foto : google.co.id |
Allah
SWT sebenarnya menjadikan manusia untuk saling berinteraksi (saling berhubungan
dan kerjasama), dan berhajat dengan orang lain dalam berbagai keperluan dan
urusan, baik jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam dan usaha lainnya. Dengan cara demikian, masyarakat bisa merasakan guyub, rukun, teratur dan bergairah, serta
persaudaraan tetap terjalin kukuh.
Tapi
dasar manusia, sebagian ada yang punya sifat loba/tamak/serakah, suka
mementingkan dirinya, maunya suka menggangu dan mengambil hak orang lain dengan
cara menipu dan berbuat curang.
Seorang
ahli hikmah, Lukmanul Hakim, memberikan nasihat kepada anaknya , “Hai anakku, berusahalah untuk menghilangkan
kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan
jalan halal itu, dia tidak akan mendapat kemiskinan, kecuali ia telah
dihinggapi 3 macam penyakit; yakni (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah
akalnya, dan (3) hilang kesopanannya (tidak mematuhi etika dan aturan yang
ada).”
Oleh
karena itu agama Islam melindungi semua pihak dan mengaturnya dengan hukum yang
jelas dalam hal mu’amalah, untuk memberikan jaminan hak setiap orang. Hal ini
untuk menghindari kesimpangsiuran, konflik dan timbulnya berbagai masalah di
tengah masyarakat akibat dari perbuatan curang, dusta dan ingin menang sendiri
yang merugikan orang lain.
Sulaiman
Rasjid (1955), dalam kitab Fiqh Islam menjelaskan, mu’amalat artinya kegiatan tukar menukar
barang/jasa/sesuatu yang bermanfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual
beli, sewa menyewa, upah mengupah pinjam meminjam, berserikat (kerjasama) dan
lain sebagainya.
Dalam
Qur’an Surat An-Nisa [4]: 29 Allah mengingatkan, “Janganlah kamu makan harta orang lain dengan jalan bathil (tidak sah),
kecuali dengan jual beli yang berlaku, suka sama suka dan saling ridla (ikhlas).”
Menurut
Sulaiman Rasjid, untuk meciptakan ketenangan dan keteraturan dalam menjalankan
usaha, terutama jual beli atau perdagangan, Islam telah memberikan pedoman, rambu-rambu dan etika/akhlak yang harus diperhatikan.
Pertama, didasari dengan niat yang baik untuk
kemaslahatan/kebaikan bersama dan memenuhi kebutuhan.
Kedua, tidak tamak/serakah terhadap apa yang
dimiliki orang lain.
Ketiga, berlaku jujur. Penjual dan pembeli mempunyai
hak ‘khiyar” (hak untuk memilih) sebelum keduanya berpisah. Jika keduanya
berlaku jujur dan terus terang, maka transaksi (tawar menawar) diantara
keduanya akan mendapatkan berkah. Tapi jika berlaku dusta dan menutup-nutupi,
maka mungkin saja mereka mendapatkan laba (untung), tetapi jual beli mereka
akan kehilangan berkah. Dalam Hadit Riwayat Bukhari disebutkan, “Bahwa sumpah palsu mungkin dapat melariskan
barang dagangannya, tetapi akan menghancurkan mata pencaharian.”
Keempat, tidak menyembunyikan cacat / aib barang
dagangan dan berbuat curang serta dusta, mengurangi hak orang lain dalam
timbangan, ukuran dan takaran dengan maksud ingin mengambil keuntungan sebesar
mungkin melalui cara yang tidak sah, karena akan merugikan orang lain.
Kelima, jangan menimbun barang dan menahan dari
perdedaran yang dibutuhkan masyarakat dengan maksud ingin mengambil kesempatan
dalam kesempitan, mempermainkan pasar untuk menimbulkan kekacauan.
Keenam, tidak menipu (menjual barang palsu
dikatakan asli) sehingga merugikan dan mengecewakan pihak lain.
Ketujuh, jangan membeli barang dengan harga yang
jauh lebih mahal dari harga pasar, padahal ia tidak ingin (butuh) terhadap
barang tersebut, tetapi semata supaya orang lain tidak dapat membeli barang
itu.
Delapan, jangan membeli barang yang sudah dibeli orang
lain yang masih dalam masa khiyar
(hak untuk memilih). Apabila terjadi penyesalan diantara kedua orang yang
sedang bertransaksi jual beli, disunahkan atas yang lain mencabut ‘aqad (kesepakatan) yang sudah dibuat.
Dalam hadits riwayat Bazzar disebutkan, “Barangsiapa
mencabut jual beli terhadap orang yang menyesal, maka Allah akan mencabut dari kejatuhannya
(kerugian dagangannya).”
Sembilan, tidak menghambat orang-orang dari desa
lain di luar kota dan membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan
mereka waktu itu belum mengetahui harga pasar. Hal tersebut bisa mengecewakan,
atau menggangu gerakan pasar.
Sepuluh, tidak menyakiti hati orsang lain, baik
dengan kata-kata maupun perbuatan.
Di
bawah ini beberapa peringatan Allah dalam Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW mengenai
perlunya berlaku jujur dan larangan berbuat curang dan akibatnya.
Di
dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syu’ara [26] : 181-184 disebutkan, “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu
merugikan orang lain, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Dan jangalah kamu merugikan manusia dengan
mengurangi hak-haknya
dan janganlah
mambuat kerusakan di bumi. Bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu
dan umat-umat yang terdahulu.”
“Dan tegakkanlah
timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi timbangan itu.” (QS. Ar-Rahmân
[55]:9).
“Dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar kesanggupannya.” [Al-An’âm[6] :152).
“Rasulullah SAW melarang
orang memperjualbelikan barang yang mengandung tipudaya.” (Hadits Riyawat Muslim
dari Abu Hurairah).
Dalam
sebuah Hadits diceritakan, bahwa suatu hari Rasulullah SAW melewati setumpuk
makanan di pasar, kemudian beliau memasukkan tangannnya ke dalam tumpukan
makanan tersebut. Tiba-tiba tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, lalu
terjadi dialog.
“Apa
ini?” tanya Rasulullah kepada penjual makanan.
“Itu
makanan yang terkena hujan,” jawab si penjual makanan
“Kenapa
tidak kamu letakkan di bagian atas agar orang lain (pembeli) bisa melihat?
Barangasiapa berlaku curang, mereka bukan dari golonganku,” sabda Rasulullah.
(HR Bukhari dari Abu Huraiah).
Terhadap
orang yang curang Allah menerangkan dalam Qur’an Surat Al-Muthaffifin [83]: 1-10
:
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
curang,
(yaitu) orang-orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta
dipenuhi,
dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain,
mereka mengurangi.
Tidakkah orang-orang
itu yakin,
bahwa sesungguhnya
mereka akan dibangkitkan,
pada suatu hari yang
besar,
(yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
Sekali-kali jangan
curang,
karena sesungguhnya
kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjin.
Tahukah, kamu apakah
Sijjin itu?
(Ialah) kitab yang
bertulis.
Kecelakaan yang
besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.”
*****
Subhanallah. Begitu Indah ajaran Islam untuk menciptakan tatanan kehidupan didalam masyarakat dan negara agar dikaruniai berkah, serta terhindar dari celaka.
Semoga
bermanfaat.
Suparto
Comments
Post a Comment