Usianya kini sekitar 80
tahun. Bagi sebagian besar orang, usia sekian biasanya lebih banyak berdiam di
rumah. Disamping karena fisik dan pikiran yang mulai lemah, juga karena keadaan
keluarga menghendakinya.
Tapi bagi seorang janda
bernama Tanem ini, di usianya yang sudah senja, ia masih bisa menjalani hidup
dengan penuh gairah. Mbah Tanem, panggilan nenek ini, masih memiliki mobilitas
cukup tinggi.
Pukul 01.00 dini hari, dari
rumahnya di Dukuh Canden, Desa Gabugan, Kecamatan Tanon, Mbah Tanem sudah siap
di pinggir jalan. Dengan membawa dagangan sekitar 40 bungkus Lepet yang dimasukkan dalam tenggok/bakul, Mbah Tanem menumpang
kendaraan umum angkudes menuju kota Sragen berjarak 15-an kilometer.
Pukul 02.00 Mbah Tanem
sudah keliling menawarkan dagangan Lepet di Pasar Kota Sragen yang mulai rame
pengunjung.
Sekitar pukul 10 pagi, Lepet Mbah Tanem seharga Rp. 4000,- perbungkus ini sudah habis laku terjual. Ia kemudian pulang ke rumah dengan menumpang angkudes langggannya.
Sekitar pukul 10 pagi, Lepet Mbah Tanem seharga Rp. 4000,- perbungkus ini sudah habis laku terjual. Ia kemudian pulang ke rumah dengan menumpang angkudes langggannya.
Mobilitas ini dilakukan
untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjual makanan Lepet buatan sendiri.
Hebatnya, dia sudah 60-an tahun menjalani pekerjaan ini. Awalnya, hanya berjualan di pasar desa yang tak jauh dari rumahnya. Namun di kemudian hari, ia berjualan sampai di Pasar Kota Sragen.
Hebatnya, dia sudah 60-an tahun menjalani pekerjaan ini. Awalnya, hanya berjualan di pasar desa yang tak jauh dari rumahnya. Namun di kemudian hari, ia berjualan sampai di Pasar Kota Sragen.
“Kula wiwit prawan sampun dodolan lepet niki. Sakniki kula sampun rondo, anak kula telu, putu enem, buyut papat .
Kula dodolan Lepet sampun sewidak-an tahun – saya sejak gadis sudah jualan lepet ini. Sekarang
saya sudah janda, punya anak tiga, cucu enam, cicit empat. Saya jualan Lepet
sudah 60-an tahun)” Cerita Mbah Tanem, mengambarkan perjalanan hidupnya, saat
jualan di area Car Free Day (CFD) di
belakang Kantor Bupati Sragen, Ahad pagi (16/7/2017).
“Rumiyin kula saben dina dodolan teng Pasar Kuta Sragen. Sakniki mpun
tuwa, dipesen anak kula, yen teng Sragen telung dina pisan - Dulu tiap hari
jualan ke Pasar Kota Sragen. Sekarang sudah tua, dipesan anak saya, kalau ke
Sragen tiga hari sekali saja,” katanya.
Di usia sekitar 80 tahun,
Mbah Tanem masih terlihat sehat. Bicaranya jelas, pendengaran normal dan penglihatan masih awas. Meski kulitnya
sudah mulai keriput, namun sebagian besar giginya masih berfungsi. Ia kuat
berjalan kaki ratusan meter sambil menggendong dagangan seberat puluhan kilogram.
Apa yang dilakukan Mbah
Tanem sebenarnya tak sekedar mencari tambahan penghasilan untuk menopang hidup. Tapi yang lebih penting juga untuk menjaga raga dan pikirannya agar tetap sehat.
“Yen obah ngeten niki, badan lan pikiran kula rasane dadi sehat - dengan
bergerak seperti ini, badan dan pikiran saya rasanya menjadi sehat.” Mbah Tanem memberi alasan.
Bikinan
Sendiri
Lepet
yang dijual Mbah Tanem adalah bikinan sendiri dan punya rasa khas, asli. Tiap
hari ia menghabiskan sekitar tujuh kilogram beras ketan untuk ditanak hingga menghasilkan
sekitar 40 lonjor/bungkus.
“Kula
damel piyambak. Saben dina telas pitung beruk beras ketan, dadi 40 lonjor.
Lepet damelan kula rasane beda – saya bikin sendiri. Tiap
hari habis tujuh kilo beras ketan, menjadi 40 batang. Lepet bikinan saya rasane
khas." Mbah Tanem menjelaskan.
Ia melanjutkan, “sing kangge bungkus Lepet, wiwit rumiyen mboten nate owah. Godhong Gedhang
dilapisi godhong Pring, ditaleni ngangge godhong Mendhong. Beras ketan mboten kula
campuri nopo-nopo. Dadi rasane tetep asli lan awet – Untuk
membungkus Lepet, sejak dulu tidak pernah berubah. Yakni dengan daun Pisang dan
dilapisi daun Bambu, diikat dengan daun Mendhong. Beras ketan tidak saya campuri
apa-apa. Jadi rasanya tetap asli dan awet.”
Mbah Tanem kadang juga
menerima pesanan beberapa orang dalam jumlah cukup banyak untuk oleh-oleh
keluar kota.
Itulah Mbah Tanem. Lebih
dari setengah abad usianya, dihabiskan untuk berjualan Lepet. Ia tak menyesali nasib hidupnya. Ia merasa bahwa inilah garis
hidup yang harus dijalani tanpa harus mengeluh. Ia pun menikmati pekerjaan ini.
Ini pula yang membuatnya tetap bertahan.
“Anak-anak
kula mpun mentas sedaya. Sakjane kula dikon anak neng omah wae, ora usah
dodolan. Naming kulo tetep pengin dodolan. Ben awak lan pikiran iso waras, dawa uripe
– anak-anak saya sudah berkeluarga
semua. Sebenarnya saya diminta anak untuk di rumah saja, ngga usah jualan. Tapi
saya tetap ingin jualan. Biar awak dan pikiran bisa waras, panjang umurnya.” Ujar
Mbah Tanem mengakhiri cerita kepada saya, sambil melayani pembeli.
Pagi itu, jarum jam menunjukkan
angka 07.45. Ketika ratusan orang masih lalu lalang usai mengikuti senam massal
di area CFD, dagangan Lepet Mbah Tanem yang tinggal dua lonjor saya beli sekalian.
Suparto
#Artikel
#TantanganNonFiksi
Mungkin itu salah satu resep orang dulu untuk sehat ya pak, selalu bergerak.
ReplyDeleteSangat menginspirasi, thanks for sharing
Iya. Makanya kita perlu terus menulis agar bisa mengaktifkan otak...
Deletemenginspirasi. Keren, Pak
ReplyDeleteMbah Tanem emang luar biasa...
DeleteWhaaa....terima kasih bapak, jadi pengen nyicip lepet bungkus daun bambu nih. Saya sering dengar daun mendong tapi belum tau bentuknya seperti apa?
ReplyDeleteKapan2 kalo ke Sragen moga bisa cicipi Lepet.
DeleteDaun/batang Mendhong biasanya digunakan untuk bahan membuat tikar.
Inspiratip sekaki Mbah Tanem. Mugi tansah sehat.
ReplyDeleteMatur suwun sharingnya, Pak Parto.
Aamiin. Iya mas Heru. Saya trenyuh waktu ngobrol dengan mbah Tanem.
Delete