Hari ini,
27 Mei 2018, Kabupaten Sragen berusia 272 tahun. Hari Jadi Sragen ke-272 mengangkat tema "Guyub Rukun, Kerjo Tekun, Nyawiji Bekti Kanggo Bumi Sukowati".
Berikut sekilas sejarah perjalanan panjang Kabupaten Sragen yang dikenal dengan julukan Bumi Sukowati.
Berikut sekilas sejarah perjalanan panjang Kabupaten Sragen yang dikenal dengan julukan Bumi Sukowati.
Menurut Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten Sragen Nomor 4 Tahun 1987, Hari Jadi Kabupaten Sragen
ditetapkan pada hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746. Tanggal dan waktu
tersebut adalah dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, ketika
Pangeran Mangkubumi yang kemudian hari menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono ke I,
menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda menuju bangsa
yang berdaulat dengan membentuk suatu pemerintahan lokal di Desa Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati.
Proses dan Kronologi
Pangeran
Mangkubumi adik dari Sunan Paku Buwono II di Mataram sangat membenci Kolonialis
Belanda. Apalagi setelah Belanda banyak mengintervensi Mataram sebagai
Pemerintah yang berdaulat. Oleh karena itu dengan tekad yang menyala Bangsawam
tersebut lolos dari istana dan menyatakan perang dengan Belanda.
Atas sikap
adiknya tersebut Sunan PB II tidak tega kepada adiknya, tapi karena sudah
berhutang budi kepada Kompeni, beliau memberi bekal berupa Tombak Pusaka
Keraton “Kanjeng Kyai Pleret” dan uang secukupnya.
Dalam
sejarah peperangan tersebut disebut perangg Mangkubumen (1746-1757). Dalam
perjalanan perangnya Pangeran Mangubumi dengan pasukannya sampailah ke desa
Pandak Karangnongko masuk tlatah Sukowati. Di desa ini Pangeran Mangkubumi
membentuk Pemerintahan Pemberontak. Desa Pandak Karangnongko dijadikan pusat
pemerintahan Projo Sukowati dan beliau meresmikan namanya menjadi Pangeran
Sukowati serta mengangkat pula beberapa pejabat pemerintahan.
Karena
secara geografis desa Pandak Karangnongko terletak di tepi Jalan Lintas tentara
Kompeni Surakarta – Madiun, pusat
pemerintahan tersebut dianggap kurang aman, maka kemudian dipindah ke Desa
Gebang yang terletak disebelah tenggara Desa Pandak Karangnongko.
Sejak itu
Pangeran Sukowati memperluas daerah kekuasaannya serta memperkuat pasukannya
dengan bahu membahu bersama saudaranya Raden Mas Said dan Adipati dari Grobogan
yaitu KRT Martopuro dan beberapa kerabat yang bersimpati dengan perjuangan
Pangeran Mangkubumi.
Pusat
Pemerintahan Projo Sukowati yang ada di Desa Gcbang ini pun akhirnya tercium
oleh Kompeni Belanda yang bekerja sama dengan Kasunanan dan akan mengadakan
penyerangan ke desa Gebang. Pasukan Gabungan antara Kompeni dan Pasukan dari
Keraton Surakarta tersebut dipimpin oleh Patih Pringgalaya (Patih dari PB II).
Untung rencana tersebut diketahui oleh Petugas Sandi (Intetegent ) dan Pangeran
Sukowati.Dengan berbagai pertimbangan maka Pusat Pemerintahan akan dipindahkan
ke Desa Jekawal.
Dalam
proses boyongan dari Gebang ke Jekawal “(Tangen)” tersebut melewati suatu
Padepokan yang dipimpin oleh seorang kyai, yakni Kyai Srenggi. Konon Kyai
Srenggi ini adalah salah seorang Panglima Perang dari Sunan Amangkurat di
Kartosuro, yang sebetulnya bernama asli Tumenggung Alap-Alap. Untuk
menghilangkan jejak, beliau berganti nama Kyai Srenggi.
Pada saat
Pangeran Sukowati singgah di padepokan tersebut oleh Kyai Srenggi disuguhi
Legen dan Polowijo.Pangeran Sukowati merasa sangat puas dan beliau bersabda
bahwa tempat tersebut diberi nama “SRAGEN” dari kata “Pasarah Legen” dan Kyai
Srenggi diberi sebutan Ki Ageng Srenggi.
Setelah
pusat Pemerintahan berada di Jekawal maka Raden Mas Said diambil menantu oleh
Pangeran Mangkubumi/Pangeran Sukowati dikawinkan dengan putrinya bernama BRA
Suminten.
Perlawanan
Pasukan Pangeran Sukowati semakin kuat dan karena Kompeni merasa terdesak
kemudian membuat siasat memecah belah dengan mangadakan Perjanjian Pelihan
Negeri atau terkenal dengan Perjanjian Giyanti Tahun 1755 dimana Kerajaan
Mataram dipecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta dengan
mengangkat Pangeran Mangkubumi/Pangeran Sukowati menjadi Sultan Hamengku Buwono
I.
Kemudian
pada tahun I757 diadakan Perjanjian Salatiga dengan memecah Kasultanan Jogjakarta
menjadi Kasultanan dan Paku Alaman serta Kasunanan Surakarta menjadi Kasunanan
dan Mangkunegaran, dimana Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) ditetapkan
menjadi Adipati Mangkunegoro I dengan mendapat sebagian wilayah Kasunan
(Wonogiri dan Karanganyar)
Sejak
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono VII dengan Hamengku
Buwono V, daerah sukowati menjadi kurang terurus karena jauh dari pusat
Pemerintahan Kasultanan Jogjakarta. Pada saat itu timbullah perlawanan
pemberontakan dari Madiun dan Ponorogo yang ingin menguasai wilayah Sukowati dipimpin
oleh Pangeran Ronggo Madiun. Untuk menanggulangi pemberontakan itu Raden
Tumengung Kartowiryo, salah seorang punggowo pasukan Pangeran Mangkubumi di
tugasi untuk menghadapi kraman (pemberontakan) tersebut. RT Kartowiryo berhasil
menumpas pemberontakan Pangeran Ronggo Madiun, dan RT Kartowiryo diangkat
sebagai Bupati Penamping (wilayah perbatasan) di wilayah.
Pada
tangga 17 September 1830, terjadilah perjanjian antara Paku Buwono dengan
Hamengku Buwono V, daerah Sukowati masuk wilayah Kasunanan Surakarta dan Gunung
Kidul masuk wilayah Kasultanan Jogjakarta.
Dalam
Suatu Pisowanan Agung di Keraton Kasunanan Surakarta, KRT Kartowiryo dapat
menyerahkan pusaka-pusaka keraton yang hilang saat Perang Pecinan di Kartosuro
yang berupa : satu tombak “Kanjeng Kyai
Lindu Pawon”, satu Keris “Kanjeng Kyai Nogososro” dan satu keris pusaka milik
KRT Kartowiryo sendiri.
Karena
sangat bergembira mendapatkan kenbali pusaka-pusaka yang sudah lama hilang dan
sebagai penghargaan atas jasa KRT Kartowiryo, maka sejak saat itu daerah
Sukowati diserahkan kepada KRT Kartowiryo sebagai daerah “Perdikan”(daerah
bebas pajak).
Selanjutnya
pada tanggal 12 Oktobcr 1840 dengan Surat Keputusan Sunan PB VII yaitu Serat
Angger-angger Gunung, daerah yang lokasinya strategis ditunjuk menjadi Pos
Tundan, yaitu tempat untuk menjaga ketertiban dan keamanan lalu lintas barang
dan surat serta perbaikan jalan dan jembatan, termasuk salah satunya adalah Pos
Tundan Sragen.
Setelah
KRT Kartowiryo wafat, kedudukannya sebagai Bupati Penamping digantikan oleh
putra ke V yang nama kecilnya RM Sulomo.
Perkembangan
selanjutnya, sejak tanggal 5 juni 1847 oleh Sunan Paku Buwono VIII dengan
persetujuan Resident Surakarta Baron De Geer ditambah kekuasaannya yaitu
melakukan tugas kepolisian dan karenanya disebut Kabupaten Gunung Pulisi Sragen
dan RM Sulomo yang diangkat menjadi Bupati Gunung Pulisi Sragen dengan nama KRT
Sastrodipuro.
Sejarah Pemerintahan di Kabupaten
Sragen
Tahun 1847
– 1861, KRT. Sastropuro menjabat sebagai Bupati Sragen Pertama.
Tahun
186I-1903, KRT. Wiryoprodjo (cucu KRT Kartowiryo) sebagat Bupati Sragen kedua
Tahun
1903-1933, KMRT Panji Sumonegoro (cucu KRT Wiryodiprodjo) menjabat Bupati
Sragen. Sejak 1903 s/d 1933 Sunan Paku
Buwono ke X dengan Rejkblaad No 23 tahun 1918 Kabupaten Gunung Polisi diubah
menjadi Kabupaten Pangreh Projo sebagai daerah otonom yang melaksanakan Hukum
dan Pemerintahan.
Tahun
1933-1939, Bupati Sragen dijabat oleh KRMAA Yudonegoro
Tahun
1939-1944, Bupati Sragen dijabat oleh KRMT MR. Wongsonagoro.
Tahun
1944-1946, Bupati Sragen dijabat oleh KRMT Darmonagoro.
Setelah
Proklamasi tahun 1945 di Sragen ada gerakan Masyarakat yang ingin melepaskan
diri dari kekuasaan Kasunanan Surakarta dan bergabung dengan Pemerintah
Republik Indonesia. Keinginan masyarakat itu disalurkan lewat Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) Sragen yang terbentuk pada bulan September 1945 dengan
susunan KMRTP Mangunagoro sebagai ketua dan Wakil Ketua Suhari Kusumodirjo
(cucu KRT Wiryodiprodjo). Anggotanya ada 25 orang amtara lain, S. Mloyo
Pranoto, Indardjo dan Tjipto Pranoto.
Keputusan
KNI Daerah Sragen
- Menyampaikan
keinginan Rakyat sragen untuk melepaskan diri dari ikatan Swapraja Kepada
Bupati Darmonagoro
- Bila
Darmonagoro bersedia, tetap diminta menjadi Bupati Sragen.
Bupati
Darmonagoro tidak bersedia memenuhi permintaan KNI Daerah Sragen dengan alasan
:
- Sebagai
Abdi Dalem beliau harus tetap setia kepada raja.
- Sikap
melepaskan diri itu bertentangan dengan Keputusan Pemerintah Kerajaan
- Maka
sebagai jalan tengah Bupati
Darmonagoro lebih baik menyingkir ke Solo
- Untuk
mengisi kekosongan tersebut dibentuklah Dewan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sragen dan mengusulkan KMRT P. Mangunnagoro sebagai Bupati Sragen.
Untuk
menyatakan lepas dari ikatan Swapradja diadakan Rapat Umum di Halaman Gedung
Kontrolir (Kantor Pemda sekarang) yang dihadiri oleh masa rakyat, organisasi
perjuangan dan Lurah Desa se Kabupeten Sragen pada tanggal 26 April 1946. Dan mulai saat ini Kabupaten Sragen menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : Panitia Hari Jadi Kabupaten
Sragen
Comments
Post a Comment