Mata
Jakino menatap tajam sebuah foto Presiden dalam pigura di dinding ruang tamu
rumahnya. Dengan penuh kemarahan, Jakino menurunkan pigura itu. Dia
menuding-nuding foto itu sambil mengomel sendiri.
“Hei
Pak, jadi Presiden itu jangan pilih kasih ya. Ini apa gara-gara Samin, temanku
yang Sontoloyo itu?. Dasar Samin ya
Samin!” teriak Jakino.
“Apa
to Pak, kok nyinggung-nyinggung Presiden. Ini situasi lagi gawat, jangan bikin
masalah,” sahut Marni, istri Jakino, yang berada di emperan.
”Kalu
ngga pilih kasih, harusnya Presiden beli burung milik kita. Bukan burung milik
Samin itu!”
“Sudahlah,
yang sabar dan ikhlas. Rejeki itu yang ngatur Gusti Allah. Siapa tahu lain
waktu kita dapat rejeki yang lebih baik,”
hibur Marni.
“Bukan
itu masalahnya Bu. Ini sudah menyangkut harga diri.”
“Harga
diri itu makanan apa? Kalau cerita itu yang jelas to…”
“Sekarang
aku malu memajang foto itu,” kata Jakino sambil ngeloyor masuk rumah. Sang
istri mengikutinya dengan sabar.
Istrinya
makin bingung. Tidak tahu apa yang menjadi penyebab suaminya mengalami keadaan
seperti ini.
***
Suasana
pagi di rumah Jakino cukup ramai. Bukan ramai karena ada kerumunan orang
seperti di pasar, atau ada orang demo protes kenaikan tarif listrik, tetapi puluhan ekor burung milik
Jakino itu sudah mulai berkicau. Bersaut-satuan, terdengar merdu sekali. Namun
anehnya, kemerduan suara burung itu tak lagi dinikmati Jakino.
Kini
hati Jakino sedang dilanda kesedihan. Pikirannya melayang entah ke mana.
Secangkir kopi panas kesukaan Jakino yang disediakan istrinya satu jam lalu
juga belum diminum. Padahal selama ini, Jakino selalu menikmati kopi yang menjadi
minuman wajibnya sehari-hari. Tanpa ditemani kopi, pekerjaan apapun rasanya
sulit untuk diselesaikan dengan baik.
Jakino
duduk di kursi butut di rumahnya. Kepulan asap rokok tak henti-hentinya keluar
dari mulut dan hidungnya. Dalam satu jam, empat batang rokok ludes dihisap di
tengah kicauan aneka jenis burung miliknya.
Dalam
beberapa hari ini, kondisi jiwa Jakino memang agak terganggu. Ia sering bicara
sendiri. Yang bikin keluarganya merasa takut dan sedih, omongan Jakino kerap
menyinggung Presiden. Nama pemimpin nasional itu dibawa-bawa. Bahkan dalam
tidur pun ia sering mengigau, nglindur,
menyebut nama Presiden. Nama Samin, teman akrabnya bahkan juga disebut-sebut
dengan nada ancaman .
***
Sambil
duduk bersila di ruang tamu yang juga digunakan untuk menyimpan sangkar
burung, Jakino mulai bercerita panjang
lebar. Ia minta kepada istrinya untuk membuatkan minuman kopi lagi karena yang
disediakan tadi pagi sudah dingin, tidak nyosss
lagi.
“Begini
Bu ceritanya…”
“Ya.
Cerita yang jelas. Ngga usah sambil marah-marah. Ini kopinya sama pisang goreng
kesukaan bapak,“ ujar Marni, mesra.
“Ibu
sudah dengar kan. Di TV dan Koran juga diberitakan. Itu lho, Presiden kita,
tiba-tiba memborong berpuluh-puluh ekor burung di pasar yang biasa kita jualan
itu,” cerita Jakino semangat.
“Ohya,
ya, ibu dengar itu. Bapak juga pernah cerita dikit. Tapi karena cerita sambil
marah-marah, ibu jadi ngga tahu maksudnya.”
“Itu
masalahnya. Jenis burung kita lengkap. Ada Murai Batu, Cucak Keling, Jalak
Kebo, Jalak Nias dan lain-lain. Ocehannya juga tidak kalah dengan milik orang
lain. Tetapi waktu lewat di dekat tempat kita, Pak Presiden dan rombongannya
itu hanya melirik saja. Tidak mau mampir. Malah membeli burung milik Samin yang ngga bagus banget. Apa ini namanya Presiden kita ngga pilih kasih? Kita
kehilangan rejeki yang sudah di depan mata,” ujar Jakino sedih.
“Mungkin
bapak tidak siap di depan sambil menyapa beliau dengan ramah. Monggo, monggo, burung saya siip…gitu…”
“Sudah
bu. Tapi beliau dan rombongan itu hanya senyum-senyum saja.”
“Mungkin
pas lewat itu, burung kita ngocehnya ngga bagus…”
“Lho,
ibu iki piye to…Bapak secara
sembunyi-sembunyi malah sudah membunyikan, nyetel alat ini. Biar beliau tertarik burung kita …”
kata Jakino sembari menunjukkan alat
tersebut kepada istrinya.
“Apa
itu Pak… ?“ tanya Marni penasaran.
“Ini
namanya Plesdis, untuk menyimpan
suara, dan ini alatnya untuk nyetel , langsung bunyi macam-macam burung
terdengar…”
“O…
itu alat yang biasa disetel di rumah itu ya..?”
“Ya.
Untuk melatih burung agar bisa bersuara dengan bagus, pakai alat plesdis yang
bisa menyimpan banyak sekali rekaman suara burung…”
***
Ditengah
perbincangan hangat Jakino dan istrinya, mendadak ada tamu datang.
“Monggo,
Lik Condro. Silahkan masuk. Duduk
lesehan sini saja ya. Maklum kursinya kotor semua. Wah, tumben ke sini. Ada
perlu apa Lik…” sambut Jakino kepada
teman lamanya itu.
“Iya
ada kepentingan apa Lik....” timpal
Marni.
“Begini
Kang. Tadi saya sudah datang ke sini beberapa menit yang lalu. Tapi karena Kang
Jakino dan Mbakyu lagi ngobrol gayeng,
saya duduk dulu di luar. Kedatangan saya ke sini hanya silaturahim. Sudah lama
kita ngga ketemu. Jadi sekedar main biasa,” kata Condro.
“O..
saya kira ada bab penting.”
“Tapi
Kang, maaf tadi saya dengar dengan jelas pembicaraan Kang Jakino dan Mbakyu
tentang Flashdisk Burung itu.”
“Iya
kenapa..?” sahut Jakino agak terperangah.
“Kalau
cerita Kang Jakino benar. Saya jadi curiga,” kata Condro serius.
“Curiga
gimana. Lik Condro jangan macem-macem lho. Kita sudah berteman lama!” sergah
Jakino agak emosi.
“Kang
Jakino jangan marah dulu. Begini, kenapa Pak Presiden tidak tertarik membeli
burung Kang Jakino, ya gara-gara
flashdisk itu.”
“Lho
kok bisa?”
“Pak
Presiden itu, memang penampilannya seperti orang ndeso. Seperti tidak mengerti
apa-apa. Tapi waktu lewat di dekat burung-burung Kang Jakino, beliau tahu kalau yang terdengar itu suara
burung yang berasal dari flashdisk itu.”
“Apa
iya Lik…” sahut Jakino sambil mengernyitkan dahi.
“Iya
Kang…”
“Waduh.
Kayaknya omonganmu bener Lik. Sial tenan awakku…”
“Ngga
usah merasa sial Kang. Ini jadi pelajaran kita bersama. Pokoknya jangan suka
ngapusi orang. Apalagi mengelabui dan ngakalin Pak Presiden. Kita bisa rugi
sendiri…”
***
Hati
Jakino masih ndongkol. Ia ingin membakar plesdis-nya yang dianggap membawa
sial. Ia juga ingin membakar foto presiden itu, biar ngga ingat peristiwa yang
bikin kecewa hidupnya. Tapi isterinya mencegah.
“Jangan
dibakar Pak. Yang salah bukan alat itu. Kalau hanya untuk melatih burung saja
kan tidak apa-apa. Yang penting, besuk-besuk lagi kita harus lebih hati-hati.
Apalagi mau bakar foto Presiden segala, jangan. Soal burung, soal plesdis, kok yang disalah-salahin
presiden. Nanti urusannya jadi panjang. Bikin hidup kita makin susah ….” Marni
mengingatkan.
Suparto
#OneDayOnePost
#OneDayOnePost
#TantanganKelasFiksi-1
Sumber foto : www.google.co.id
Comments
Post a Comment