Kita sering mendengar pesan yang lantang, “Jadilah Yang
Terbaik.” Namun nyatanya, masih banyak orang yang merasa lebih senang mengekor
kebesaran pada tokoh idolanya.
Karena itu kita perlu mengubah paradigma konvesional
yang mengungkung cara berpikir ini. Berpikirlah di luar ruang, dobrak kebekuan,
jadilah pribadi yang terbaik.
Rasulullah saw ketika ditanya tentang pribadi yang
paling baik, beliau menjawab, “Yang paling bermanfaat bagi sekitarnya.” Dalam riwayat
lain, beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.”
Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk menjadi yang
terbaik. Ini fitrah manusia. Islam adalah agama fitrah yang mengarahkan kecenderungan
ini secara proporsional. Bukan saja disuruh
untuk menjadi orang baik, tetapi menjadi yang terbaik dan bermanfaat.
Sebagaimana doa ‘ibadurrahman, “Ya Allah. Anugerahkan kepada
kami, istri-istri kami dan keturunan kami, sebagai penyejuk mata kami, dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Furqan : 74).
Islam memberi peuang
sekaligus motivasi untuk berlomba dalam amal shaleh (fastabiqul khairat : 5/48) dan menjadi yang terbaik amalnya. Terbaik
dari orang-orang baik, bukan terbaik dari orang-orang buruk.
Sebagaimana perintah Allah, “Dialah (Allah) yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). Di ayat lain disebutkan, “Supaya Kami menguji mereka, siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.” (QS. A;l-Kahfi: 7).
Sebagaimana perintah Allah, “Dialah (Allah) yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk : 2). Di ayat lain disebutkan, “Supaya Kami menguji mereka, siapakah diantara mereka yang paling baik amalnya.” (QS. A;l-Kahfi: 7).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah tidak menginginkan amal yang sembarang amal, tidak sekadar amal yang baik, tetapi menginginkan dari mereka amal yang paling baik.
Maka perlombaan diantara mereka bukan antara amal
yang buruk dan baik, tetapi antara amal
yang baik dan amal yang paling baik. Misalnya dorongan AL-Qur’an untuk berdebat
dengan cara yang lebih baik (QS. An-Nahl:125), menolak dengan cara yang lebih
baik (QS. Al-Mukmimun: 96) , menginvestsaikan harta anak yatim dengan cara yang
paling baik (QS. Al-Isra 34).
Berarti seorang muslim tidak cukup hanya menjadi penonton yang pandai berkomentar, menilai dan menyalahkan, tetapi ia adalah pemain andalan yang profesional. Ia memberikan manfaat yang besar bagi masyarakatnya. Ia hadir dan ada untuk memberikan solusi, bukan malah manambah beban. Tentunya sebelum dapat memberikan manfaat kepada orang lain, terlebih dulu ia harus memperbaiki dan memberi manfaat pada dirinya. Karena orang yang tak punya apa pun tak bisa memberikannnya kepada orang lain.
Peran muslim adalah seperti lebah yang ikut membantu penyerbukan bunga menjadi buah, membikin madu yang menyehatkan dan dapat dinikmati oleh orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Dan perumpamaan mukmin itu seperti lebah. Ia hinggap di tempat yang baik dan mamakan yang baik, tetapi tidak merusak.” (HR. Thabrani).
Kehadiran muslim sebagai khairu ummat – umat terbaik (QS. Ali-Imran :110) dan sebaik-baik manusia karena peran dakwahnya, dikeluarkan untuk manusia, membimbing manusia pada kebenaran, mengeluarkannya dari kejahiliyahan menuju cahaya keadilan Islam.
Islam bukan sekadar agama ritual, tapi berdimensi integral secara sosial. Karena Allah bukan saja menghendaki orang baik untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana agar kebaikannya bisa dirasakan oleh sesamanya. Seperti pohon thayyibah, “……yang memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhannya,” (QS. Ibrahim : 25).
Keruwetan negeri yang sedang kita rasakan saat ini, sebenarnya berawal dari tidak dilaksanakannya nilai-nilai sosial risalah Islam dalam kehidupan. Tetapi kebanyakan umat hanya membatasi diri beragama secara pribadi dan ritual-ritual semata. (QS. Al-Baqarah : 85)
Bermegah-megahan membangun masjid tapi tak sudi memakmurkannya. Berkali-kali naik haji tapi lupa tetangganya yang miskin. Seminar tentang kemiskinan di hotel megah, namun membantu panti asuhan hanya untuk legitimasi keislaman serta meraih popularitas dan sebagainya. Akibatnya terjadi isolasi ajaran agama yang agung, dipisahkan kehidupan dengan aturan Sang Pencipta Kehidupan, bahkan diingkarinya syariat untuk melanggengkan ambisi serta memuaskan bahwa nafsu.
Manusia adalah makhuk sosial. Betatapun hebat dan kayanya seorang manusia, ia tak mungkin hidup sendiri. Ia ada, kemudian menjadi hebat dan kaya pun karena ada andil dari orang lain. Karena itu Allah menciptakan manusia sekaligus dengan menciptakan aturan pula bagi manusia untuk saling membutuhkan, saling berhubungan, saling memberi dan saling menerima.
Inilah hakikat yang sesungguhnya bahwa mukmin satu dengan mukmin lainnya ibarat satu tubuh. Rasulullah bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin adalah saling mencintai, saling mengasihi dan saling membantu,laksana satu tubuh. Bila salah satu anggotanya merasa sakit, maka seluruh anggota tubuhnya turut merasakan sakit, seperti kena demam atau tidak bisa tidur.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Suparto
Referensi :
Abu Izzuddin, Solikhin. 2013. School of Leadership, Atas Nama Cinta Kita Memimpin Negara. Jakarta : Pustaka
Ikadi.
Comments
Post a Comment