Buku berjudul Tasawuf Modern karya Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim
Amrullah) yang terbit Tahun 1937 (79 tahun) silam, seakan tak
pernah kering untuk menjadi penyejuk jiwa bagi pembacanya. Setelah mengalami
cetak ulang puluhan kali, kini buku tersebut hadir kembali dalam tampilan baru
yang diterbitkan oleh Republika Jakarta.
Lewat karyanya itu,
Hamka bertutur tentang realita manusia mencari hakekat hidup sejati. Uraian
Hamka menyentuh relung hati untuk merenungkan tentang makna Bahagia yang terus
dicari umat manusia. Hamka ingin menunjukkan, hakekat bahagia itu menurut
sudut pandang orang yang mencarinya, bagaimana mereka memaknainya.
Namun sebenarnya, "Bahagia itu dekat dengan kita. Ada di dalam diri kita," kata Hamka.
Namun sebenarnya, "Bahagia itu dekat dengan kita. Ada di dalam diri kita," kata Hamka.
Pada bagian awal, Buya Hamka mengilustrasikan
adanya tiga orang yang tengah berjalan di sebuah kota yang rumah-rumahnya
indah-indah, tempat orang kaya bergaji besar. Beberapa orang duduk di muka
perkarangan rumahnya bersama anak dan istrinya, sambil membaca suratkabar. Di
atas meja terletak beberapa mangkuk teh. Si ibu sedang menyulam, anak-anak
sedang bermain kejar-kejaran di halaman rumah yang berumput hijau.
Terhadap pemandangan itu, satu orang berkata:
pastilah mereka bahagia. Seorang yang lain, berkomentar, belum tentu mereka
bahagia. Kalau begitu apa arti bahagia dan di manakah batasnya?
Seorang mengatakan, bahagia didapat oleh orang
yang mempunyai kekayaan. Yang lain mengatakan pada nama masyhur dan sebutan
yang harum. Kaedah tentang bahagia, menurut Hamka, kalau didaftar bisa sebanyak
penderitaan, sebanyak pengalaman, sebanyak kekecewaan. Orang fakir mengatakan
bahagia pada kekayaan. Orang sakit pada kesehatan, orang yang telah terjerumus
ke lembah dosa pada terhenti dari dosa, dan sebagainya.
Jadi, kata Hamka, “sampai sekarang belum juga
dapat orang menentukan, bilakah masanya orang merasa bahagia.” Orang rindu
untuk menjadi kaya, tetapi bila ia telah benar-benar kaya, “hilanglah
kerinduannya.” Perasaan romantiknya mengatakan bahwa, “segala isi dunia ini
indahnya sebelum ada di tangan.”
Hamka mencontohkan, “Rockeveller seorang yang
sangat kaya, sebelum kaya sangat rindu hendak beroleh bahagia dengan kaya.
Uangnya yang bermiliar sebanyak aliran minyak tanah Socony itu tidak ada harga
lagi baginya. Yang lebih dirindukan dan lebih dicintainya serta ia berasa
bahagia jika diperolehnya, ialah bila umurnya yang 97 tahun (1937) dicukupkan
Allah 100 tahun, menunggu tiga tahun lagi. Tetapi tahun 1937 itu dia mati juga,
tak dapat ditebusnya kekurangan yang tiga tahun itu dengan uang miliaran itu!”
Sebaliknya, “Di negara Surakarta Hadiningrat ada
seorang perempuan tua, Mbok Suro namanya, sudah satu setengah abad usianya,
hidupnya sangat miskin. Sudah berkali-kali dilihatnya raja diangkat dan raja
mati, dan karena miskinnya sudah kerapkali dia bosan hidup. Akan lebih
berbahagialah dia kiranya, kalau dia lekas mati, namun mati tidak juga datang.
Kalau nasib itu boleh menurut kehendak kita, apalah salahnya diberikannya
kelebihan usianya itu kepada Rockefeller barang tiga tahun saja, tentu kalau boleh,
mau agaknya Rockefeller mengganti kerugian umur itu dengan separo kekayaannya.”
“Sekarang mengertilah kita,” catat Hamka, “bahwa
segala sesuatu di dalam alam ini baik dan buruknya bukanlah pada zat sesuatu
itu, tetapi pada penghargaan kehendak kita atasnya, menurut tinggi-rendahnya
akal kita.
Apalah gunanya pena emas bagi orang yang tak
pandai menulis? Apalah harga Qur’an bagi seorang atheis (tidak beragama).
Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia disuruh
membersihkan akal budi, supaya dengan akal budi kita mencapai bahagia yang
sejati.
Hamka memang dikenal sebagai ulama yang selalu
menyuarakan pentingnya budi, sebagaimana yang dipantunkannya:
Tegak
rumah karena sendi;
Runtuh
budi rumah binasa;
Sendi
bangsa ialah budi;
Runtuh
budi runtuhlah bangsa!
Hamka jelas menekankan bahwa bahagia itu bukan
sekadar urusan pribadi, melainkan juga masyarakat dan bangsa. Pribadi yang
terkungkung dari masyarakat dan bangsa, tentu saja tidak bahagia. Pendapat ini
diamini Hamka dari Leo Tolstoy. Pada akhirnya tegak bangsa, karena budi itulah
yang membuat Hamka menekankan pelembagaan budi, akhlak, perilaku baik bagi
kemajuan diri, masyarakat, dan bangsa.
Selain beberapa hal tersebut, masih banyak
pandangan tokoh-tokoh dunia dari berbagai disiplin ilmu tentang
Bahagia dikutip oleh Hamka.
Namun menurut Hamka, salah satu jalan untuk
menciptakan kebahagiaan adalah perasaan Qana’ah. Qana’ah itu mengandung
lima perkara : (1) Menerima dengan rela akan apa yang ada; (2) Memohonkan
kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha; (3) Menerima dengan sabar akan
ketentuan Tuhan; (4) Bertawakal kepada Tuhan; dan (5) Tidak tertarik oleh tipu
daya dunia. Itulah yang dinamakan qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.
Kata Hamka, bahagia, yang dalam bahasa Arab
disebut sa’adah, tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan qana’ah.
Bahagia adalah qana’ah dan qana’ah ialah
bahagia. Sebab tujuan utama qana’ah adalah menanamkan dalam hati
sendiri perasaan thuma’ninah, perasaan tenteram dan damai,
baik di waktu duka atau suka, susah atau senang, kaya atau miskin. Lantaran
yang dituntut qana’ah ketenteraman, maka ketenteraman itu pula yang
menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau tidak ada qana’ah. Qana’ah dan
bahagia adalah satu.
Suparto
Referensi :
Hamka, Prof. Dr. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta : Republika Penerbit
Yap! Betul Pak. Bagus bukunya. Saya penggemar karya-karya Hamka juga.
ReplyDeleteIya Mbak. baca buku-buku Hamka itu, walau berulang-ulang, ngga bosan.
DeletePak isinya bagus banget...
ReplyDeleteDan untuk qanaah itu Susah banget ya..
Kita harus melatih diri untuk menjadi orang yang selalu qanaah.
DeleteTerimakasih sudah berbagi ilmu,pak.
ReplyDeleteAlhamdulillah. Kita sama2 belajar.
DeleteWaahh ini, saya harus banyak baca buku2 keren semacam ini.
ReplyDeleteMksih pak parto.
Iya Cin. Sama2
Delete