Kartini Zaman Now
Upacara
peringatan Hari Kartini di kantor pemerintah, tiap tahun berlangsung semarak. Sejak
pukul tujuh pagi, ratusan karyawati terlihat anggun mengenakan pakaian kebaya
berwarna-warni sudah siap mengikuti upacara.
Yang agak
istimewa, semua petugas upacara, mulai
dari perwira dan komandan upacara, komandan peleton, pembaca riwayat Kartini,
ajudan inspektur upacara, dan pembaca doa, hampir 100 persen dilakukan oleh kaum
wanita.
Hanya Simbol Asesoris
Namun yang
terlihat lebih dominan pada peringatan Hari Kartini adalah sekedar mengganti
pakaian harian menjadi kebaya dan jarit yang hanya menjadi simbol asesoris
belaka, sehingga kurang mampu menggali semangat perjuangan Kartini.
Semangat Kartini
adalah sebuah pemberontakan kultural terhadap lingkungan yang kurang kondusif,
agar bisa memberikan pengabdian bagi orang lain. Kartini ingin memberikan yang
terbaik dimasa hidupnya.
Karena itu dalam
memperingati Hari Kartini, kaum wanita mestiya bisa merubah paradigma dari
sekedar seremonial menjadi semangat berlomba-lomba berbuat kebaikan bagi orang
lain. Makna kepahlawanan adalah ketika seseorang dengan ikhlas mampu mengorbankan
kepentingan diri dan golongannya untuk berbuat yang terbaik bagi orang lain.
Setelah
memperingati Hari Kartini tanggal 21 April, apa yang dapat kita ambil
hikmahnya? Beragam pendapat dan kesan bisa muncul sesuai pemahaman, analisis,
persepsi, dan kepentingan masing-masing orang.
Beberapa hal berikut ini barangkali menggambarkan sekilas tentang bagaimana kita melihat sosok Kartini dalam era kekinian.
Beberapa hal berikut ini barangkali menggambarkan sekilas tentang bagaimana kita melihat sosok Kartini dalam era kekinian.
Pertama, sebagian besar orang Indonesia
masih mempercayai sosok Kartini sebagai seorang wanita pejuang karera secara
formal Pemerintah Indonesia (1964) telah mentapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Hari kelahiranya, 21 April, pun dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai Hari
Kartini dan diperingati melalui upacara resmi dan berbagai kegiatan yang lain.
Namun, menurut
saya, pengakuan itu baru sebatas formal seremonial. Pemerintah memang telah
menerbitkan buku sejarah Kartini yang diajarkan di sekolah, foto-foto Kartini
banyak dipajang di ruang-ruang kelas, berbagai kegiatan dilakukan, dan upacara
resmi diselenggarakan secara nasional.
Namun faktanya,
begitu selesai tangal 21 April, tak ada hikmah berarti yang didapat. Bagai
angin berlalu. Yang ada adalah hasil foto-foto wanita-wanita seksi dan anggun berbusana kebaya dan
bersanggul
saat mengikuti upacara menghiasi media sosial. Kalau ditanya bagaimana spirit dan gagasan Kartini mampu menggetarkan sanubari dan mempengaruhi pola pikirnya, mereka hanya menggelengkan kepala, atau mengangkat bahu. Atau, ada yang berucap, “Yang penting berkat perjuangan Ibu Kartini, hari ini kami bisa happy….”
saat mengikuti upacara menghiasi media sosial. Kalau ditanya bagaimana spirit dan gagasan Kartini mampu menggetarkan sanubari dan mempengaruhi pola pikirnya, mereka hanya menggelengkan kepala, atau mengangkat bahu. Atau, ada yang berucap, “Yang penting berkat perjuangan Ibu Kartini, hari ini kami bisa happy….”
Bagi mereka tak
terlalu penting untuk memikirkan sosok Kartini di luar tanggal 21 April. Nama
Kartini hanya didengar sekilas melalui pelajaran formal di sekolah, atau ketika
petugas upacara membacakan riwayat hidupnya secara singkat. Lebih dari itu tak
pernah tahu. Parahnya, juga tidak pernah berusaha mengetahui sejarahnya melalui
usaha lain, seperti membaca buku, media massa atau berbagai media lainya.
Buku-Buku Tentang Kartini
Kedua, dalam berbagai referensi
disebutkan, setelah J.H. Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini dalam buku
berjudul Door Duisternis tot Licht
dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh seorang sastrawan, Armijn Pane,
dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, kemudian lahir beberapa buku tentang Kartini.
Tahun 1972,
seorang warga Indoneaia, Sulastin Sutrisno, tengah studi di bidang sastra di
Universitas Leiden, Belanda. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta
Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat-surat Kartini. Tujuan sang
dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna.
Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi
lengkap Door Duisternis Tot Licht pun
terbit.
Buku kumpulan
surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul “Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya”. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: "Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa,
yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa
Indonesia. Tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini
lewat buku “Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya”
Buku lain yang
berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904.
Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang
ada dalam Door Duisternis Tot Licht
versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada
Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté,
bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon.
Selain berupa
kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah “Panggil Aku Kartini Saja” karya seorang
sastrawan, Pramoedya Ananta Toer. Buku “Panggil Aku Kartini Saja” terlihat merupakan
hasil pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Ada lagi buku
berjudul “Kartini Sebuah Biografi karya Titisoemandari Soeroto, Butir-Butir
R.A.Kartini” disusun Myrtha Soeroto, dan “Tragedi Kartini : Sebuah Pertarungan
Ideologi” karya Asma Karimah, dan masih banyak lagi, serta beberapa artikel
tentang Kartini bermunculan dengan berbagai versi. Hal ini tentunya sangat menggembirakan, karena
memberikan banyak informasi untuk bahan mengkaji sosok Kartini. Namun disisi
lain, menimbulkan kekhawatiran sebagian orang karena ada silang pendapat
terhadap tokoh yang sudah ditetapkan kepahlawanannya oleh Pemerintah itu.
Kontroversi?
Ketiga, munculnya kontroversi ketika ada
orang-orang kritis yang mulai berani menggugat status kepahlawanan Kartini dan
meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan
kolonial Belanda menjalankan Politik Etis
di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung
politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak
diketahui keberadaannya. Menurut Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H.
Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan
tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari
Kartini saja, namun digabung sekaligus dengan Hari Ibu tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak dianggap pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan
wanita Indonesia lainnya. Menurut sebagian orang, masih ada pahlawan wanita
lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha
Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.
Guru besar
Universitas Indonesia (UI), Harsja W. Bachtiar juga pernah mengkritik
“pengkultusan” R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam buku “Satu
Abad Kartini (1879-1979)”, yang terbit tahun 1990, Harsja W. Bachtiar menulis
sebuah artikel berjudul : “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”.
Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini yang dikatakan mengambil
alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang
Belanda.
Harsja menggugat
dengan halus, kenapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan
wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah
Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat
dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Anehnya,
tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku “Sejarah Setengah Abad
Pergerakan Wanita Indonesia”. Padahal, kehebatan dua wanita itu sangat luar
biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif
mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai
bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu.
Ada Hikmahnya
Dari tiga hal
yang terungkap di atas, kita bisa menemukan banyak pelajaran penting untuk
diambil hikmahnya.
Pertama, masih rendahnya pemahaman dan
adanya sikap masa bodoh sebagian besar warga Indonesia terhadap para pahlawan
di negerinya, membuktikan bahwa sistem pendidikan sejarah di Indonesia perlu terus dievaluasi dan disempurnakan.
Kedua,
kita semua perlu lebih banyak belajar tentang sejarah Indonesia secara
komprehensif dengan pikiran jernih. Menjadi tugas dan tantangan gererasi
sekarang untuk terus menggali sumber-sumber sejarah yang sebenarnya tanpa
dipengaruhi oleh kepentingan politis dan sentimen kebencian berlatar belakang
SARA.
Ketiga, munculnya pihak-pihak yang
berani menggugat status kepahlawanan Kartini jangan diartikan sempit
seolah-olah merendahkan derajat sosok Kartini yang sudah ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia. Namun harus menjadi bahan introspeksi semua pihak,
bahwa penulisan sejarah selama ini tidak lepas dari kepentingan penguasa.
Keempat, terlepas dari adanya pihak yang
mempermasalahkan ketokohan Kartini, ada sisi penting yang perlu kita pahami.
Mengapa perjuangan Kartini mampu menjadi sosok yang melegenda dan namanya
terabadikan dalam khazanah sejarah Indonesia, bahkan tingkat dunia?
Menurut saya, salah satu faktor penting adalah karena Kartini
mampu mengungkapkan berbagai gagasan cemerlang dan pergulatan pemikiran dan
pengalamannya dalam bentuk tulisan, baik lewat surat maupun artikel di media
massa. Gagasan Kartini itu kemudian tersebar luas melalui buku dan media
lainnya. Artinya, seperti yang sering
kita dengar dari berbagai ungkapan, bahwa tulisanlah yang mampu mengikat makna
dan menjadikan keabadian seseorang.
Maknanya, memperingati Hari Kartini jangan hanya ngucapin Selamat
Hari Kartini atau ikut upacara pakai kebaya, namun kita belajar tentang budaya
Leterasi – dunia baca tulis yang banyak digelorakan Kartini. Kartini yang cerdas
selalu berpikir kritis, punya gagasan kreatif, berjuang mewujudkan
cita-citanya, diikuti oleh proses
membaca dan menulis yang tidak pernah berhenti. Itulah yang akhirnya
menciptakan karya dan keabadian namanya.
Suparto
#OneDayOnePost
Setuju pak.. Kartini pahlawan literasi
ReplyDeleteIni yang perlu kita diteladani
Delete