Hamka, selain dikenal sebagai Ulama besar, adalah
seorang Pujangga yang sangat terkenal dalam khazanah
Sastra Indonesia. Seperti yang saya tulis kemarin, Hamka telah melahirkan ratusan karya buku dalam berbagai bidang ilmu yang hingga
sekarang masih terus dibaca orang. Namun anehnya, meski dikemudian hari ia
menyandang gelar akademis Professor Doktor, ia tidak pernah menamatkan sekolah
dasar.
Berikut sepenggal kisah unik masa kecil Hamka, yang dalam perjalanan hidupnya memiliki semangat pembelajar otodidak luar biasa.
Berikut sepenggal kisah unik masa kecil Hamka, yang dalam perjalanan hidupnya memiliki semangat pembelajar otodidak luar biasa.
Hamka lahir
di Kampung Molek, Sungai Batang Maninjau, Kabupaten Agam, Bukittinggi,
Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Ayahnya, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah, atau
Haji Rasul, adalah ulama pembaru Minangkabau.
M. Alfan Alfian (2014) menceritakan, ketika Hamka
berusia enam tahun, ayahnya pindah ke Padang Panjang. Setahun setelahnya, Hamka
dimasukkan ke Sekolah Desa, malamnya belajar atau mengaji Al-Qur’an dengan
diasuh ayahnya sendiri hingga khatam.
Tahun 1916
hingga 1923, Hamka belajar agama pada Diniyah
School dan Sumatrea Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek. Pada masa
sebelum Hamka masuk di Thawalib, sebagaimana diakuinya, merupakan zaman yang
seindah-indahnya pada dirinya. Pagi ia bergegas pergi ke sekolah supaya dapat
bermain sebelum pelajaran dimulai, sepulangnya bermain-main lagi, seperti
anak-anak lainnya bermain.
Sejak
dimasukkan ke Thawalib oleh ayahnya, Hamka tidak dapat lagi mengikuti pelajaran
di Sekolah Desa. Ia berhenti setelah tamat kelas dua. Setelah itu, Hamka
belajar di Diniyah School setiap pagi, sementara sorenya belajar di Thawalib,
dan malamnya kembali ke surau. Demikian kegiatan Hamka kecil setiap hari,
sesuatu yang – menurut pengakuannya - tidak menyenangkan dan mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.
Selama belajar
di Thawalib, Hamka sering tidak hadir karena merasa jenuh. Ia lebih suka di
perpustakaan umum milik gurunya, Zainuddin Labay el Yunusy. Di perpustakaan ini,
Hamka leluasa membaca buku, bahkan beberapa ia pinjam pulang. Karena buku yang
dipinjamnya tidak ada hubungannya dengan pelajaran, Hamka sempat dimarahi
ayahnya. Misalnya ketika Hamka membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata,
“Apakah engkau akan menjadi orang alim nanti, atau menjadi orang tukang
cerita?”
Hamka memang
lain. Dari bacaannya, ia semakin tertarik merantau ke Jawa. Hamka terkesan
dengan informasi bahwa Islam di Jawa lebih maju daripada di Minangkau, terutama
dalam hal pergerakan dan organisasinya.
Hamka tidak
lagi tertarik menyelesaikan pendidikannya di Thawalib. Setelah belajar empat
tahun, ia keluar dari Thawalib tanpa ijazah.
Tahun 1922,
Hamka dibawa ayahnya ke Parabek, lima kilometer dari Bukittinggi untuk belajar
kepada Syekh Ibrahim Musa. Itupun tidak berlangsung lama. Hamka masih terobsesi
merantau, kalau bukan menuntut ilmu, ke Jawa. Tetapi, selalu terganjal oleh
ayahnya.
Pada masa
remajanya, Hamka punya hobi berkelana ke sejumlah tempat di Minangkabau, sehinga
ayahnya menjuluki Hamka "Si Bujang Jauh."
Suparto
Buya hamka..seorang bapak pujangga yang masya Allah
ReplyDeleteSekarang kita sulit menemukan tokoh seperti Buya Hamka.
ReplyDelete