Walau tak terucap aku sangat kehilangan
Sebagian semangatku ada dalam doamu
Warisan yang kau tinggal petuah sederhana
Aku catat dalam jiwa dan coba kujalankan
Meskipun aku tak dapat menungguimu saat terakhir
Namun aku tak kecewa mendengar engkau berangkat
Dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu
Ayah aku berjanji akan aku kirimkan
Doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang…
Penggalan syair lagu
yang dinyanyikan Ebiet G. Ade itu
Kini hadir saat aku
menatap pusara Ayah
Kenangan indah
bersamanya membuka kembali
Sebelum ajal
menjemputnya 33 tahun silam.
****
Ketika memasuki usia sekolah dasar,
aku mulai mengenal Ayah sebagai sosok yang luar biasa. Sebagai petani kecil,
Ayah sangat gigih berjuang demi memenuhi kebutuhan keluarga, dengan 8 orang
anak. Hanya dua bidang tanah sawah satu-satunya harapan mendapatkan
penghasilan. Simbok (Ibu) juga gigih. Selain mengasuh anak-anak di rumah, waktu
luang Ibu digunakan membantu Ayah menggarap sawah.
Ayah mengajakku ke sawah untuk
mengenalkan medan perjuangan para petani. Mulai dari membajak sawah yang ditarik
dua ekor kerbau, mengolah tanah dengan cangkul, dan semua tahapan yang harus
dilalui hingga lahan siap ditanami bibit padi. Juga tahapan lainnya seperti
kegiatan menyiang, mengatur pengairan, menjaga dari hama serta memetik panenan. Aku selalu dilibatkan.
Di rumah, aku juga diberi tanggung
jawab untuk memelihara dua ekor kerbau. Bagaimana harus membersihkan kandang,
mencari pakan ternak, menggembala dan memandikannya, aku lakoni.
Meski hidup dengan ekonomi yang
pas-pasan, dan tak pernah mengenyam pendidikan formal, Ayah-Ibu merelakan satu
rumahnya digunakan untuk menjadi sekolahan. Anak-anak yang tidak tertampung di
Sekolah Dasar Negeri, rumah kami menjadi tempat menimba ilmu. Kala itu, nama
sekolahnya Madrasah Wajib Belajar (MWB), dan aku ikut sekolah di situ.
Ayah dan Ibu yang kukenal adalah
manusia yang mampu mengendalikan rasa egonya. Bersedia menyingkirkan
kepentingan pribadi dan keluarganya demi orang lain. Padahal kerja kerasnya
sebagai petani kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga tak pernah menjadikannya
hidup berkecukupan.
Ayah tidak bisa menulis, tapi dapat
membaca tulisan latin. Sedangkan Ibu buta huruf. Namun oleh warga, Ayah
dipercaya menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT), jabatan sosial yang disandangnya
hingga 37 tahun. Aku tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan warga memilih
Ayah menjadi pemimpin itu. Mungkin kesabaran, kebijaksanaan dan
kesederhanaannya. Atau yang lain, aku tak tahu.
Dalam kedudukannya sebagai ketua RT,
Ayah sering memberikan tugas kepada anak-anak (lelaki). Misalnya menyampaikan
informasi kepada warga tentang rencana kegiatan kerja bakti. Caranya bukan
dengan mengedarkan undangan tertulis, tetapi aku harus keliling dari rumah ke
rumah menyampaikan pesan Ayah secara lisan.
Melalui kegiatan tersebut, Ayah
sepertinya mengajari praktek berkomunikasi, yang kelak amat berguna dalam
perjalanan hidupku. Ketika berkeliling dari rumah ke rumah, aku juga bisa
mengenal kondisi dan karakter semua warga.
Dengan segala kesederhanaannya, Ayah
telah mengajari anak-anak tentang arti kehidupan, hidup yang bermakna. Tentang
nilai-nilai moral dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Dan banyak pelajaran
lainnya.
****
ayah
1983
usia 63 tahun
dipanggil oleh sang pemilik jagad raya
saat aku berada di rumah saudara di luar jawa
walau tak terucap aku sangat kehilangan
meskipun aku tak dapat menungguimu saat terakhir
namun aku tak kecewa mendengar engkau berangkat
dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup bawa bekal
dan aku bangga jadi anakmu
ayah
aku berjanji selalu kirimkan doa untukmu
doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang…
--------
Suparto
#OneDayOnePost
Ayah, I miss u ...
ReplyDeletesosok yang selalu kurindu
DeleteJadi teringat almarhum bapak saya. Merasa belum bisa membahagiakan hiks
ReplyDeleteSaya juga sering terngiang tentang beliau..
Delete