Danarto, selama ini dikenal sebagai seorang sastrawan sufi. Karya-karyanya selalu mengajak kepada pembaca untuk masuk ke dalam dunia “lain” yang bukan dunia kita sehari-hari. Dunia lain yang diciptakan Danarto itu, bukan dunia riil tetapi juga bukan dunia yang sepenuhnya abstrak. Antara fana dan baka. Pembaca dibawa ke suasana dunia antara, yang dalam istilah filsafat Jawa dikenal “sonya ruri”. Yang mengambang, sunyi, mengerikan, dimana sosok manusia itu tidak jelas identitasnya, asal-usulnya, dan status kehidupannya. Atau masuk ke dunia yang “absurd”, aneh-aneh, dan tidak masuk akal. Seperti interaksi dengan dunia Malaikat, kadal, kodok, zat asam, Bekakrak, wewe, Hamlet, tokoh wayang Abimanyu dan lainnya yang sering terlihat “absurd”.
Tetapi dalam kumpulan cerpennya berjudul Berhala (2017) ini, Danarto agak menggeser dunia anehnya. Agak, karena dunia “sonya ruri” itu tidak sepenuhnya ditinggalkan oleh Danarto. Dalam 14 judul cerpen, keseluruhan 228 halaman, meski ia banyak mengambil kejadian sehari-hari dalam kehidupan manusia, namun pembaca dibawa kembali ke suasana absurd, ke dalam situasi yang aneh dan “tidak masuk akal”.
Dalam cerpen berjudul “Panggung” misalnya. Diceritakan tentang anak seorang pejabat tinggi Bappenas yang membenci kemunafikan bapaknya. Anak muda itu, sudah sangat bosan menjadi anak seorang pejabat tinggi yang korup, munafik, dan mengelabui masyarakat tentang keadaan yang sesungguhnya dari keadaan ekonomi negara.
Ayahnya dibunuh, ditembak di depan para pejabat Bappenas dan pejabat IGGI (kelompok internasional untuk mengkoordinasikan bantuan kepada Indonesia), oleh anak muda itu. Ternyata kejadian itu bukan kejadian sebenarnya. Ia adalah sebuah “panggung sandiwara” yang telah disiapkan oleh bapak, ibunya, saudara-saudaranya, dan pejabat-pekabat tersebut. Ayah itu tidak meninggal, malah pergi ke Paris, berfoya-foya dengan pacar anak muda itu. Anak muda itu waktu hendak membunuhnya untuk kedua kali menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sang ayah memang menguasai pacarnya. Anak muda itu putus asa, ayahnya memang tidak terkalahkan olehnya.
Dalam cerita ini Danarto ingin mengangkat fenomena sosial dan menjadi opini publik tentang kelakuan bobrok oknum pejabat tinggi di negeri ini yang sangat berkuasa, yang tidak terkalahkan, kemudian dibelokkan melalui cerita yang aneh. Tetapi tetap mengandung kritik sosial yang bernada sinis.
Danarto menciptakan suasana absurd itu di tengah kondisi masyarakat dan dunia yang sangat riil. Absurditas dalam kumpulan ini hampir selalu merupakan penutup cerita yang ironis. Sesudah seakan-akan Danarto bercerita dengan keasyikan seorang master tentang berbagai hal dalam masyarakat, dibawanya kita ke suatu penutup yang absurd. Tapi terselip pesan bahwa tidak seorang pun dari kita akan tahu dengan pasti akhir dari suatu kisah kehidupan.
Seperti dalam cerpen “Selamat Jalan, Nek” yang mengisahkan tentang kasus-kasus pencurian mayat yang banyak diberitakan di surat kabar. Dengan penuh humor dikisahkannya di dalam cerita itu bagaimana seorang nenek yang merasa yakin betul akan hari kematiannya mampu mempermainkan kecanggihan komputer pada hari kematiannya dan pada waktu jenazahnya diduga akan dicuri orang.
Dalam “Memang lidah tak bertulang” Danarto menyoroti gejala mental yang sangat korup di kalangan para penegak hukum. Danarto menciptakan kisah seorang perwira polisi yang memeras dan kemudian membunuh pejabat yang diperasnya itu dengan menjadikannya sebuah asap yang tidak dapat kembali ke tubuhnya lagi.
Di cerpen “Anakmu bukanlah anakmu,’ ujar Gibran” Danarto mengangkat masalah kesenjangan antargenerasi dalam sebuah keluarga besar. Sang ayah yang mengagumi ajaran-ajaran Gibran Khalil Gibran ingin menerapkannnya pendidikan anaknya, Niken, yang rupanya tumbuh sebagai seorang anak perempuan yang cemerlang tetapi badung dan menuruti kata hatinya sendiri. Ibunya, nenek dan kakeknya, bahkan kemudian juga ayahnya menjadi bingung mengikuti ulah Niken yang ternyata hamil sebelum nikah, bersimpati kepada kaum pemberontak bahkan membantunya.
Banyak peristiwa atau gejala sosial yang terjadi dalam masyartakat menjadi perhatian seksama dari Danarto. Masalah gali, petrus atau penembak misterius, korupsi dari para pejabat tinggi dan penegak hukum, dan gejala paranormal.
Absurditas yang dipertahankanya dalam kumpulan cerpen ini dihadirkan dalam bahasa yang lugas. Cerita dari kejadian sehari-hari. Manusia-manusia yang ditampilkan riil, berada dalam lingkungan masyarakat yang membumi, meskipun akhirya selalu ditariknya dalam satu suasana dan kondisi absurd tetapi dijalin dengan narasi yang menarik.
Seperti diungkapkan Umar Kayam dalam pengantar buku ini, dalam setiap cerita yang ditulis Danarto selalu menyisipkan semacam peringatan bahwa manusia tak dapat terduga, “Mamungsa tan kena kinira”, karena ia adalah bagian dari satu skenario besar yang berada di luar kekuasanaannya. Suatu keyakinan tentang Keesaan Sang Pencipta.
Maturnuwun
Suparto
#ReadingChallengeOdop(RCO)Batch8
Nyimak Pak 🙏
ReplyDelete