. Sanksi administratif telah diberikan pada program “Ngocol” dari IBC FM
Semarang karena dalam program dengan segmen pemuda, menggunakan kata-kata yang
tidak pantas.
Sanksi lebih berat
diberikan kepada TATV Surakarta, karena program “Opor Ayam” yang ditayangkannya
menampilkan pemain yang menggunakan kata-kata makian serta gerakan-gerakan
seronok terhadap seorang perempuan
Juga terhadap sejumlah
Iklan. Beberapa waktu lalu, KPID Jateng menemukan dua pelanggaran konten iklan
pengobatan alternatif. Pertama, pemakaian kalimat “mampu menyembuhkan segala
macam penyakit“. Kalimat ini selain tidak rasional, secara eksplisit dan
implisit dapat ditangkap oleh pendengar atau pemirsa sebagai sesuatu yang
menggiurkan dan hiperbolik.
Kedua, penggunaan kalimat
“dijamin sembuh dalam jangka waktu tertentu“. Kalimat itu di samping meyakinkan
juga memberikan kepastian dan jaminan tapi tanpa disertai kejelasan dasar
jaminan yang bisa dipertanggungjawabkan. Rasanya sulit membuktikan kebenaran
dari dua kalimat promotif tersebut.
Menjadi
Masyarakat Cerdas, Aktif dan Kritis
Begitu pentingnya
pengawasan terhadap lembaga penyiaran, maka perlu digencarkan kegiatan
sosialisasi UU 32/2002, agar bisa lahir masyarakat melek media yang cerdas,
aktif dan kritis. Cerdas karena bisa memilih dan memilah mana yang baik dan
mana yang buruk.
Aktif mengontrol apa yang di dengarkan, disaksikan atau
dibaca. Kemudian kritis untuk peduli dan mau menyampaikan suara dan pendapatnya
berkaitan dengan isi media. Penggalangan kekuatan massa harus dilakukan untuk
dapat melakukan kontrol terhadap media penyiaran.
Ingat, gencarnya tayangan
media televisi yang dapat dikonsumsi oleh anak-anak membuat khawatir para orang
tua. Perilaku imitatif (peniru) yang menonjol pada anak-anak dan remaja,
membuat mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai
kenyataan. Adegan kekerasan, kejahatan, konsumtif, termasuk perilaku seksual di
layar televisi diduga kuat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak.
Karena itu, seluruh
keluarga agar selektif memilih tayangan dan jangan ragu untuk melarang
anak-anak menonton program yang membawa pengaruh negatif dan merusak moral
bangsa.
Comments
Post a Comment