Ikhlas
itu mudah diucapkan, tetapi susah dilaksanakan. Kita dinasihati agar jadi orang
yang ikhlas, namun kenyataannya belum bisa menerapkan secara benar, baik dan
pas.
Ada seorang
teman bilang kepada saudaranya, “Nih, aku
kasih bantuan buat kamu, ngga seberapa ya, yang penting aku udah ikhlas kok.” Tapi saudara yang diberi bantuan itu
menanggapi, bahwa pemberian itu ngga ikhlas. “Iya, makasih. Tapi ikhlas itu ngga
usah diucap-ucapin gitu loh…” katanya. Nah,
susah kan?
Di dalam
Al-Qur’an banyak kita temukan ayat tentang pentingnya sikap ikhlas. Berbagai kajian
mengenai soal ikhlas juga kita ikuti, tetapi kita masih sering menunjukkan lisan
dan perilaku kurang ikhlas. Kalau tema tulisan saya hari ini tentang ikhlas, terutama
untuk mengingatkan diri agar terus belajar menjadi orang yang ikhlas dalam
menjalani hidup.
Ikhlas
menurut pengertian Syari’ah, seperti diterangkan Sayid Sabiq (M.Yunan Nasution,
1981), adalah “mengerjakan ibadah atau kebaikan hanya karena Allah semata-mata
dan mengharapkan Ridla-Nya, bukan karena iming-iming harta, pujian, gelar,
kepopuleran, kehebatan , dan sebutan dunia lainnya”.
Dalam
Al-Qur’an, Allah mengibaratkan ikhlas seperti susu yang bersih-murni, bisa
menyehatkan dan menyegarkan tubuh manusia bila diminum. Dalam Surat An-Nahl
(16):66 disebutkan :
”Dan
Sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu.
Kami memberimu minum dari apa yang ada
dalam perutnya (berupa) susu murni (khalis) antara kotoran dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang
meminumnya”.
Pada
ayat tersebut Allah memberikan contoh tentang ikhlas itu seperti susu-murni
binatang ternak. Ketika masih berada dalam perut binatang, susu itu terdiri
dari dua zat kotor dan menjijikkan, yakni kotoran dan darah. Setelah melalui
proses, jadilah susu yang bersih murni, tidak bercampur dengan kotoran dan
zat-zat lainnya. Begitulah Allah mengibaratkan bahwa sesuatu amal yang ikhlas
tak bedanya seperti susu-murni, bersih dari kotoran.
Abdullah
Gymnastiar (2001) menjelaskan, orang ikhlas itu selalu memusatkan pikirannya
agar setiap amalnya diterima oleh Allah.
Buah
yang akan dipetik dan dinikmati oleh orang ikhlas adalah merasakan ketentraman
jiwa, ketenangan batin serta selalu ringan dan senang setiap melakukan
kebaikan. Mengapa? Karena tidak diperbudak oleh penantian untuk mendapatkan
pujian, penghargaan, atau diberi imbalan.
Penantian
adalah pekerjaan yang tidak menyenangkan, menyebalkan. Menunggu diberi pujian
itu menjadi sesuatu yang tidak nyaman. Lebih getir lagi jika apa yang telah dilakukan
itu ternyata tidak dipuji orang. Akhirnya kekecewaan yang akan diterima dan
dirasakan.
Orang
yang tidak ikhlas dalam melakukan apapun, biasanya mudah tersinggung dan
kecewa, karena terlalu banyak berharap kepada orang lain. Sering pusing
terhadap hal-hal sepele yang dialami sehari-hari. Mengerjakan sesuatu selalu
dirasakan berat.
Namun
bagi seorang yang ikhlas, tidak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun,
kecuali Allah yang akan mengaturnya. Baginya, kenikmatan itu bukanlah dari
mendapatkan, melainkan dari apa yang bisa dipersembahkan.
“Karena
itu, kalau sudah berbuat suatu kebaikan, lupakan perbuatan itu. Titipkan saja
di sisi Allah, pasti aman. Tidak usah disebut-sebut, diingat-ingat, nanti malah
berkurang, atau malah hilang pahalanya,” pesan Aa Gym, sapaan Abdullah
Gymnastiar
Orang yang ikhlas sadar bahwa apa yang diniatkan
dengan baik, lalu terjadi atau tidak yang diniatkan itu, semuanya telah dilihat dan dinilai oleh Allah. Kita
tidak akan rugi sedikitpun apabila ikhlas dalam
melakukannya.
Manusia
hanya wajib menyempurnakan niat dan usahanya. Sedangkan perkara kejadian
terbaik itu adalah urusan Allah Mang Maha Tahu. Oleh sebab itu, kalau ikhlas,
tak akan mudah kecewa dengan kejadian (urusan duniawi) yang tidak menyenangkan
dan tidak sesuai dengan harapan dan keinginan.
Orang
ikhlas itu, sikap, tutur kata, raut muka
dan gerak-geriknya bukan ditujukan untuk mencari popularitas (ketenaran) dan
menonjolkan diri. Apalagi memamerkan amalnya (riya’), hartanya, kedudukannya,
atau aneka topeng duniawi lainnya yang diharapkan dapat mengangkat citra dan
pujian kepada dirinya di hadapan manusia.
Sehebat
apapun ketenaran disisi manusia, tidak akan berarti dihadapan Allah jika tidak
dilandasi keikhlasan. Ketenaran yang dikejar, kadang malah bisa menjadikan
dirinya sombong. Semua itu tiada berguna jika Allah menghinakannya.
Menurut
Aa Gym, bagi orang yang ikhlas, tidak peduli amal yang dilaksanakan itu kecil dan remeh
(sepele) dalam pandangan manusia atau tidak, ada yang menyaksikan atau tidak.
“Contoh, orang akan tergugah dan sungguh-sungguh berupaya menyingkirkan paku di jalan,
atau memberikan makan seekor kucing yang
menggelepar kelaparan, dan sebagainya. Jadi tidak terkecoh dengan penampilan
luar yang dianggap besar saja,” kata Aa Gym memberi gambaran.
Semoga
bermanfaat.
Suparto
#OneDayOnePost
Ikhlas... Bener sekali pak.. Mudah diucapkan sulit dilakukan
ReplyDeleteSaya sedang taraf mengikhlaskan...
ReplyDeleteBerat banget pak
Saya sedang taraf mengikhlaskan...
ReplyDeleteBerat banget pak
Saya juga baru belajar ...
Delete