Kini, istilah muamalat mengalami reduksi dan perubahan dalam pemakaiannya sehari-hari, sehingga identik dengan bidang ekonomi dan bisnis (kehartabendaan / al-muamalat al-maliyah), karena di sinilah terjadi peristiwa pertukaran dan pemindahan kepemilikan harta sebagai kebutuhan utama (primer) manusia yang harus terpenuhi.
Hal tersebut disampaikan oleh Mukhlis Rahmanto, Lc., MA, Anggota Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam acara 'Kajian Pimpinan' yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sragen, Sabtu malam (27/1/2018) di Masjid Al-Fattah, Desa Puro, Kecamatan Karangmalang, Sragen.
Menurut Sekretaris PDM Sragen, Dodok Sartono, kegiatan kajian diikuti sekitar 300 orang terdiri dari unsur Pimpinan 13 PDM, pengurus Majlis/Lembaga PDM, ketua Ortom tingkat Daerah, dan Pleno 13 PCM se Kabupaten Sragen.
Menurut Sekretaris PDM Sragen, Dodok Sartono, kegiatan kajian diikuti sekitar 300 orang terdiri dari unsur Pimpinan 13 PDM, pengurus Majlis/Lembaga PDM, ketua Ortom tingkat Daerah, dan Pleno 13 PCM se Kabupaten Sragen.
Mukhlis Rahmanto menyatakan, dalam maqashid syariah (tujuan umum diturunkannnya syariat Allah), harta adalah komponen penting yang harus dijaga keberlangsungan dan kemaslahatannya.
Dalam Al-Qur'an Surat An-Nisa' : 29 Allah berfirman, "Hai Orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan Janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu."
Menurut Mukhlis, dalam fikih al-muamalat al-maliyah, dibahas dan dirangkum mengenai aturan-aturan Islam yang dalam hal ini kebanyakan sifatnya tidak rinci (global), mengingat ciri khas bidang ini adalah perkembangannya yang cepat dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, dalam fikih muamalat klasik kita tidak akan mendapatkan jenis-jenis akad transaksi seperti franchise (bisnis berdasar-basis hak cipta atas suatu barang dan jasa); kartu kredit, dan jual beli berbasis online yang marak dewasa ini.
Larangan Maghadir
Mukhlis, seorang ulama Indonesia lulusan Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir ini menguraikan, di dalam Islam ada aturan yang berisikan nilai-nilai dasar normatif, tentang ketidakbolehan (larangan) adanya Maghadir pada setiap transaksi bisnis.
Maghadir adalah singkatan dari maisir (spekulasi-judi), gharar (ketidakjelasan akad yang berujung pada penipuan), haram (dilarang), batil (merusak), dhalim (merugikan), dan riba (tambahan yang dipersyaratkan).
"Keenam item larangan tersebut secara umum tidak diperbolehkan ada dalam sebuah transaksi perdagangan-bisnis, entah transaksi-transaksi itu terjadi pada masa Kenabian, sahabat Nabi, dewasa ini, maupun transaksi lain yang akan bermunculan pada masa yang akan datang," tegas Muhklis.
Mukhlis mengutip beberapa Hadits yang menerangkan mengenai larangan Maghadir.
Pertama, larangan adanya maisir.
"Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah Saw melarang jual beli habal al-hablah, yaitu jual beli yang dilakukan kaum jahiliyah (dengan gambaran) seekor unta betina yang disetubuhi unta jantan, lalu unta betina tersebut mengandung janin. Kemudian janin tersebutlah yang dijadikan obyek transaksi (jual beli)." (HR. Al-Bukhari).
Dalam Hadits tersebut, jual beli yang dilakukan mengandung spekulasi atau ketidakpastian obyek transaksi, karena bisa jadi janin itu hidup atau mati, terlahir jantan atau betina.
Kedua, larangan adanya gharar.
"Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw melarang jual beli al-hashat dan jual beli gharar." (HR. Muslim).
Jual beli al-hashat dapat digambarkan sebagai berikut : seorang penjual memberi batu pada temannya (pembeli) dan mengatakan, "lemparlah batu ini pada tanahku, sejauh mana lemparan batu tersebut, maka tanah itu menjadi milikmu, dengan bayaran sekian dirmam/rupiah."
Bila lemparan batu tersebut kuat, maka pembeli beruntung dan penjual pun rugi. Jika lemparan batunya lemah, maka yang terjadi sebaliknya. Artinya, kuantitas dan kualitas obyek transaksi tidak dapat dipastikan.
Sedang jual beli gharar adalah jual beli yang tidak ada kepastian waktu dan obyek transaksinya. Misalnya saat akad terjadi, tidak ada kesepakatan kapan barang akan diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
Ketiga, larangan adanya transaksi yang haram, batil dan dhalim.
"Dari Ibnu Abbas berkata : Umar (bin al-Khatab ra.) mendengar kabar kalau Samurah menjual khamr (arak), lalu berkata, 'Semoga Allah membinasakannya, ketahuilah bahwa Rasulullah bersabda : Allah melaknat orang Yahudi karena telah diharamkan bagi mereka lemak hewan (seperti sapi dan kambing), namun mereka mencairkan dan memperjualbelikannya." (Muttafaq 'alaihi).
Keempat, larangan adanya riba.
"Dari Alqamah dari Abu Abdilah berkata : Rasulullah Saw melaknat pemakan riba dan yang mewakili mengambilnya. Aku berkata (kalau) penulis dan saksi-saksi (transaksi riba tersebut?). Nabi bersabda : mereka semua sama. Kami menceritakan apa yang kami dengar (dari Nabi)." (HR. Muslim).
Comments
Post a Comment