RESENSI BUKU
Judul
Buku :
HAMKA DAN BAHAGIA - Reaktualisasi Tasauf Modern Untuk Zaman Kita
Pengarang : M. Alfian Alfan
Penerbit : PT. Penjuru Ilmu Sejati
Tahun
Terbit : Cetakan 1, 2014
Halaman :
278 Halaman
------------------------------------------------------
Buku
karya Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) berjudul Tasawuf Modern yang terbit Tahun 1937 (80 tahun) silam,
hingga kini terus dibaca orang. Buku ini seakan tak pernah kering untuk menjadi
penyejuk jiwa bagi pembacanya. Lewat karyanya itu, Hamka bertutur tentang
realita manusia mencari hakekat hidup sejati. Uraian HAMKA menyentuh relung
hati untuk merenungkan tentang makna Bahagia yang terus dicari umat manusia. HAMKA
ingin menunjukkan, hakekat bahagia itu menurut sudut pandang orang yang
mencarinya, bagaimana mereka memaknainya.
Nah,
bagi yang belum sempat membaca buku Tasawuf
Modern ngga usah khawatir. Sekarang,
sudah terbit buku berjudul “HAMKA DAN BAHAGIA – Reaktualisasi Tasauf Modern
Untuk Zaman Kita” karya M. Alfan Alfian. Buku ini membantu kita untuk memahami
berbagai pemikiran HAMKA terutama tentang hakekat dan makna bahagia. Seperti
pengakuan M. Alfan Alfian, buku ini adalah sebuah upaya mengangkat kembali
pesan-pesan HAMKA (hal.15).
Buku
setebal 278 halaman ini oleh Alfian dipilah dalam dua bagian. Bagian pertama
ditampilkan sosok HAMKA, karya dan pandangannya tentang dunia tasauf (HAMKA menulisnya, tasawuf).
Pada bagian ini, pembaca disuguhi berbagai catatan berharga tentang perjalanan
hidup dan pemikiran tokoh HAMKA yang memiliki banyak peran itu.
HAMKA
yang lahir di Kampung Molek, Sungai Batang Maninjau, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatra Barat,
17 Februari 1908, dikemudian hari menjadi ulama besar, seorang pujangga dan
politisi. HAMKA adalah nama pena,
yang bahkan kemudian lebih populer ketimbang kepanjangannya, yakni Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (hal. 23).
Dalam
perjalanan hidupnya, HAMKA telah melahirkan ratusan karya intelektual berupa sastra
dan berbagai tema lain. Beberapa bukunya
menjadi karya monumental hingga sekarang. Diantaranya, Di Bawah Lindungan Ka’bah; Tenggelamnya Kapal Van der Wijk; Merantau Ke Deli; Di Dalam Lembah Kehidupan; Menunggu
Beduk Berbunyi; dan masih banyak lagi. Bahkan Tafsir Al-Azhar (30 jilid), karya utamanya, hingga kini banyak
menjadi rujukan umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.
Atas
banyaknya karya, terutama karya sastra, tak berlebihan kiranya Muhammad
“Immaduddin ‘Abdurrahim (seorang intelektual Muslim dari Institut Tekologi
Bandung), mencatat bahwa, “HAMKA adalah
ulama pertama di tanah air kita yang mampu mempergunakan sastra sebagai alat
untuk menyampaikan pesan-pesan Allah SWT dan risalah Rasulullah SAW. Selain
bahasa Melayu yang dipakai Buya HAMKA dalam tulisan-tulisan beliau sangat
tinggi menurut ukuran zaman itu, logika yang beliau sajikan pun sangat mudah
dicerna oleh rata-rata manusia Indonesia ketika itu.” (hal. 30).
Sedangkan
pada bagian dua, diuraikan mengenai Jalan Bahagia dalam Tasauf Modern. Pada
bagian ini Alfian mengupas Bab-bab dalam buku Tasauf Modern yang menelusuri
ragam pendapat tentang bahagia atau kebahagiaan.
Pada
bagian awal, Buya HAMKA mengilustrasikan adanya tiga orang yang tengah berjalan
di sebuah kota yang rumah-rumahnya indah-indah, tempat orang kaya bergaji
besar. Beberapa orang duduk di muka perkarangan rumahnya bersama anak dan
istrinya, sambil membaca suratkabar. Di atas meja terletak beberapa mangkuk
teh. Si ibu sedang menyulam, anak-anak sedang bermain kejar-kejaran di halaman
rumah yang berumput hijau.
Terhadap
pemandangan itu, satu orang berkata : pastilah mereka bahagia. Seorang yang
lain, berkomentar, belum tentu mereka bahagia. Kalau begitu apa arti bahagia
dan di manakah batasnya?
Seorang
mengatakan, bahagia didapat oleh orang yang mempunyai kekayaan. Yang lain
mengatakan pada nama masyhur dan sebutan yang harum. Kaedah tentang bahagia,
menurut HAMKA kalau didaftar bisa sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman,
sebanyak kekecewaan. Orang fakir mengatakan bahagia pada kekayaan. Orang sakit
pada kesehatan, orang yang telah terjerumus ke lembah dosa pada terhenti dari
dosa, dan sebagainya.
Jadi,
kata HAMKA, “sampai sekarang belum juga dapat orang menentukan, bilakah masanya
orang merasa bahagia. Orang rindu untuk menjadi kaya, tetapi bila ia telah
benar-benar kaya, hilanglah kerinduannya.” Menurut HAMKA, perasaan romantiknya
mengatakan bahwa, “segala isi dunia ini indahnya sebelum ada di tangan.”
HAMKA
mencontohkan, “Rockeveller seorang yang sangat kaya, sebelum kaya sangat rindu
hendak beroleh bahagia dengan kaya. Uangnya yang bermiliar sebanyak aliran
minyak tanah Socony itu tidak ada harga lagi baginya. Yang lebih dirindukan dan
lebih dicintainya serta ia berasa bahagia jika diperolehnya, ialah bila umurnya
yang 97 tahun (1937) dicukupkan Allah 100 tahun, menunggu tiga tahun lagi.
Tetapi tahun 1937 itu dia mati juga, tak dapat ditebusnya kekurangan yang tiga
tahun itu dengan uang miliaran!”
Sebaliknya,
“Di negara Surakarta Hadiningrat ada seorang perempuan tua, Mbok Suro namanya,
sudah satu setengah abad usianya, hidupnya sangat miskin. Sudah berkali-kali
dilihatnya raja diangkat dan raja mati, dan karena miskinnya sudah kerapkali
dia bosan hidup. Akan lebih berbahagialah dia kiranya, kalau dia lekas mati,
namun mati tidak juga datang. Kalau nasib itu boleh menurut kehendak kita,
apalah salahnya diberikannya kelebihan usianya itu kepada Rockefeller barang
tiga tahun saja, tentu kalau boleh, mau agaknya Rockefeller mengganti kerugian
umur itu dengan separo kekayaannya.”
“Sekarang
mengertilah kita,” catat HAMKA, “bahwa segala sesuatu di dalam alam ini baik
dan buruknya bukanlah pada zat sesuatu itu, tetapi pada penghargaan kehendak
kita atasnya, menurut tinggi-rendahnya akal kita.”
Apalah gunanya pena
emas bagi orang yang tak pandai menulis? Apalah harga Qur’an bagi seorang atheis
(tidak beragama). Apalah harga intan bagi orang gila? Sebab itulah kita manusia
disuruh membersihkan akal budi, supaya dengan akal budi kita mencapai bahagia
yang sejati.
HAMKA
memang dikenal sebagai ulama yang selalu menyuarakan pentingnya budi,
sebagaimana yang dipantunkannya :
Tegak rumah karena sendi;
Runtuh budi rumah binasa;
Sendi bangsa ialah budi;
Runtuh budi runtuhlah bangsa!
HAMKA
jelas menekankan bahwa bahagia itu bukan sekadar urusan pribadi, melainkan juga
masyarakat dan bangsa. Pribadi yang terkungkung dari masyarakat dan bangsa,
tentu saja tidak bahagia. Pendapat ini diamini HAMKA dari Leo Tolstoy. Pada
akhirnya tegak bangsa, karena budi itulah yang membuat HAMKA menekankan
pelembagaan budi, akhlak, perilaku baik bagi kemajuan diri, masyarakat, dan
bangsa (hal. 112).
Selain
beberapa hal tersebut, masih banyak pandangan tokoh-tokoh dunia dari berbagai
disiplin ilmu tentang Bahagia dikutip
oleh HAMKA.
Namun
menurut HAMKA, salah satu jalan untuk menciptakan kebahagiaan adalah perasaan Qana’ah. Qana’ah itu mengandung lima perkara : (1) Menerima dengan rela akan
apa yang ada; (2) Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha;
(3) Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan; (4) Bertawakal kepada Tuhan;
dan (5) Tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Itulah yang dinamakan qanaah, dan itulah kekayaan yang
sebenarnya.
Kata
HAMKA, bahagia, yang dalam bahasa Arab disebut sa’adah, tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan qana’ah. Bahagia adalah qana’ah dan qana’ah ialah bahagia. Sebab tujuan utama qana’ah adalah menanamkan dalam hati sendiri perasaan thuma’ninah, perasaan tenteram dan
damai, baik di waktu duka atau suka, susah atau senang, kaya atau miskin.
Lantaran yang dituntut qana’ah adalah
ketenteraman, maka ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan tidak
ada bahagia kalau tidak ada qana’ah. Qana’ah dan bahagia adalah satu (hal.
211).
Tasauf
HAMKA adalah tasauf yang hidup di tengah dinamika kehidupan yang dinamis.
Bagaimana etos tasauf HAMKA dapat teraplikasikan pada masa kini? Sesungguhnya
apa yang diurai HAMKA merupakan isu abadi. Isu-isu yang diangkat dari
ajaran-ajaran dasar tasauf Islam yang direfleksikan secara berimbang : tidak
anti kaya, tidak anti miskin, tetapi apapun kondisinya tidak menjauhkan kita,
Muslim, jauh dari-Nya. Bahwa apa yang disampaikan HAMKA, normatif sekali, kata
kita hari ini.
Menurut
Alfian, karya HAMKA yang disadur sedemikian rupa dalam buku ini, yakni Tasauf
Modern adalah buku yang ditulis HAMKA selaras dengan zamannya. Di masa kini,
kita semakin terbuka memperoleh akses untuk mencari buku-buku yang berkenaan
dengan tasauf. Karenanya, selaras dengan semangat belajar HAMKA, di mana dia
adalah manusia pembelajar sejati (yang punya tradisi otodidak), maka tentulah
kita bisa kritisi kembali hal-hal yang disampaikan HAMKA, manakala memang perlu
untuk dikritisi.
Buku
ini, selain dimaksudkan untuk mengenang HAMKA dan mereaktualisasikan tasauf
secara modern, juga sebagai pemicu untuk membaca lebih banyak buku lagi, dan
lebih dari itu, tetaplah qana’ah (hal
268).
Membaca
buku ini, pembaca tidak hanya dusuguhi pemikiran HAMKA yang tertuang dalam
karyanya Tasauf Modern, namun juga
perjalanan hidup sang pujangga besar ini.
Saat ini kita sulit menemukan tokoh sekaliber HAMKA.
Kalau
kita melihat judulnya , “HAMKA DAN BAHAGIA – Reaktualisasi Tasauf Modern Untuk
Zaman Kita”, saya kira Alfian akan lebih fokus mengupas tema kebahagian yang diungkap
HAMKA dalam bukunya. Tetapi kenyataannya, mungkin ingin menunjukkan luasnya
referensi, Alfian terlalu banyak menampilkan riwayat HAMKA, sehingga harapan
pembaca untuk memperoleh pencerahan tentang bahagia dari buku Tasauf Modern
tentu saja berkurang.
Namun
dengan segala kekurangannya, menurut saya, buku ini pantas kita baca agar terbuka
wawasan yang lebih luas untuk menemukan hakekat bahagia, sekaligus mengetahui
seorang HAMKA yang luar biasa.
Penulis
buku ini, Muhammad Alfian Alfan, lahir di Klaten 15 Februari 1973. Dosen pada
jurusan Hubungan Internasional Universitas Nasional Jakarta ini menamatkan
pendidikan S-1 di Universitas Muhammadiyah Malang, S-2 di Universitas Nasional
dan S-3 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. M. Alfian Alfan telah
melahirkan beberapa karya buku, antara lain Mahalnya
Harga Demokrasi (2002), Menjadi
Pemimpin Politik (2009, 2010), Kekuatan
Pemimpin (2012), Demokrasi Pilihlah Aku (2009, 2012), Pemimpin
Yang Melayani (2010), Novel Akulah,
Beo! (2012), dan HMI 1963-1966
(2013).
Selamat Membaca!
Suparto
#OneDayOnePost
Mantap pak...
ReplyDeleteTerima kasih untuk resensi bukunya.
Semoga bermanfaat mas
DeleteTerima kasih ilmunya Pak.. Bermanfaat sekali. 😊
ReplyDeleteSaya juga dapat banyak ilmu dari baca buku itu...
DeleteTerima kasih resensi bukunya, Pak... bacaannya berat. Hehe
ReplyDeleteYa mbak Vin. Semalam kita tunggu komen dari mbak Vin lho.
DeleteAcara Bedah buku semalam hangat...
Delete