Hari ini, Selasa Pahing
(11/7/2017) rumah kami di Sragen giliran menjadi tempat berlangsungnya temu keluarga
“Trah Eyang Pawiro Sarono” sekaligus acara Halal bi Halal. Meski hanya kumpul-kumpul, suasana temu
keluarga yang dikemas dalam acara “Arisan Paguyuban Keluarga Eyang Pawiro
Sarono” ini lumayan gayeng, nyamleng
dan regeng, tentu saja khas gaya wong ndeso.
Tak terasa, pertemuan yang
diadakan tiap 35 hari (selapanan) ini sudah berlangsung 16 tahun. Biasanya pertemuan
diselenggarakan pada Ahad Pahing, tapi karena sesuatu hal, temu keluarga hari
ini diajukan hari Selasa. Tempat pertemuan berpindah-pindah, keliling di
pelosok desa, bergiliran di rumah-rumah anggota.
Kegiatan yang amat
sederhana ini menjadi sarana silaturahmi “temu kerluarga besar” wong ndeso yang
tersebar di berbagai tempat. Temu keluarga, apalagi bisa berkumpul dalam jumlah
banyak, adalah pekerjaan berat jika tidak diusahakan dengan sungguh-sungguh dan
didasari niat yang ikhlas.
Puluhan keluarga (suami
isteri dan anak-anak) bisa kumpul bareng secara rutin, menurut saya, sungguh
luar biasa. Kami bisa berbagi rasa dan cerita serta tukar informasi. Celotehan,
guyon, ndobosan, dan omongan bebas khas orang desa yang bermunculan bebas
saat bertemu, menjadi sesuatu yang sangat indah untuk dinikmati.
Dalam catatan saya, ide
pembentukan Paguyuban ini sangat sederhana. Awalnya, ada saudara yang berinisiatif untuk
mempertemukan “putra wayah” (anak turun) Eyang Pawiro Sarono, agar kelak tidak
mengalami putus hubungan keluarga.
“Pak Dhe. Gimana kalau kita
bentuk Paguyuban atau apalah namanya, sebagai sarana untuk mempertemukan
keluarga yang tersebar. Terus diadakan arisan tiap bulan atau selapanan,
yang penting bisa kumpul secara rutin, ajeg,”
kata salah satu saudara.
“Wah ide bagus, saya setuju
banget itu,” sambut saya antusias.
Setelah musyawarah singkat,
gagasan itu langsung diwujudkan. Dalam pikiran kami, dengan cara ini, anak
turun kita tidak akan mengalami “pepeteng” (kegelapan) dalam menemukan
keluarganya. Selama ini, jujur saja kita seperti tidak saling kenal dengan
keluarga sendiri. Dengan latar belakang itu, dibentuklah wadah pertemuan/arisan
keluarga “Paguyuban Keluarga Eyang Pawiro Sarono.”
Siapakah Eyang/Mbah Pawiro
Sarono itu? Menurut kisah yang saya dengar, Eyang/Mbah Pawiro Sarono adalah
kakek kami yang dulu tinggal di Dukuh Bandungan, Desa Wonotolo, Kecamatan
Gondang, Kabupaten Sragen. Ceritanya, lebih setengah abad lalu, mbah Kakung
(kakek) itu pernah menjadi Lurah (Kepala Desa) Wonotolo pertama yang dipilih
secara demokratis.
Mbah Pawiro Sarono
mempunyai enam anak, yakni Almarhum Pak Dhe Djoyo Sudarso (dukuh Geneng, Desa
Bumiaji, Kec. Gondang, Sragen), almarhum Bapak Darso Sumarto (ayah saya, dukuh
Tunggul, Desa Tunggul, Kec. Gondang, Sragen), almarhum Pak Lik/paman Sastro
Pawiro (dukuh Plumutan, Desa Tunggul), almarhum Pak Lik Karso Sentono (dukuh
Bandungan, Desa Wonotolo), Pak Lik Suyadi Setyo Broto (kini tinggal di Bogor
Jawa Barat), dan Pak Lik Suyatno (sekarang di dukuh Geneng, Bumiaji).
Dari enam bersaudara itu,
kemudian menurunkan puluhan anak, ratusan cucu dan cicit atau buyut yang kini
tersebar di berbagai kota, pelosok Indonesia. Mereka ada yang di Sragen,
Karanganyar, Semarang, Jakarta, Bogor, Surabaya, Bali dan lain-lain.
Kami yang bisa bertemu tiap
selapan hari itu hanyalah bagian
kecil dari anak turun Eyang Pawiro Sarono, yang tinggal di Sragen.
Semoga kegiatann seperti
ini bisa terus lestari dan makin menguatkan ikatan kekeluargaan anak turun
Eyang Pawiro Sarono dimanapun berada, dalam naungan dan berkah Allah SWT.
Suparto
#TrahEyangPawiroSaronoSragen
Comments
Post a Comment