Hendra Setiawan (2009) dalam bukunya
berjudul Agar Selalu Ditolong Allah menyatakan, pada umumnya manusia
membagi peristiwa yang menimpanya menjadi dua kelompok, yaitu peristiwa baik
dan peristiwa buruk.
Baik dan buruk merupakan persoalan
yang terus menjadi bahan perdebatan. Ada yang menggunakan kaidah manusia dan
ada yang menggunakan kaidah Islam. Bagi orang yang tujuannya hanya dunia
semata, mereka tidak hanya akan mengalami kesulitan dalam menjalani hidup, tapi
juga menyulitkan orang lain. Hanya orang tak beriman yang menjadikan dunia
sebagai tujuan hidupnya. Karena ia tidak menyakini bahwa ada akhirat, tidak
mempercayai akan adanya kehidupan setelah kematian di dunia. Mereka tidak
percaya akan adanya hari perhitungan sehingga mereka kesulitan dalam membedakan
mana kebaikan dan mana keburukan.
Hal penting yang harus selalu dingat
adalah hanya Allahlah yang mengetahui apa yang terbaik dan terburuk untuk
manusia. Manusia hanya bisa melihat tampilan luar suatu peristiwa dan hanya
mampu bersandar pada penglihatan yang terbatas dalam menilainya. Boleh jadi
kita tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik untuk kita. Sebaliknya
bisa saja kita mencintai sesuatu, padahal itu merupakan sebuah keburukan.
Untuk dapat melihat kebaikan itu,
seorang mukmin harus menyerahkan rasa percayanya kepada kebijaksanaan Allah
yang tak terbatas dan percaya bahwa ada kebaikan dalam segala hal yang terjadi.
Satu hal yang dibenci kadang mendatangkan kesenangan, satu hal yang disukai kadang
mendatangkan kesusahan.
Janganlah merasa aman dengan
kesenangan, karena bisa saja ia menimbulkan kemudaratan. Janganlah merasa putus
asa karena kesulitan, karena bisa jadi akan mendatangkan kesenangan.
Allah berfirman (yang artinya): “Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahul”. (QS.Al-Baqarah [2]:216)
Di sinilah, Allah mengatakan kepada
kita bahwa suatu peristiwa yang dianggap baik oleh manusia, pada suatu saat
terbukti merugikan manusia itu sendiri. Begitu juga sesuatu yang ingin
benar-benar dihindarkan karena diyakini merugikan malah bisa menyebabkan
kebahagiaan dan kedamaian. Semua hal, apakah badan yang sehat atau sakit,
apakah sukses atau gagal terwujud karena kehendak Allah. Kita hanya menjalani
apa yang Allah inginkan untuk kita.
Allah mengingatkan kita tentang hal
ini, dalam firman-NYa (yang artinya): Jika Allah menimpakan sesuatu
kemudharatan kepadamu,maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.
Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak
karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di
antara bamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS.10:107).
Dalam pandangan Allah, tak ada
satupun gerakan dalam hidup kita yang tidak dilihat. Bahkan sekecil apapun
langkah yang akan kita tempuh telah Allah ketahui hasilnya. Allah Maha
Mengetahui segala yang ada dalam pikiran kita. Allah Maha Mengetahui apa yang
baik dan apa yang buruk bagi kita dan Allah sudah tahu masa depan kita.
Untuk mengetahui apakah suatu hal itu
baik atau tidak, maka kita harus
menggunakan kaidah Islam untuk menilainya. Kita tidak bisa menggunakan tolak ukur pribadi atau orang lain dalam menentukan ini baik, ini buruk. Walaupun mayoritas manusia menyatakan ini baik, tetapi kalau dalam kacamata Islam hal itu buruk, maka kita harus meninggalkannya.
menggunakan kaidah Islam untuk menilainya. Kita tidak bisa menggunakan tolak ukur pribadi atau orang lain dalam menentukan ini baik, ini buruk. Walaupun mayoritas manusia menyatakan ini baik, tetapi kalau dalam kacamata Islam hal itu buruk, maka kita harus meninggalkannya.
Dengan meyakini hal ini, kita akan memiliki
pandangan yang lebih baik. Kita akan merasa bersyukur atas segala yang terjadi
pada diri sendiri. Akibatnya, kita akan berupaya untuk melihat kebaikan dalam
segala sesuatu yang kita alarni. Akhirnya kita menjadi sadar bahwa suatu
peristiwa yang kita anggap buruk saat ini belum tentu buruk di masa
depan. Sebaliknya, suatu peristiwa yang kita anggap baik dan orang lainpun
menganggap baik, belum tentu baik untuk masa depan kita.
Ada sebuah kisah menarik mengenai hal
itu. Pada zaman dahulu, di sebuah desa tinggal seorang ulama yang bijaksana.
Ularna ini karena kebijaksanaanya adalah orang yang selalu dijadikan
tempat bertanya dan meminta nasehat orang-orang desa itu. Salah satu penduduk
desa itu adalah seorang pedagang kecil yang setiap hari dengan menggunakan
kereta kudanya berkeliling antar desa untuk berjualan. Pada suatu hari kuda
satu-satunya itu mati mendadak. Dia kebingungan karena tidak siap untuk mencari
kuda pengganti. Apalagi untuk membeli kuda baru ia belum punya uang.
Kebingungannya bertambah parah karena barang dagangan berupa sayur mayur
menjadi layu dan busuk.
Dengan sedih dia menemui ulama itu. "Kyai, tolonglah saya. Saya sedang mendapat rnusibah. Kuda satu-satunya, yang
merupakan tulang punggung saya untuk mencari nafkah mati. Darimana lagi saya
bisa mencari uang untuk anak, istri. ini
adalah musibah yang paling buruk yang menimpa saya."
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin juga tidak. Dia bingung dengan jawaban ulama tersebut, dan menganggap orang tua itu sedang kacau pikirannya.
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin juga tidak. Dia bingung dengan jawaban ulama tersebut, dan menganggap orang tua itu sedang kacau pikirannya.
Namun keesokan harinya, tiba-tiba di
halaman rumahnya, muncul seekor kuda yang masih muda. Dalam hatinya timbul
pertanyaan. ini kuda siapa? Di desa ini yang punya kuda hanya beberapa orang.
Ia pun menangkap kuda itu. Maka bahagialah pedagang ini. Kuda yang dia tangkap
lebih muda, kekar dan sehat dibandingkan kudanya yang mati.
Ia datang kembali ke ulama. "Kyai,
maafkan saya. Ternyata ucapan kyai benar juga. Sekarang saya mempunyai kuda
yang lebih baik dibandingkan kuda saya yang dulu. Bukankah ini adalah hal yang
terbaik yang saya dapatkan."
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin tidak. Pedagang itu kecewa dengan ucapannya. Dia pun pulang sambil geleng-geleng. Ulama itu pasti sedang stres, batinnya.
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin tidak. Pedagang itu kecewa dengan ucapannya. Dia pun pulang sambil geleng-geleng. Ulama itu pasti sedang stres, batinnya.
Beberapa hari kemudian, anaknya yang
masih muda mencoba menaiki kuda baru itu. Dia jatuh dan kakinya diinjak oleh
kuda. Akibatnya kaki anaknya patah. Betapa kecewa dan sedihnya pedagang itu
karena anak lelakinya yang diharapkan menjadi penerus usahanya, kakinya lumpuh.
Dia pun kembali mendatangi sang ulama
dan berkata, "Kyai saya benar-benar mendapat musibah, ának saya kini tak bisa
membantu usaha saya. Sekarang kakinya lumpuh tak bisa bergerak. Kini kyai pasti
setuju musibah ini adalah hal terburuk yang saya alami."
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin juga tidak. Mendengar ucapan kyai, pedagang menjadi sangat marah.
Ulama itu berkata, mungkin ya, mungkin juga tidak. Mendengar ucapan kyai, pedagang menjadi sangat marah.
Dia kemudian kembali pulang sambil
menggerutu. Sebulan kemudian, kerajaan dimana desa itu berada, berperang dengan
kerajaan lain. Dikarenakan kekurangan tentara, kerajaan mewajibkan setiap
pemuda yang berbadan sehat untuk menjadi tentara. Karena lumpuh anak pedagang
itu dibebaskan dari kewajiban.
Kini sang pedagang bersyukur, dan mengerti maksud dan ucapan ulama bijaksana itu.
Kini sang pedagang bersyukur, dan mengerti maksud dan ucapan ulama bijaksana itu.
Suparto
#OneDayOnePost
Comments
Post a Comment