Kultum Ramadhan Shalat Tarawih di Masjid
Al-Falah Sragen, Senin (11/6/2018) malam
itu terasa istimewa. Di hadapan ratusan jamaah, tampil seorang pembicara
bernama Ngatmin Abbas, yang tak lain adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Kabupaten Sragen.
Dengan suara lantang, dia
membacakan makalahnya berjudul “Merefleksikan Kepemimpinan Abu Bakar As-Shidiq
di Era Demokratisasi.” Berikut uraian lengkapnya, dengan editing seperlunya.
Bulan Ramadhan mengingatkan kepada kita ummat Islam
bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, berkehendak untuk mengutus
seorang Rasul kepada manusia pada masa ‘kekosongan wahyu’ untuk mengembalikan manusia kepada substansi dan
jati dirinya, membimbing manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya, dari
kesesatan menuju kecerdasan.
Allah memilih Rasul-Nya, yaitu Muhammad bin Abdullah
untuk menerima wahyu, dan dimulailah perjalanan al-Qur’an yang penuh berkah,
yakni dengan turunnya wahyu yang pertama surah al-Alaq ayat 1-5. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al-‘Alaq : 1-5)
Tiba-tiba air mata bahagia dan rasa syukur
Rasulullah saw meleleh membasahi pipinya, sembari memeluk Abu Bakar. Lantas
beliau menceritakan bagaimana proses turunnya wahyu di Gua Hira kepada Abu
Bakar. Abu Bakar menundukkan kepalanya dengan penuh kekhusyukan dan ketakwaan,
dengan penuh penghormatan terhadap panji Allah yang ia lihat di hadapannya
menjulang hingga menyentuh bintang gemintang.
Panji Allah yang menjelma dalam baris-baris ayat nan suci yang baru saja diturunkan. Lalu Abu Bakar mengangkat kepalanya dan memegang erat tangan kanan Rasulullah dengan kedua tangannya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.” Dan, “Aku bersaksi bahwa engkau seorang yang jujur lagi terpercaya...”.
Panji Allah yang menjelma dalam baris-baris ayat nan suci yang baru saja diturunkan. Lalu Abu Bakar mengangkat kepalanya dan memegang erat tangan kanan Rasulullah dengan kedua tangannya dan berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.” Dan, “Aku bersaksi bahwa engkau seorang yang jujur lagi terpercaya...”.
Dengan kisah tersebut, Ngatmin
Abbas mencoba
menguraikan kepemimpinan Abu Bakar untuk merefleksikan kepemimpinan umat pada
sekarang dan era yang akan datang.
Abu Bakar, seorang
laki-laki yang setia menemani Rasulullah untuk merubah alam, membersihkan
dunia, dan meluruskan kehidupan, seorang laki-laki yang menjadi sahabat
Rasul-Nya, orang kedua yang kelak akan menyempurnakan tugas dan peran kenabian.
Iman Abu Bakar
seperti hembusan udara yang tenang. Kita senantiasa menghirupnya tanpa bisa
merabanya, tanpa menimbulkan gejolak. Ia, sahabat setia menemani Rasulullah
hijrah dari Mekkah ke Madinah. Hijrah bukanlah tamsya yang menyenangkan, tetapi
perjuangan yang berliku penuh onak dan duri, petualangan yang berbahaya,
pengusiran yang menyakitkan, dan pahit getirnya menuju jalan dakwah.
Abu Bakar tidak
mengetahui ada jalan lain kecuali satu, yaitu jalan keimanan, jalan
pengorbanan, jalan menuju ridha Allah dan Rasul-Nya. Ketika ia diseru untuk
menunaikan tugasnya, itu keberuntungan yang sangat ia dambakan, mekarlah
kebahagiaan, ia merasa, setiap kali bertambah kegentingan dan bahayanya, ia
menjadi manusia paling beruntung dan orang paling bahagia. Kebahagiaan itu
memancar saat Abu Bakar menjadi teman Rasulullah hijrah, ia orang beruntung
yang menyaksikan fragmen perjuangan, yang kelak akan melanjutkan estafet kepemimpinan
beliau.
Saat Abu Bakar mendengar berita mengenai wafatnya
Rasulullah, lantas ia mengucapkan istirja’ (innaa lillaahi wa innaa
ilahi raaji’uun), ia tak kuasa menahan air matanya yang meleleh bercampur
dengan kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya “Sesungguhnya kami adalah
milik Allah dan kepadan-Nya kami akan dikembalikan.”
Di hadapan kaum muslimin Abu Bakar membacakan surah
Ali Imran ayat 114, “Muhammad itu
tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh Telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul. apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat
mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.”
Abu Bakar dengan sikap tenang, sembari memuji Allah
dan berkata: “Wahai sekalian manusia, barangsiapa yang menyembah Muhammad,
maka ia telah meninggal, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Dia
Maha Hidup dan tidak akan mati ...”
Abu Bakar berhasil menenteramkan hati kaum muslimin,
juga menenteramkan hati Umar Ibnul Khaththab. Ia sujud tersungkur ke atas bumi,
ketika mendengar kata-kata Abu Bakar bahwa Rasulullah benar-benar meninggal.
Setelah Rasulullah wafat kepemimpinan Umat Islam
dilanjutkan Abu Bakar yang disebut Khulafaur Rasulillah saw. dan dilanjutkan
dengan Amirul Mukminin Umar Ibnu Khathab. Mungkin sebagian ada kaum muslimin
yang mengatakan Abu Bakar adalah pemimpin yang adil, penguasa yang demokratis?
Begitu pula Umar Ibnul Khathab, keduanya memiliki gaya kepemimpinan yang tidak
jauh berbeda.Seperti apakah tipe kepemimpinan Abu Bakar dan Umar Ibnul Khathab?
Adakah korelasi antara kepemimpinan pada era demokrasi sekarang ini?
Untuk menjawab pertanyaan itu dan menghilangkan
keraguan, secara aksioma, pertanyaan ini tidak memerlukan penjelasan yang
panjang lebar. Jika seandainya ada yang mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar
adalah “penguasa diktator yang adil” maka ada dua alasan.
Pertama, Abu Bakar dan Umar tidak pernah sedikitpun menjadi
penguasa diktator. Kedua, di dalam dunia ini tidak ada yang namanya “pemimpin
yang diktator dan adil”. Fenomena paling sederhana dari konsep adil adalah jika
semua yang memiliki hak bisa mendapat haknya. Jika sebagian dari hak manusia
adalah kebebasan untuk memilih kehidupan dan menentukan nasibnya, maka secara
otomatis hilanglah kediktatoran.
Abu Bakar dan Umar sangat menyadari hal itu,
keduanya sangat patuh kepada apa-apa yang telah diturunkan Allah. Tetapi dalam
banyak urasan umat, Abu Bakar dan Umar senantiasa memberi kesempatan kepada
kaum muslimin untuk berdiskusi dan menentukan pilihan yang terbaik.
Sepintas Abu Bakar dan Umar bukanlah pemimpin yang
menganut paham demokrasi, karena pada masa itu belum ada lembaga-lembaga demokrasi
modern, seperti parlemen, unjuk rasa yang terorginisir, dan kebebasan pers.
Tetapi tipe kepemimpinan seperti saya sampaikan di atas menggambarkan
kepemimpinan yang demokratis, jujur dan adil. Bakar dan Umar bekerja dengan
loyalitas yang tinggi dan menempatkan musyawarah dalam mengambil keputusan.
Seandainya Abu Bakar dan Umar memerintah pada masa
sekarang, niscaya mereka akan memberikan apresiasi kepada sistem demokrasi,
mengambil manfaat untuk merealisasikan inti pokok demokrasi, yakni pemimpin yang
bekerja dalam batas undang-undang yang berlaku.
Hal itu didasarkan pada firman Allah surah Ali Imran ayat 159, “Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Sesungguhnya, fase-fase sejarah yang terjadi ketika
itu tidak mendukung keduanya mempraktikkan sistem demokrasi dalam bentuk
seperti sekarang ini. Akan tetapi, mereka berdua telah mengejawantahkan
substansi demokrasi itu sendiri secara luas sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika pada masa itu belum menampilkan apa yang
disebut parlemen, yang berfungsi untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan
membuat undang-undang, maka sistem syura (musyawarah) ketika itu termasuk salah
satu syiar dari sekian banyak syiar-syiar Allah, dan itu dianggap sebagai hak
setiap anggota masyarakat.
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.”
Kepemimpinan bukanlah suatu keistimewaan, tetapi
merupakan pelayanan kepada masyarakat, bahkan dalam banyak hal, pelayanan itu
mengandung tanggung jawab.
Pada saat, di kalangan kaum Muhajirin dan Ansar menginginkan jabatan khalifah pengganti Nabi Muhammad saw. yang mengisyaratkan adanya perselisihan, maka Abu Bakar berpidato, agar masing-masing pihak (Muhajirin dan Ansar) tetap mengutamakan Islam setelah ditinggal oleh Nabi Muhammad saw.
Pada saat, di kalangan kaum Muhajirin dan Ansar menginginkan jabatan khalifah pengganti Nabi Muhammad saw. yang mengisyaratkan adanya perselisihan, maka Abu Bakar berpidato, agar masing-masing pihak (Muhajirin dan Ansar) tetap mengutamakan Islam setelah ditinggal oleh Nabi Muhammad saw.
Jangan menjadi bercerai berai dan hancur karena
persoalan kepemimpinan, apalagi dengan munculnya gagasan memilih dua orang
sebagai kepala negara dalam satu negara. Pencalonannya
dilakukan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui
oleh semua yang hadir pada saat di Saqifah waktu itu. Setelah itu, diikuti
pembaiatan yang kedua di Masjid Nabawi.
Model pemilihan ini ditempuh karena Rasulullah saw. tidak menunjuk secara langsung pengganti atau mewariskan kepemimpinan kepada siapa pun.
Model pemilihan ini ditempuh karena Rasulullah saw. tidak menunjuk secara langsung pengganti atau mewariskan kepemimpinan kepada siapa pun.
Marilah kita simak pidato Abu Bakar saat dilantik
menjadi khalifah, “Sesungguhnya, aku menjadi pemimpin urusan kalian, padahal
aku bukanlah yang terbaik di antara kalian.
Jika aku berbuat benar, maka bantulah aku. Jika aku
berbuat salah, maka luruskanlah aku. Ingatlah, sesungguhnya orang yang lemah di
antara kalian adalah kuat di mataku hingga aku memberi haknya? Ingatlah,
sesungguhnya orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di mataku hingga aku
mengambil yang hak darinya?
Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan
Rasul-Nya, dan jika aku membangkang Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada
ketaatan bagi kalian kepadaku.”
Pidato Abu Bakar tersebut mengandung arti yang sangat
penting, karena terbukti pemerintahannya sangat demokratis dan berdaulat.
Artinya, pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah mendapat
pengakuan dari pengakuan rakyat. Dengan kata lain, pemilihan dan penetapan Abu
Bakar sebagai khalifah dilakukan secara demokratis.
Dalam
ka’idah fiqih disebutkan, bahwa Pilkada atau Pemilu adalah bentuk implementasi
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan. Terpilihnya pemimpin yang
kredibel, Insya Allah akan membawa ke arah yang lebih baik, dan sebaliknya
terpilihnya pemimpin yang khianat akan mengarahkan terjadi kehancuran, karena
berawal dari pilihan kita sendiri.
Mulailah dari diri kita sendiri untuk berlaku
jujur dan bertanggung jawab pada saat memberikan suara di TPS. Maka satu menit
di dalam bilik suara ketika mencoblos pada saat itulah kita memberikan mandat
kepada pemimpin yang terpilih.
Oleh sebab itu untuk mewujudkan
Pemilu yang damai, maka kita hendaknya menjauhi hoax
(berita bohong), tolak politik uang, dan intimidasi. Rakyat juga memiliki
kedaulatan moral dan politik dalam menentukan para pemimpinnya, serta tidak
boleh terkecoh oleh permainan politik yang menjual citra dan janji-janji
politik yang tidak sejalan dengan kenyataan.
Kepada seluruh masyarakat agar
berpartisipasi dalam proses demokrasi secara aktif, cerdas dan
bertanggungjawab, menempatkan perbedaan pilihan sebagai sebuah keniscayaan dan
tidak terprovokasi oleh usaha-usaha menggagalkan penyelenggaraan Pemilu/Pilkada
dan hasil-hasilnya. Tetap memelihara ukhuwah dan menghindarkan diri dari perpecahan,
serta menjunjung tinggi etika dalam berdemokrasi.
Semoga kita mendapat
hidayah dan taufiq-Nya, semoga Pilgub Jateng tahun 2018 dan Pemilu 2019
mendatang dapat berjalan lancar, tertib, aman, dan damai, serta dijauhkan dari
segala marabahaya dan perpecahan.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu
Wata'ala memberikan jalan kebaikan, membukakan pintu taubat atas
kesalahan dosa kita, serta melimpahkan berkah-Nya. Semoga Indonesia menjadi
negeri yang baik dan memperoleh ampunan dari-Nya, negeri yang (baldatun
thayyibatun wa Rabbun ghafur).
Amin ya Rabbal ‘alamin.
Comments
Post a Comment