Rumah kuno dengan Pendapanya yang megah itu sudah
berdiri lebih dari satu abad. Keberadaan Pendapa tersebut bahkan telah menyatu dengan
masyarakat. Warga bebas memanfaatkan untuk kepentingan umum, terutama untuk gladen (latihan) berbagai jenis seni dan
menjadi tempat berkumpulnya banyak
kalangan. Pendapa itu dulu oleh Den Bei, pemilik rumah, dinamakan Prawirojayan. Tapi
beberapa orang menyebutnya sebagai Pendapa Kamardikan.
Sebelum meninggal dunia, Den Bei berpesan kepada anak
cucunya agar menjaga dan merawat Pendapa sehingga tetap bisa memberikan manfaat
bagi seluruh keluarga dan masyarakat.
Namun setelah sekian tahun Den Bei meninggal dunia, seiring
dengan perubahan zaman, pola pikir dan perilaku anak cucunya ikut tergerus. Mereka ingin mengikuti tren dunia modern, dan itu butuh biaya. Sayangnya, pikiran mereka cupet, dangkal.
Pendapa agung, harta warisan leluhur yang seharusnya
dijaga, dirawat dan dilestarikan sebagai monument sejarah trah keluarga yang
bermanfaat untuk masyarakat, malah jadi rayahan.
Bahkan, Sugondo berlima yang mengaku
sebagai ahli waris Den Bei, ingin menjual tanah dan rumah beserta Pendapa Prawirojayan
dengan nilai milyaran rupiah.
Guntur, seorang pengusaha kaya tiba-tiba datang menemui
Sugondo dan adik-adiknya karena mendengar pendapa itu akan dijual. Para ahli
waris itu pun kegirangan. Apalagi Guntur berani menawar dengan harga dua kali
lipat dari harga pasaran.
Mereka kemudian bikin rencana jika warisan sudah terjual ingin membeli mobil baru, membuka restoran dan gaya hidup wah lainnya. Langkah Sugondo dan saudaranya akhirnya membawa petaka keluarga dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Mereka kemudian bikin rencana jika warisan sudah terjual ingin membeli mobil baru, membuka restoran dan gaya hidup wah lainnya. Langkah Sugondo dan saudaranya akhirnya membawa petaka keluarga dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Setelah harga sepakat, proses jual beli berjalan lancar.
Para ahli waris pun dibayar. Namun Mbah Senthun, seseorang yang tinggal
di salah satu sudut pekarangan Den Bei, dan Edy (penjaga Pendapa) serta
beberapa warga sekitar menolak keras dan berontak jika pendapa itu dijual.
Penolakan itu karena keberadaan pendapa sehari-hari
digunakan warga untuk gladen (berlatih)
menari dan menjalin komunikasi warga. Karena terjadi debat kusir dan nyaris
baku hantam, Guntur menengahi dan meyakinkan kalau tanah dan pendapa itu tidak
akan dipakai untuk Mall.
“Akan saya lestarikan kok. Pokoknya warga masih boleh latihan menari atau bermain di
sini, sama seperti dulu,” kata Guntur.
Tapi, sikap Guntur ini justru membuat Sugondo dan adik-adiknya
keheranan. Kenapa bisa begitu? Siapa sebenarnya sosok Guntur itu?
Itulah penggalan kisah menarik dalam pentas teater Kelompok Peron
Surakarta di Pendopo Serambi Sukowati Sragen, Sabtu malam (26/8/2017) dengan
lakon “KE[ME]DOL”.
***
Lakon “KE[ME]DOL” yang disutradarai Wirawan
ini, dimainkan para mahasiswa pekerja teater FKIP UNS Surakarta. Ratusan
penonton, termasuk mantan Bupati Sragen, Agus Fatchur Rahman sebagai pemilik rumah yang dijadikan sanggar seni Serambi Sukowati, serius menyimak hingga akhir cerita.
Ketika pentas berakhir pukul 21.45 penonton belum juga
beranjak dari tikar yg menjadi tempat duduknya. Mereka bahkan berebut ingin
foto bareng puluhan orang pemain Kelompok Peron.
Mbah
Senthun (yang diperankan Ihsan) seorang kakek yang mengenakan
baju surjan dan ikat kepala, yang terlihat sibuk dengan becaknya, dan gaya
bicaranya ceplas-ceplos menjadi pusat
perhatian penonton.
Sang Sutradara, Wirawan, menjelaskan, lakon “KE[ME]DOL” memberikan gambaran tentang
adanya generasi yang cenderung ingin hidup “wah” namun cara yang ditempuhnya
kurang terpuji. Di sisi lain, ada banyak pihak kurang
peduli dengan peninggalan harta warisan yang sangat berharga.
Sementara itu, ketua Sanggar Seni Serambi Sukowati Sragen, Wiyatno, yang menyimak adegan demi adegan pentas teater Peron merasa puas.
"Bagus sekali. Luar biasa teman-teman Kelompok Peron. Ini pentas produksinya ke-72. Mereka serius mementaskan lakon itu. Bahkan sejak tiga hari lalu, sudah mempersiapkan diri di Serambi Sukowati," ujar Mbah Pine, panggilan Wiyatno.
Oh ya. Bagi yang masih penasaran, silahkan nonton pentas Kelompok Peron, Rabu (30/8/2017) mulai Pukul
19.30 di Laboratorium Karawitan, FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Suparto
Pentasnya pasti: wow! Saya baca ceritanya aja terlarut pak...hehe
ReplyDeleteItu baru cerita yang saya tangkap. Kalo lihat langsung pentasnya, wow.... lebih heboh...
Deleteaduhh pengen liat teater kayak gini, di jakarta susah. kalaupun ada pasti mahal deh HTM-nya ahahaha
ReplyDeleteKapan2 ke Sragen mas. Acara2 gini gratis. hahaha...
Delete