Di dalam Al-Qur’an, surat Adz-Dzariyat [51] : 56, Allah swt. berfirman, “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Beribadah, dengan demikian,
merupakan misi kehidupan umat manusia (M. Anis Matta, 2006). Ibadah, secara
harfiah, adalah ketundukan dan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. Maka,
makna yang paling hakiki dari ibadah adalah menjadikan semua gerak kita, baik
gerak fisik maupun gerak jiwa dan pikiran, senantiasa mengarah kepada apa yang
dicintai dan diridlai oleh Allah swt.
Kemudian, dalam makna itu,
ibadah mencakup seluruh gerak, dalam segenap ruang dan waktu kehidupan
kita. Hasilnya, seluruh pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan, baik ketika kita hanya berhubungan dengan Allah (ibadah mahdhah) maupun ketika berhubungan dengan sesama
manusia dan lingkungan (ibadah ghairu
mahdhah), semuanya hanya bergerak menuju satu titik : Allah swt.
Begitulah akhirnya, kita berikrar dengan sadar,
Begitulah akhirnya, kita berikrar dengan sadar,
“Katakanlah,
‘Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6] : 162)
Ibadah dalam makna itu
tentulah hanya mungkin lahir dari keyakinan bahwa kita adalah ciptaan Allah dan milik-Nya; dengan begitu, selamanya, kita ini bukanlah
apa-apa. Selamanya, kita ini hanyalah seorang makhluk yang tidak berdaya.
Selamanya, kita butuh kepada-Nya. Maka, datanglah kita bersimpuh di
hariban-Nya, dengan dorongan rasa butuh yang sangat kepada-Nya, rasa harap yang
kuat akan rahmat-Nya, dan rasa takut yang mendalam akan kemungkinan tertolak
dari wilayah rahmat-Nya serta terdampar dalam wilayah siksa-Nya.
Jadi, kebutuhanlah yang
mendorong kita melangkahkan kaki ke haribaan-Nya, datang dengan penyerahan segenap jiwa dan raga kepada-Nya. Maka, dasar dari ibadah kita adalah firman Allah swt.,
“Hai
manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS.
Fathir [35] : 15).
Sesungguhnya, seperti
diungkapkan M. Anis Matta dalam buku berjudul “Setiap Saat Bersama Allah” (2006),
rasa butuh yang sangat itulah yang
terwakili dengan sempurna saat kita berdoa; ketika duduk bersimpuh dengan
khusu’, menghadap kiblat, menengadahkan wajah dan jiwa ke langit, mengangkat penuh harap kedua tangan kita sambil melantunkan puji-pujian
untuk-Nya, berdoa untuk Nabi-Nya, Muhammad saw., kemudian memohon segalanya
kepada-Nya.
Tiada yang dapat mewakili dan mengungkap perasaan butuh, seperti tampilan seorang hamba yang sedang berdoa dengan penuh haru-biru.
Tiada yang dapat mewakili dan mengungkap perasaan butuh, seperti tampilan seorang hamba yang sedang berdoa dengan penuh haru-biru.
Maka, ketika seorang
sahabat selalu terburu-buru meninggalkan masjid setelah shalat tanpa berdoa, Nabi
pun menegurnya dengan pertanyaan,
“Apakah kamu sama sekali tidak punya kebutuhan kepada Allah?”
Sahabat itu pun terperanjat dan mulai memahami arti doa. Maka, ia pun terus berdoa.
“Bahkan, garam pun kuminta kepada Allah swt," katanya di kemudian hari.
“Apakah kamu sama sekali tidak punya kebutuhan kepada Allah?”
Sahabat itu pun terperanjat dan mulai memahami arti doa. Maka, ia pun terus berdoa.
“Bahkan, garam pun kuminta kepada Allah swt," katanya di kemudian hari.
Demikianlah, akhirnya kita
memahami mengapa Nabi Muhammad saw., menyatakan bahwa, “Ad-du’a-u huwal ‘ibadah.”- “Doa itu adalah
ibadah.” (h.r. abu Dawaud dan At-Tairmiddzi. Hadits hasan shahih).
Doa
Itu Kekuatan
Tidak ada yang dapat mengubah
ketidakberdayaan menjadi kekuatan baru, seperti yang dapat dilakukan oleh doa.
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Ad-du’a-u silahul mukminin, wa ‘ibaduddiin wa nuurus-samaawati wal ardhi.”
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Ad-du’a-u silahul mukminin, wa ‘ibaduddiin wa nuurus-samaawati wal ardhi.”
“Doa
itu senjata seorang mukmin, tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.” (h.r.
al- Hakim, dari Ali bin Abi Thalib)
Alhasil, dengan senjata doa
itulah kita membangun perisai diri dari segenap musibah.
Ibnul Qayyum berkata, “Jika perisai doamu lebih kuat dari musibah, ia akan menolaknya. Tetapi, jika musibah lebih kuat dari perisai doamu, maka ia akan menimpamu. Namun, doa itu sedikitnya tetap akan mengurangi efeknya. Adapun jika perisai doamu seimbang dengan kekuatan musibah, maka keduanya akan bertarung.”
Ibnul Qayyum berkata, “Jika perisai doamu lebih kuat dari musibah, ia akan menolaknya. Tetapi, jika musibah lebih kuat dari perisai doamu, maka ia akan menimpamu. Namun, doa itu sedikitnya tetap akan mengurangi efeknya. Adapun jika perisai doamu seimbang dengan kekuatan musibah, maka keduanya akan bertarung.”
Rasulullah saw. pun
bersabda, “tidak ada gunanya waspada
menghadapi takdir, namun doa bermanfaat menghadapi takdir, sebelum dan sesudah
ia turun. Dan sesungguhnya, ketika musibah itu ditakdirkan turun (dari langit),
maka ia segera disambut oleh doa (dari bumi), lalu keduanya bertarung sampai
hari kiamat.” (h.r. Ahmad. Al-Hakim, Al-Bazar, dan Ath-Thabrani)
Doa menciptakan kekuatan
dalam diri manusia! Itulah rahasianya.
“Ketika engkau terhimpit dan
terlilit oleh problematika kehidupan, sesungguhnya, yang dapat membuatmu
bertahan adalah harapanmu. Dan sebaliknya, yang akan membuatmu kalah atau
bahkan mematikan daya energi hidupmu, adalah saat di mana engkau kehilangan
harapan."
Maka, ketika engkau berdoa
kepada Allah swt., sesungguhnya engkau sedang mendekati sumber dari semua
kekuatan, dan apa yang segera terbangun dalam jiwamu adalah harapan.
Harapan itulah yang kelak
akan membangunkan kemauan
yang tertidur dalam dirimu. Jika kemauanmu menguat menjadi azam (tekad), itulah saatnya engkau melihat gelombang tenaga jiwa
yang dahsyat.
Gelombang yang akan
memberimu daya dan energi kehidupan serta menggerakkan segenap ragamu untuk
bertindak. Dan, apa yang engkau butuhkan saat itu hanyalah mempertemukan kehendakmu
dengan kehendak Allah melalui doa dan tawakal.
Allah berfirman, "….Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3] : 159)
Allah berfirman, "….Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3] : 159)
Begitulah doa mempertemukan
dua kehendak : kehendak Allah dan kehendak manusia. Itulah kekuatan mahadahsyat
: rahim yang senantiasa melahirkan semua peristiwa kehidupan sepanjang sejarah
umat manusia, yakni takdirmu.
Itulah makna dari sabda Rasululah saw.,
Itulah makna dari sabda Rasululah saw.,
“Barangsiapa yang ingin menjadi manusia terkuat, hendaklah ia bertawakal kepada Allah…”
(h.r. Ibnu Abi Hatim).
Apakah yang dapat dilakukan
oleh seorang Nabi Yunus ketika ia tertelan dan terhimpit dalam perut ikan paus?
Dari manakah ia dapat mengharapkan cahaya untuk sekadar menerangi gelap dalam
perut ikan itu? Dari manakah ia dapat menemukan kembali harapan hidupnya?
Sesunguhnya, gelap, kesedihan, kegundahan, dan keputusasaan dalam jiwanya jauh lebih gelap dari gelap yang menyelimutinya dalam perut ikan itu.
Tetapi, dengarlah doanya,
Sesunguhnya, gelap, kesedihan, kegundahan, dan keputusasaan dalam jiwanya jauh lebih gelap dari gelap yang menyelimutinya dalam perut ikan itu.
Tetapi, dengarlah doanya,
“Dan
(ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia
menyeru dalam keadaan yang gelap gulita, ‘Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya, aku adalah termasuk
orang-orang yang zalim.” (Al-Amkbiya’: 87)
Lalu, dengarlah jiwaban
Rabbnya,
“Maka,
Kami telah memperkenankan doanya dan menyelematkannya dari duka. Dan,
demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ambiya [21] : 88)
Doa
dan Kesehatan Mental
Doa yang membangun kekuatan
jiwa seperti itu, jelas akan berpengaruh terhadap kesehatan mental kita. Hal itu
disebabkan tidak akan ada problematika kehidupan yang mampu melebihi kemampuan
jiwa kita dalam mewadahinya.
Dalam doa, kita menemukan
keseimbangan jiwa karena harapan akan penerimaan dan kecemasan akan penolakan
senantiasa menjadi dua sayap jiwa yang membuat kita terbang
mengarungi angkasa kehidupan.
Dalam doa, kita menemukan
keutuhan jiwa dan pikiran. Keutuhan yang akan menyatukan semua instrument
kepribadian dalam seluruh lakon kehidupan yang kita jalani.
Dalam doa, kita menemukan ketenangan jiwa karena keyakinan terhadap Allah swt. Allah Yang Memberi kita keberanian untuk menghadapi semua kemungkinan dalam hidup.
Dalam doa, kita menemukan keberkahan hidup karena semua peristiwa kehidupan yang kita hadapi hanyalah merupakan pertemuan yang indah, antara kehendak Allah dengan kehendak kita.
Dalam doa, kita menemukan ketenangan jiwa karena keyakinan terhadap Allah swt. Allah Yang Memberi kita keberanian untuk menghadapi semua kemungkinan dalam hidup.
Dalam doa, kita menemukan keberkahan hidup karena semua peristiwa kehidupan yang kita hadapi hanyalah merupakan pertemuan yang indah, antara kehendak Allah dengan kehendak kita.
Masih adakah tempat bagi
kesedihan dalam jiwa seperti itu?
Masih adakah ruang bagi ketakutan dalam jiwa seperti itu?
Masih adakah celah bagi keputusasaan untuk masuk dalam jiwa seperti itu?
Bukankah kesedihan, ketakutan dan keputusasaanlah yang salalu memorak-porandakan jiwa manusia, mencabik-cabiknya, membuatnya retak dan hancur berkeping-keping?
Masih adakah ruang bagi ketakutan dalam jiwa seperti itu?
Masih adakah celah bagi keputusasaan untuk masuk dalam jiwa seperti itu?
Bukankah kesedihan, ketakutan dan keputusasaanlah yang salalu memorak-porandakan jiwa manusia, mencabik-cabiknya, membuatnya retak dan hancur berkeping-keping?
Maka, jiwa sang mukmin pun
mendengar seruan Rabbnya.
“Dan
Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya, orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk
neraka jahannam dalam keadaan hina-dina.” (Al-Mukmin [40] : 60)
Maka, setelah berdoa, guncangan hidup
berhenti di hadapannya, dan jiwanya berlayar lagi. Berlayar sampai jauh.
Berlayar dengan tenang mengarungi lautan kehidupan menuju pantai keabadian.
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”
(Ar-Ra’d [13] : 28).
(Suparto)
--
Sumber
rujukan :
M. Anis Matta, Setiap Saat Bersama Allah, 2006 (Cet.2),
Al-I’tishom Cahaya Umat. Jakarta
Ilustrasi : Munajat
sumber :www.google.co.id
Comments
Post a Comment