Dr. Mohammad Nasih |
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dr. Mohammad Nasih, saat
memberikan pencerahan kepada peserta Workshop Literasi Masjid di Gedung IPHI
Sragen, Sabtu (14/4/2018). Workshop diselenggarakan oleh Pengurus Keluarga
Besar Peajar Islam Indonsia (PII) Sragen, diikuti sekitar 70 orang Takmir
Masjid.
Menurut Nasih, argumen kebenaran Al-Quran harus terus digelorakan sehingga umat Islam kian tertarik membaca, mendalami, menghayati dan mengamalkan kitab sucinya ini dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini merupakan bagian dari literasi masjid, sebuah gerakan pencerahan untuk membangkitkan semangat umat Islam, mengembangkan fungsi masjid tidak hanya sebagai tempat ibadah shalat saja. Namun masjid juga berfungsi sebagai ruang belajar, pusat peradaban dan membangun kekuatan jamaah untuk ikut memikirkan dan menyelesaikan persoalan umat.
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Indonesia (UI) dan FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu
mengungkapkan, berbagai tuduhan bahwa al-Qur’an sama dengan kitab-kitab suci
agama-agama lain yang lebih banyak berisi mitos-mitos atau cerita-cerita buatan
manusia, kian hari menjadi kian terlihat tidak berada pada pijakan yang kokoh.
“Bahkan, tidak sedikit ilmuan yang memiliki fokus kepada disiplin ilmu pasti dan alam yang pernah mengakses al-Qur’an, baik karena sengaja maupun tidak sengaja, merasa takjub dan kemudian secara sadar memilih Islam sebagai agama baru mereka,” tegas Nasih, yang juga Guru Utama di Rumah Perkaderan & Tahfidh al-Qur’an MONASH INSTITUTE .
Nasih kemudian membeberkan bukti kebenaran al-Qur’an yang nampak sangat
menonjol, diantaranya pada empat aspek.
Pertama, bahasa sastranya sangat tinggi.
Al-Qur’an, di samping memiliki kandungan ajaran yang
sangat substansial dan berbobot, juga memiliki kualitas sastra yang sangat
mengagumkan. Rima pada keseluruhan ayatnya pun sangat terasa oleh siapa pun,
termasuk mereka yang walaupun tidak memahami makna al-Qur’an.
Kekuatan rima tersebut misalnya, bisa dirasakan pada surat-surat pendek di akhir juz 30. Semua ayat di QS. al-Nâs berakhir dengan huruf sîn(s), al-Ikhlash berakhir dengan huruf-huruf qalqalah, al-‘Ashr berakhir dengan huruf râ’ (r), al-Fîl berakhir dengan huruf lâm (l) dan masih banyak lagi surat lainnya yang memberikan efek berbeda ketika membaca dan/atau mendengarnya.
Awal surat Thaha dengan kekuatan isi dan keelokan bahasa sastranya
itu bahkan berhasil tidak hanya menggoyahkan permusuhan Umar bin Khaththab
terhadap Islam, tetapi lebih dari itu membalikkannya menjadi orang yang
termasuk dalam kategori paling depan dalam membela Islam. Sebab, kecerdasan
intelektualnya mengantarkan kepada pemahaman bahwa ayat-ayat yang dibacanya
tidak mungkin diciptakan oleh manusia.
Al-Qur’an diturunkan dengan ketinggian bahasa sastra itu bukan
tanpa latar belakang sosio-kultural masyarakat yang menjadi audiensnya yang
paling awal.
Mohammad Nasih menjelaskan, Al-Qur'an diturunkan dalam konteks masyarakat yang sesungguhnya memiliki multi kecerdasan : intelektual, emosional, finansial, dan lain-lain; dan yang paling menonjol serta mereka sendiri banggakan adalah kecerdasan linguistik verbal.
Hanya saja mereka kemudian disebut oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad dengan
masyarakat jâhiliyyah,
karena mereka tidak memiliki kecerdasan spiritual. Mereka terjerumus ke dalam
paham materialisme (al-dahriyyah) dan berpaham teologi politeisme (al-syirk).
Kemampuan berbahasa yang sangat baik pada orang-orang yang disebut
sebagai syu’arâ’ (para penyair) itu mereka anggap bukan
semata-mata kemampuan teknikal. Mereka berparadigma bahwa orang-orang yang
memiliki kemampuan bersya’ir dengan sangat baik disebabkan mereka memiliki
pembantu (khadam) berupa jin. Karena itulah, mereka disebut majnûn.
"Nah, selama ini terjadi kekeliruan umum dalam mengartikan majnûn ini dengan 'gila', " ujar Nasih.
"Nah, selama ini terjadi kekeliruan umum dalam mengartikan majnûn ini dengan 'gila', " ujar Nasih.
Padahal yang dimaksud majnûn sesungguhnya adalah kerasukan jin.
Karena konsepsi inilah, masyarakat percaya bahwa orang yang majnûn adalah orang jinius (dari kata jin juga) yang memiliki kemampuan untuk
melihat atau mencandra masa depan. Maka para penyair itu juga disebut sebagai
“orang pintar” alias dukun.
Kedua, prediksi al-Qur'an bukan saja tepat, tapi bahkan sangat presisi.
Prediksi dalam al-Qur’an sampai bisa disebut sangat presisi karena benar-benar
tidak menyisakan ruang interpretasi apalagi apologi, karena menyebut kata yang
berkait erat dengan angka.
Prediksi tersebut seputar pertempuran antara Romawi
dan Persia yang pada saat itu merupakan dua imperium besar yang selalu
bersaing.
Setelah tersiar kabar bahwa Persia yang menganut agama Majusi
berhasil mengalahkan Romawi yang menganut agama Kristen, umat Islam merasa
bersedih. Sebab, orang-orang musyrik Makkah pada saat itu mengolok-olok kaum
muslimin dengan mengatakan bahwa orang-orang yang menyembah Allah dan memiliki
kitab suci, bisa dikalahkan oleh para penyembah api.
Dengan kata lain,
orang-orang yang memiliki kitab suci itu ternyata lebih hina dibandingkan para
penyembah api.
Di antara para sahabat menyampaikan kesedihan itu kepada Nabi
Muhammad. Turunlah ayat yang menjelaskan bahwa Romawi akan bisa kembali
mengalahkan Persia sebagai kabar gembira.
“Romawi telah dikalahkan. Di bumi yang terendah, dan mereka
sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah
urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa
Romawi) itu, bergembiralah orang-orang yang beriman.” (al-Rum: 2-4)
Kata bidl’un pada ayat ke-4 di atas, dalam
al-Qur’an terjemah, biasanya diartikan dengan “beberapa tahun”. Namun, banyak
ulama’ tafsir memberikan ulasan bahwa kata bidl’un sesungguhnya digunakan untuk menyebut
rentang angka antara 6 sampai 9. Karena itu, jika makna ini disubstitusikan,
maka al-Qur’an telah menegaskan prediksi bahwa Romawi akan menang kembali pada
rentang waktu antara 6 sampai 9 tahun. Dan ternyata benar, pada tahun ke-7,
Romawi mengalahkan Persia.
Seandainya, Romawi menang tetapi tidak pada rentang
waktu itu, al-Qur’an dan Islam akan menjadi bahan ejekan yang lebih parah dan
bahkan tidak menutup kemungkinan akan ditinggalkan oleh orang-orang yang
sebelumnya telah mempercayainya. Namun, karena ternyata pernyataan al-Qur’an
sangat presisi, maka justru keimanan kaum muslimin menjadi bertambah kuat dan
makin banyak orang yang mempercayai al-Qur’an sebagai wahyu Allah.
Ketiga, makin banyak informasi ilmiahnya yang terbukti.
Al-Qur’an
menyajikan berbagai macam informasi ilmiah yang terdapat di alam semesta.
Al-Qur’an telah menyatakan bahwa tubuh Fir’aun, raja otoriter yang bahkan
sampai mengaku Tuhan di Mesir pada era Nabi Musa dan Harun, walaupun tenggelam
di samudra, akan diselamatkan agar menjadi tanda-tanda bagi manusia sesudahnya.
Dan ternyata pada abad XX, jasad itu ditemukan, lalu diteliti oleh seorang
ilmuan Perancis bernama Maurice Buchail yang dituangkannya dalam karyanya yang
sangat terkenal berjudul “Al-Qur’an and Modern Science”.
Al-Qur’an
menyatakan bahwa air laut terbelah menjadi dua, seolah-olah ada batas antara
keduanya; yang sebelah berasa tawar nan enak diminum dan yang sebelahnya asin
cenderung pahit. Fenomena itu terdapat di dekat Jabal Thariq (Gibraltar),
karena adanya perbedaan kerapatan di antara keduanya.
Yang saat ini bisa
disaksikan oleh makin banyak orang adalah informasi al-Qur’an tentang
perkembangan janin di dalam rahim, karena ditemukan teknologi USG, yang
diungkapkan pada awal QS. al-Mu’minun dengan sangat mengagumkan :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani
(yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami
jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,
dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu
Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk)
lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (al-Mu’minun:
12-14)
Informasi dalam ayat tersebut, makin mengundang decak kagum saat
ini, karena disampaikan pada saat sama sekali belum ada teknologi yang bisa
mendeteksi keadaan perkembangan embrio di dalam kandungan ibunya. Jika
berdasarkan ilmu pengetahuan modern ternyata diketahui ada satu saja proses
yang disebutkan tersebut terbalik misalnya, maka legitimasi al-Qur’an sebagai
kebenaran yang datang dari Allah akan gugur dan bahkan jadi bahan tertawaan.
Namun, karena realitasnya justru sebaliknya, maka justru menjadi salah satu
faktor yang makin meyakinkan bahwa al-Qur’an memang bukan buatan manusia,
melainkan berasal dari yang menciptakan alam semesta.
Keempat, bisa dihapalkan di luar kepala, bahkan oleh anak kecil sekalipun.
Tidak ada satu pun buku di dunia ini dengan jumlah kata yang
sebanyak al-Qur’an, bisa dihafalkan sebagaimana al-Qur’an dihafalkan, baik
dalam konteks kualitas hafalan maupun jumlah orang yang menghafalkannya. Al-Qur’an
sendiri menyatakan bahwa Allah akan memudahkannya untuk diingat (QS. al-Qamar:
17, 22, 32, 40). Ini merupakan sebuah kenyataan yang menakjubkan dan tentu saja
merupakan salah satu bukti bahwa al-Qur’an memang selalu benar dalam segala
pernyataannya. Dan ini makin memperkokoh argumen bahwa ia adalah benar-benar
mu’jizat dari Allah Swt..
"Jika pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang bersifat verfikatif
ternyata terbukti, maka pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang belum
terverifikasi di dunia ini, misalnya tentang adanya surga dan neraka, juga harus dianggap sebagai kebenaran, karena
sesungguhnya hanya tinggal menunggu waktunya saja untuk menyaksikan
kebenarannya. Untuk informasi yang termasuk dalam wilayah eskatologi, maka itu
juga harus dianggap benar dan masuk dalam wilayah iman kepada yang ghaib. Semua
itu akan terverifikasi di akhirat nanti," kata Nasih.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Comments
Post a Comment