Ketika memasuki usia
sekolah dasar, aku mulai mengenal orang tua sebagai sosok yang luar biasa. Sebagai
petani kecil, Ayah sangat gigih berjuang demi memenuhi kebutuhan keluarga,
dengan 8 orang anak. Hanya dua bidang tanah sawah satu-satunya harapan
mendapatkan penghasilan. Simbok (Ibu) juga begitu. Selain mengasuh anak-anak di
rumah, waktu luang Ibu digunakan membantu Ayah menggarap sawah.
Ayah mengajakku ke sawah
untuk mengenalkan medan perjuangan para petani. Mulai dari membajak sawah yang
ditarik dua ekor kerbau, mengolah tanah dengan cangkul, dan semua tahapan yang
harus dilalui hingga lahan siap ditanami bibit padi. Juga kegiatan menyiang,
mengatur pengairan, menjaga dari hama
serta memetik panenan. Kami, anak-anak selalu dilibatkan.
Di rumah, kami (terutama anak lelaki) secara
bergantian diberi tanggung jawab untuk memelihara dua ekor kerbau. Bagaimana
harus membersihkan kandang, mencari pakan ternak, menggembala dan
memandikannya, semua kami lakoni.
Meski hidup dengan ekonomi
yang pas-pasan, dan tak pernah mengenyam pendidikan formal, Ayah-Ibu selama
beberapa tahun merelakan satu rumahnya digunakan untuk menjadi sekolahan.
Anak-anak yang tidak tertampung di Sekolah Dasar Negeri, rumah kami menjadi
tempat menimba ilmu. Kala itu, nama sekolahnya Madrasah Wajib Belajar (MWB), dan
aku ikut sekolah di situ.
Ayah tidak bisa menulis,
tapi dapat membaca tulisan latin. Sedangkan Ibu sama sekali buta huruf. Namun
oleh warga, Ayah dipercaya menjadi Ketua Rukun Tetangga (RT), jabatan sosial
yang disandangnya hingga 37 tahun. Aku tidak tahu apa yang menjadi pertimbangan
warga memilih Ayah menjadi pemimpin masyarakat. Mungkin kesabaran,
kebijaksanaan dan kesederhanaannya. Atau yang lain, aku tak tahu.
Dalam kedudukannya sebagai
ketua RT, Ayah sering memberikan tugas kepada anak-anak (lelaki). Misalnya untuk menyampaikan informasi kepada warga tentang rencana kegiatan kerja bakti.
Caranya bukan dengan mengedarkan undangan tertulis, tetapi kami harus keliling
dari rumah ke rumah warga menyampaikan pesan Ayah secara lisan.
Dari kegiatan tersebut,
Ayah sepertinya meng-ajari praktik berkomunikasi, yang kelak amat berguna dalam
perjalanan hidup kami. Ketika berkeliling dari rumah ke rumah, misalnya, kami bisa mengenal kondisi dan karakter
semua warga.
Ada hal menonjol aku
rasakan, tentang sosok Bapak dan Simbok. Beliau adalah manusia yang mampu menekan rasa egonya. Tidak terlalu mementingan pribadi dan keluarganya demi membantu orang lain.
Padahal kerja kerasnya sebagai petani kecil untuk memenuhi kebutuhan keluarga
tak pernah menjadikannya hidup berkecukupan. Rumah beserta perabotan yang ada
amat sederhana.
Namun Alhamdulillah, Allah
Yang Mahapemurah mengaruniakan sebagian berkah kepada keluarga kami. Dari
delapan saudara, tiga perempuan dan enam lelaki, kelak semuanya bisa mandiri
menjalani hidup menurut bidangnya masing-masing.
Dengan segala
kesederhanaannya, Ayah dan Ibu telah meng-ajari anak-anak tentang arti
kehidupan, hidup yang bermakna. Tentang nilai-nilai moral dalam tatanan sosial
kemasyarakatan. Dan banyak pelajaran lainnya. Padahal mereka tidak pernah
mengenyam pendidikan formal.
****
Tahun 1983, diusia 63, Ayah
dipanggil oleh Sang Pemilik Jaga Raya. Sedangkan Ibu, berpulang ke Rahmatullah
tahun 2013 di usia sekitar 90 tahun.
Ya
Allah, semoga Engkau ampuni segala dosa orangtua kami, menerima semua amal
kebaikannya, dan mengasihi mereka sebagaimana dulu mereka mengasihi kami. Aamiin
ya Rabbal ‘Aalamiin.
Suparto
#OneDayOnePost
Aamiin Ya Robbal Alaamiin.
ReplyDeletematur nuwun Mas Heru..
DeleteAllhummaghfirlahum warhamhum wa'afihim wa'fu 'anhum...
ReplyDeleteAyah dan ibu hebat. Pantas bisa menghebatkan anak-anaknya ^_^
Aamiin ya Rabbal 'aalamiin. Matur nuwun Mbak Kifa..
Delete